JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah serikat pekerja berencana menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak hasil penetapan upah minimum 2026 yang telah diumumkan di sejumlah daerah. Selain aksi jalanan, mereka juga menyatakan siap mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Penolakan tersebut didorong oleh ketidakpuasan terhadap besaran upah yang dinilai belum mampu menutup biaya kebutuhan hidup layak. Serikat pekerja menilai pemerintah daerah belum sepenuhnya berpihak pada kondisi buruh.
Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (27/12/2025), mengatakan, berdasarkan laporan dari basis anggota, muncul dugaan sejumlah gubernur tidak melegitimasi rekomendasi upah minimum sektoral kabupaten/kota. Salah satu daerah yang disorot adalah Jawa Barat.
Iwan menyebut SPN bakal mengerahkan anggotanya untuk berujuk rasa besar-besaran, yang dimulai dari Jawa Barat, pada pekan mendatang. SPN juga siap menggugat pemerintah provinsi yang menganulir rekomendasi upah minimum kabupaten/kota dari pemerintah kabupaten/kota.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia bersama Partai Buruh berencana melakukan aksi unjuk rasa pada 29 dan 30 Desember 2025 di depan Istana Negara ataupun Gedung DPR RI Jakarta. Aksi itu sebagai bentuk penolakan hasil penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2026 DKI Jakarta dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2026 se-Jawa Barat.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan, pada Senin (29/12), aksi unjuk rasa akan diikuti sekitar 1.000 orang buruh dengan titik kumpul di depan Patung Arjuna Wiwaha, tak jauh dari Monumen Nasional, Jakarta. Massa akan berkumpul mulai pukul 10.00 WIB.
Kemudian, pada aksi tanggal 30 Desember, massa buruh yang ikut mencapai minimal 10.000 orang. Kegiatan ini disertai konvoi 10.000 - 20.000 motor dari berbagai wilayah Jawa Barat menuju Jakarta.
”Kami menolak nilai kenaikan UMP 2026 DKI Jakarta, UMSK 2026 se-Jawa Barat, dan menuntut upah minimum sektoral provinsi (UMSP) 2026 DKI Jakarta,” ujar Said.
Menurut dia, nilai UMP 2026 DKI Jakarta yang sudah ditetapkan sebesar Rp 5,73 juta per bulan tidak masuk akal. Nilai ini lebih rendah dengan UMK 2026 daerah penyangganya, yaitu Kabupaten Bekasi dan Karawang yang sebesar Rp 5,95 juta per bulan.
Terkait penetapan UMSK se-Provinsi Jawa Barat Tahun 2026, dia memperoleh informasi kalau seluruh bupati dan walikota di Jawa Barat telah mengeluarkan rekomendasi resmi nilai UMSK dan menyampaikannya kepada Gubernur Jawa Barat. Namun rekomendasi tersebut justru dicoret, diubah, dikurangi, bahkan dihilangkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
KSPI bersama buruh Jawa Barat, melalui aksi unjuk rasa 29 - 30 Desember 2025 menuntut agar Gubernur Jawa Barat menetapkan seluruh rekomendasi UMSK dari bupati dan wali kota se-Jawa Barat untuk Tahun 2026 dan merevisi Surat Keputusan Gubernur terkait UMSK.
Langkah selanjutnya, KSPI berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap penetapan UMP DKI Jakarta 2026 dan penetapan UMSK Jawa Barat.
”Kami juga bakal mengkaji gugatan serupa di sejumlah provinsi lain, termasuk Sumatera Utara,” imbuh Said.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita, saat dihubungi, menyebut KSBSI tidak akan ikut dalam unjuk rasa yang digelar Partai Buruh dan KSPI pada pekan mendatang. KSBSI akan menggelar aksi sendiri, tetapi waktu belum ditentukan.
Konfederasi lain, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia pimpinan Jumhur Hidayat, belum mengonfirmasi apakah akan mengerahkan anggota untuk ikut unjuk rasa.
Berdasarkan hasil rekapitulasi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) hingga Jumat (26/12/2025) pukul 14.30 WIB, sebanyak 175 dari 416 kabupaten/kota di Indonesia telah mengumumkan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2026. Rata-rata nilai UMK-nya adalah Rp 3.375.850.
Dalam data yang sama teramati ada sejumlah provinsi yang tidak mencantumkan nominal UMK 2026 untuk semua kabupaten/kota di dalamnya.
Misalnya, di Sulawesi Tengah hanya tertulis 4 kabupaten/kota yang menetapkan UMK 2026, padahal total kabupaten/kota di provinsi itu mencapai 12 kabupaten dan 1 kota. Contoh lainnya di Sulawesi Tenggara hanya tertulis 3 kabupaten/kota yang menetapkan UMK 2026, padahal total kabupaten/kota mencapai 17.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri belum memberikan jawaban ketika dikonfirmasi mengenai perkembangan terbaru laporan penetapan UMP 2026, UMSP 2026, UMK 2026, dan UMSK 2026.
Aksi unjuk rasa yang mewarnai proses penetapan upah minimum hampir setiap tahun terjadi. Upah minimum secara filosofi yang didengungkan oleh pemerintah yaitu upah untuk buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Bagi buruh dengan masa kerja di atas satu tahun, peraturan perundangan memberikan indikasi kemungkinan kenaikan upah di atas upah minimum. Hal itu sepenuhnya bergantung pada kemampuan berunding antara buruh atau perwakilan buruh dengan pengusaha. Karena ruang berunding yang relatif kecil, tidak heran jika unjuk rasa menjadi satu-satunya cara buruh menyampaikan aspirasi.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan Indrasari Tjandraningsih berpendapat, pemerintah juga bersikap tidak jelas. Setiap tahun berganti kebijakan pengupahan dengan basis argumen yang kurang transparan. Dari perspektif hubungan industrial, pemerintah juga gagal menjalankan fungsi sebagai penengah bagi pengusaha dan buruh.
”Upah minimum yang masuk menjadi salah satu kebijakan pengupahan selalu berubah sejak tahun 2000 sampai 2025. Tidak pernah ada penjelasan publik yang memadai mengapa harus berubah dan mengapa sejak tahun 2021-2023 berubahnya setahun sekali,” ucap dia.
Perubahan kebijakan upah minimum yang sangat sering tentu membuat gejolak antara buruh dan pengusaha. Ditambah lagi, Kemenaker dan Disnaker tidak pernah serius menindak pelanggaran upah minimum yang ia duga sangat masif, baik soal nilai maupun mekanisme pembayaran bagi pekerja di atas satu tahun bekerja.
”Selain pengawasannya pasif karena menunggu aduan dari pekerja atau serikat pekerja, pemerintah cenderung membiarkan pelanggaran itu,” kata Indrasari.





