Merawat Budaya Betawi Lewat Irama Tanjidor di CFD Bundaran HI

kumparan.com
12 jam lalu
Cover Berita

Minggu Pagi di Bundaran HI tetap riuh meski pekan ini adalah pekan libur Natal dan memasuki Tahun Baru 2026. Car Free Day (CFD) tetap semarak; ada pelari yang menata napas, pesepeda yang melintas perlahan, dan keluarga yang menuntun anak-anak mereka menyusuri aspal yang bebas dari kendaraan untuk beberapa jam ke depan.

Di tengah hiruk pikuk orang berkaus olahraga dan busana santai, sekelompok orang tampak mencuri perhatian. Mereka mengenakan pakaian berwarna oranye terang, serasi, dengan songkok hitam rapi di kepala.

Di tangan mereka tergenggam alat-alat musik tiup mulai dari klarinet, trompet, hingga tuba yang berkilap memantulkan cahaya pagi. Mereka ini bukan sekadar pengamen jalanan, mereka adalah pemain Tanjidor, musik tradisi Betawi yang hari itu berkeliling di jantung ibu kota.

Nada-nada instrumental mulai mengalun, membelah suara langkah kaki dan obrolan pengunjung CFD. Musiknya ringan tapi membawa jejak sejarah panjang, berkelindan dengan masa lalu Betawi dengan wajah Jakarta hari ini yang berubah jadi megapolitan. Beberapa orang berhenti, mengangkat ponsel untuk mengabadikan momen.

Kelompok ini berasal dari Sanggar Betawi Aljabar. Salah satu pemainnya, Fajar Hardian (30), menyeka keringat di dahinya sembari tetap menggenggam alat musik.

"Sanggar Betawi Aljabar nama grupnya," ujarnya saat ditemui, Minggu (28/12).

Fajar menjelaskan, sanggar ini bermarkas di Tangerang. Hari ini, panggilan datang untuk meramaikan CFD. Mereka berkeliling dari titik awal, memutar area CFD, membiarkan musik menjadi bahasa yang menjembatani jarak dengan warga.

"Iya, lagi memang ada panggilan aja. Ya gimana, panggilan aja bang. Kalau ada acara gitu, CFD begini, ya kita ikut partisipasi juga kalau memang dibutuhin gitu. Kalau enggak, ya enggak," ucapnya.

Bagi Fajar dan kawan-kawan, Tanjidor bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga menjaga budaya dan tradisi agar tak tergerus arus modern. Namun menjaga tradisi di zaman yang bergerak cepat bukan perkara mudah. Ia mengakui, minat generasi muda kian menipis.

"Ya kita sih memang buat mempertahankan gitu, kebudayaan. Sebab kan kalau memang kita lihat di zaman sekarang ini ya, mana mau sih ya gitu ya anak-anak zaman sekarang main Tanjidor kayak gini," tutur dia.

Karena itu, panggung sekecil apa pun menjadi napas penting bagi keberlangsungan mereka untuk merawat tradisi yang lahir sejak abad 18 itu.

"Kalau gak dikasih panggung buat mentas kan cuma-cuma jadinya. Kita gak bisa buat nunjukin karya-karya kita gitu," ujarnya.

Ia berharap perhatian terhadap budaya Betawi, khususnya Tanjidor, bisa lebih ditingkatkan.

"Ya harapannya ya biar lebih diperhatikan lagi lah gitulah sama dinas-dinas terkaitnya tentang kebudayaan Betawi. Terutama ya Tanjidor ini. Biar banyak panggilannya gitu," harapnya.

Di barisan yang sama, Bidin (47) berjalan sambil menenteng alat musiknya. Ia termasuk yang paling senior di kelompok itu.

"Iya Bisa dikatakan senior udah berapa ya? Empat generasi ini," katanya.

Bidin telah bermain Tanjidor sejak sekitar 2012. Ketertarikannya bermula dari alat-alat musik yang menurutnya unik dan antik.

"Jadi ngeliat alatnya juga antik-antik gitu kan ya, dari bass cobra ini kan bener-bener menarik juga gitu, belum trombon, klarinet, piston. Itu kan alat perkusi itu alatnya orang-orang Eropa. Jadi kita tertarik tuh. Ikut lah gitu belajar bisa ya ikut," ucap Bidin.

Bidin menuturkan, Sanggar Aljabar telah berdiri sangat lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Regenerasi, menurutnya, masih berjalan.

"Banyak yang pada mau belajar. Masih banyak. Jadi gak putus gitu aja gitu," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Tanjidor bukan sekadar hobi pribadi, melainkan upaya menjaga identitas Betawi.

"Emang buat ngelestariin budaya aja. Nah jadi supaya jangan putus lah gitu budaya gitu," terang dia.

Ia pun menyampaikan pesan kepada generasi muda agar tidak menjauh dari akar budaya di zaman serba cepat ini.

"Jadi untuk anak muda jangan vakum sama budaya. Harus kenal budaya," katanya.

Dukungan pemerintah, menurut Bidin, juga berperan. Ia mengenang momen ketika kelompoknya tampil di Istana Negara semasa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

"Dulu juga di Istana Negara waktu di Presiden Jokowi di acara Sumpah Pemuda kita main," kenangnya.

Di tengah keramaian CFD Bundaran HI, Tanjidor pagi itu bukan sekadar hiburan. Ia hadir sebagai pengingat bahwa Jakarta bukan hanya kota gedung tinggi dan musik modern. Tanjidor menyuarakan satu hal sederhana; budaya Betawi masih hidup, selama masih ada yang mau meniupkan nadanya di jalanan ibu kota.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemulihan Korban Bencana Aceh dan Sumatra Disebut Lebih Prioritas
• 11 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kementan dan Bapanas Salurkan Bantuan Tahap III Lewat KRI untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumut
• 16 jam lalupantau.com
thumb
Cekcok Tarif Potong Rambut, Rekan Banting Kasir Salon di Gorontalo
• 6 jam laludetik.com
thumb
Sapril Akhmady Terpilih Aklamasi Sebagai Ketua Umum di Musda SUP ID Sulsel
• 21 jam laluharianfajar
thumb
Nenek Elina Diperiksa Polda Jatim Kasus Dugaan Usir Paksa Oknum Ormas di Surabaya
• 2 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.