WACANA mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung oleh rakyat menuju pemilihan oleh DPRD kembali mencuat ke ruang publik.
Dorongan ini menguat setelah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, secara terbuka menyampaikan usulan tersebut dalam acara puncak peringatan Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar, di hadapan Presiden Prabowo Subianto.
Usulan serupa sejatinya telah disampaikan setahun sebelumnya, pada peringatan HUT ke-60 Golkar, dengan alasan yang relatif konsisten, yaitu mahalnya biaya Pilkada langsung.
Hal itu dinilai menutup peluang bagi figur berkualitas yang tidak memiliki modal finansial besar untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Biaya politik yang tinggi memang persoalan nyata. Namun, menjadikannya alasan utama untuk mencabut hak memilih warga merupakan penyederhanaan yang berbahaya.
Logika semacam ini seolah mengandaikan bahwa problem demokrasi dapat diselesaikan dengan memangkas partisipasi rakyat.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=pilkada langsung, Pilkada lewat DPRD&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOC8wODMwMDA2MS9waWxrYWRhLXRpZGFrLWxhbmdzdW5nLWRhbi1sb2dpa2EtZWZpc2llbnNpLXlhbmcta2VsaXJ1&q=Pilkada Tidak Langsung dan Logika Efisiensi yang Keliru§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Padahal, pengalaman panjang demokrasi elektoral di Indonesia justru menunjukkan bahwa ongkos politik tidak lahir semata dari mekanisme pemilihan langsung, melainkan dari praktik politik yang tidak pernah sungguh-sungguh dibenahi.
Masalahnya menjadi lebih kompleks ketika istilah “mahalnya Pilkada” kerap dipahami secara serampangan, tanpa membedakan dua dimensi yang sebetulnya sangat berbeda.
Baca juga: Ridwan Kamil dan Retaknya Pesona Politik Pencitraan
Pertama, biaya penyelenggaraan Pilkada sebagai tanggung jawab negara. Kedua, ongkos politik yang ditanggung kandidat dalam proses kontestasi.
Kedua aspek ini sering dicampuradukkan, padahal masing-masing memiliki konsekuensi kebijakan dan pendekatan penanganan yang sama sekali berbeda.
Dalam konteks penyelenggaraan, data anggaran Pilkada menunjukkan bahwa lonjakan biaya lebih banyak dipengaruhi oleh skala dan desain pelaksanaan, bukan oleh mekanisme pemilihan langsung itu sendiri.
Pilkada 2015 masih memperlihatkan variasi biaya antardaerah, dengan kabupaten dan kota mengeluarkan anggaran belasan miliar rupiah, sementara provinsi berpenduduk padat mencapai ratusan miliar rupiah.
Ketika jumlah daerah meningkat, total anggaran pun melonjak tajam. Pilkada 2017 yang diikuti 101 daerah menghabiskan sekitar Rp 3 triliun–Rp 4 triliun, sedangkan Pilkada 2018 yang melibatkan 171 daerah menelan biaya hingga sekitar Rp 18,5 triliun.
Lonjakan paling tajam terjadi pada Pilkada 2020, yang digelar di tengah pandemi Covid-19. Anggaran awal sekitar Rp 9,9 triliun melonjak menjadi lebih dari Rp 20 triliun akibat kewajiban penerapan protokol kesehatan.
Kenaikan ini jelas bersifat situasional dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai mahalnya Pilkada langsung secara umum.




