Masa Depan Bumi dalam Piring Kita

kompas.id
8 jam lalu
Cover Berita

Bagi banyak orang, liburan akhir tahun kerap diikuti dengan resolusi Tahun Baru untuk makan lebih sehat. Selain memengaruhi kesehatan, apa yang kita makan dan bagaimana makanan tersebut diproduksi ternyata juga berdampak terhadap lingkungan, bahkan menentukan masa depan Bumi.

Makanan kini menjadi salah satu pendorong terbesar perubahan iklim dan sebagian besar orang mengonsumsi makanan melebihi kemampuan planet yang kita huni untuk menampungnya. Dengan mengurangi limbah makanan dan konsumsi daging sapi, hal itu bisa membuat perbedaan signifikan.

Baca JugaIroni Limbah Makanan

Studi terbaru Universitas British Columbia (UBC) menemukan, 44 persen populasi global perlu mengubah kebiasaan makan untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat celsius. Studi ini dipimpin Juan Diego Martinez saat menjadi mahasiswa doktoral di Institut Sumber Daya Lingkungan dan Berkelanjutan UBC.

Angka itu bersifat konservatif lantaran tim peneliti menggunakan data tahun 2012 dan sejak itu emisi maupun populasi dunia sama-sama meningkat. Menurut Martinez, dikutip Sciencedaily, 24 Desember 2025, hingga tahun 2050, diproyeksikan 90 persen populasi dunia perlu mengubah pola makan.

Tim peneliti menganalisis data dari 112 negara yang mencakup 99 persen emisi gas rumah kaca terkait dengan pangan secara global dan membagi populasi tiap negara jadi 10 kelompok pendapatan.

Anggaran emisi pangan bagi tiap orang dihitung dengan menggabungkan emisi dari konsumsi pangan, produksi pangan global, dan rantai pasokan. Kemudian, emisi dari pangan ini dibandingkan dengan total emisi yang mampu ditanggung dunia jika kita ingin menahan laju kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat celsius.

Baca JugaPangan Lokal untuk Kesehatan Diri dan Bumi

Sistem pangan dunia bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia. Studi itu menemukan, 15 persen populasi paling banyak menghasilkan emisi dan menyumbang 30 persen dari total emisi pangan, setara dengan kontribusi 50 persen penduduk terbawah.

Pilihan makanan kita turut menentukan masa depan Bumi. Ini jadi langkah pertama menuntut perubahan dari para pemimpin politik.

Kelompok ini terdiri dari orang-orang terkaya di negara-negara penghasil emisi tinggi, termasuk Brasil dan Australia. Meski kelompok itu menghasilkan emisi tinggi, jumlah orang dengan pola makan melebihi batas jauh lebih banyak. Karena itu, separuh populasi dunia, tak hanya yang terkaya, perlu mengubah pola makan.

Pangan dan perubahan iklim

Apa yang kita makan dan cara makanan itu diproduksi memengaruhi kesehatan kita dan lingkungan. Menurut artikel di laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), makanan perlu ditanam, diangkut, didistribusikan, disiapkan, dikonsumsi, dan kadang dibuang. Tiap langkah ini menghasilkan gas rumah kaca dan berkontribusi pada perubahan iklim.

Sistem pangan diperkirakan menyumbang 26-34 persen emisi gas rumah kaca global. Terlebih, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sistem saat ini gagal memenuhi kebutuhan kalori dasar dengan lebih dari 620 juta orang kelaparan tiap hari.

Baca JugaHutan, Pangan, dan Perubahan Iklim

Seiring meningkatnya populasi dan konsumsi pangan, pemenuhan gizi bagi semua orang sekaligus mengurangi jejak karbon dari sistem pangan jadi tantangan besar. Diperkirakan, emisi dari sistem pangan bisa menghalangi kita menahan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius atau 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.

Sekitar sepertiga dari seluruh emisi gas rumah kaca yang disebabkan manusia terkait dengan makanan. Sebagian besar gas rumah kaca yang terkait dengan pangan berasal dari pertanian dan penggunaan lahan, antara lain metana dari proses pencernaan sapi dan nitrogen oksida dari pupuk yang dipakai untuk produksi tanaman.

Emisi gas rumah kaca dari pertanian juga dihasilkan dari karbon dioksida hasil penebangan hutan untuk perluasan lahan pertanian. Emisi pertanian lain bersumber dari pengelolaan pupuk kandang, budidaya tanaman padi, pembakaran sisa tanaman, dan penggunaan bahan bakar di lahan pertanian.

Sebagian kecil emisi gas rumah kaca dari makanan disebabkan pendinginan dan pengangkutan makanan, proses industri seperti produksi kertas dan aluminium untuk kemasan, serta pengelolaan limbah makanan. Distribusi makanan antardaerah, bahkan antarnegara, juga menghasilkan emisi tinggi.

Baca JugaPangan Lokal Lebih Hemat Biaya dan Mengurangi Emisi Karbon

Laporan Catherine C Ivanovich dari Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Columbia, dan tim, di jurnal Nature Climate Change, pada 6 Maret 2023, pun memaparkan, sektor pangan global menyumbang gas rumah kaca dan dapat menambah hampir 1 derajat celsius penambahan suhu pada tahun 2100.

Sebanyak 75 persen dari pemanasan ini dihasilkan oleh makanan yang menjadi sumber metana tinggi, seperti daging ternak, susu, dan beras. Sejumlah kajian sebelumnya menemukan, makanan merupakan aspek penting kehidupan yang juga menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

Sektor pertanian bertanggung jawab atas hampir separuh emisi metana (CH4), dua pertiga emisi nitro oksida (N2O), dan 3 persen emisi karbon dioksida (CO2) dari aktivitas manusia di seluruh dunia. Tiga gas rumah kaca ini menyumbang 80 persen dari pemanasan global saat ini, masing-masing 29 persen, 5 persen, dan 46 persen.

”Kami menemukan bahwa konsumsi makanan global saja dapat menambah hampir 1 derajat celsius pemanasan pada tahun 2100. Sebesar 75 persen dari pemanasan ini didorong oleh makanan yang merupakan sumber metana tinggi (daging ruminansia, susu, dan beras),” tulis Ivanovich (Kompas.id, 8 Maret 2023).

Makanan penghasil emisi terbanyak

Dampak iklim dari pangan diukur dalam hal intensitas emisi gas rumah kaca. Makanan berbasis hewan, terutama daging merah, susu, dan udang hasil budidaya, umumnya dikaitkan emisi gas rumah kaca tertinggi lantaran produk daging kerap membutuhkan padang rumput luas dengan menebang pohon, melepas karbon dikoksida di hutan.

Adapun sapi dan domba mengeluarkan metana saat mencerna rumput dan tumbuhan. Kotoran sapi di padang rumput dan pupuk kimia yang dipakai pada tanaman untuk pakan ternak menghasilkan nitrogen oksida, gas rumah kaca lainnya. Budidaya udang juga kerap menempati area pesisir yang dulu ditutupi hutan bakau penyerap karbon.

Hal ini berbeda dengan makanan nabati, seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, polong-polongan, dan lentil. Makanan nabati ini umumnya memakai lebih sedikit energi, lahan, dan air, serta memiliki intensitas gas rumah kaca lebih rendah dibandingkan makanan berbasis hewan.

Mengubah sistem pangan

Namun, tanggung jawab menekan emisi setiap penduduk tak seragam karena variasi konsumsi makanan antara warga termiskin dan terkaya dunia amat besar. Sebuah studi mengungkap 57 persen populasi global mengonsumsi makanan berlebihan dan akan menghemat 32,4 persen emisi global jika mengubah pola makan.

Bagaimanapun kita perlu mengurangi emisi dengan cara apa pun. Emisi dari makanan bukan hanya persoalan bagi orang terkaya, tetapi semua orang. Selain makan secukupnya, manfaatkan kembali yang tidak dibutuhkan. Lebih sedikit makanan terbuang berarti lebih sedikit emisi.

Salah satu caranya yakni menghilangkan atau mengurangi konsumsi daging sapi. Sekitar 43 persen emisi terkait makanan dari rata-rata warga Kanada berasal dari daging sapi saja. Kita berada pada titik di mana emisi makanan juga perlu dikurangi untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim.

Menurut Martinez, pilihan makanan kita turut menentukan masa depan Bumi. Ini jadi langkah pertama menuntut perubahan dari para pemimpin politik. Makin banyak kita membicarakan perubahan pola makan dan apa yang penting bagi kita, kian banyak politisi akan peduli kebijakan yang berdampak positif pada sistem pangan.

Selain itu, mengurangi emisi dari sektor pangan memerlukan perubahan di semua tahapan, dari produsen sampai konsumen. Jika memungkinkan, menggeser sistem pangan ke arah pola makan kaya nabati, dengan lebih banyak protein nabati seperti kacang-kacangan, buncis, biji-bijian, dan gandum.

Baca JugaSektor Pangan Meningkatkan Suhu Global 1 Derajat Celsius pada 2100

Sementara pakan dan teknik pemberian pakan yang lebih baik bisa mengurangi metana selama pencernaan ternak dan gas dilepaskan dari pembusukan kotoran. Praktik pertanian lebih baik, seperti pengelolaan kotoran dan pupuk yang baik demi menyimpan karbon dan merestorasi lahan terdegradasi, juga menekan emisi.

Pada saat sama, pengurangan limbah makanan amat penting. Lebih dari 1 miliar ton makanan, 17 persen dari total makanan bagi konsumen, dibuang ke tempat sampah per tahun. Produksi, pengangkutan dan pembusukan makanan menyumbang 8-10 persen emisi, hampir lima kali total emisi sektor penerbangan.

Interaksi praktik produksi, perdagangan, preferensi diet, transisi nutrisi, dan ketidaksetaraan akses terhadap makanan dalam suatu negara membentuk variasi emisi sistem pangan global. Upaya mengurangi emisi dari sistem pangan akan jadi bagian dari kehidupan hampir setiap orang hingga tahun 2050.

Konsumsi makanan lebih sehat

Hal ini perlu dibarengi dengan upaya mengurangi jumlah makanan berbasis hewan (daging dan susu) serta mengurangi lemak jenuh (mentega, susu, keju, daging, minyak kelapa, dan minyak sawit). Langkah ini bisa mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dibandingkan pola makan saat ini di mayoritas negara industri.

Mulailah mengonsumsi makanan yang lebih kaya akan tumbuhan dan bergizi seimbang, makanan yang menyediakan energi dan nutrisi dari beberapa kelompok makanan yang berbeda, dan kurangi makanan yang lebih merusak lingkungan. Beralih ke pangan nabati meningkatkan kesehatan dan mengurangi dampak lingkungan.

Namun, protein hewani tetap menjadi sumber penting ketahanan pangan, nutrisi, dan mata pencarian sebagian besar warga perdesaan. Daging dan produk susu dapat jadi sumber protein dan mikronutrien penting di negara-negara berpenghasilan rendah di mana pola makan kurang beragam.

KOMPAS.ID

Apa yang Anda makan jauh lebih penting daripada seberapa jauh makanan itu telah menempuh perjalanan atau seberapa banyak kemasan yang digunakan. Transportasi dan pengemasan biasanya hanya menyumbang sebagian kecil dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan makanan.

Pikirkan juga bagaimana Anda membeli, menyiapkan, dan membuang makanan. Saat membuang makanan, Anda membuang energi, lahan, air, dan pupuk untuk memproduksi, mengemas, dan mengangkutnya. Mengomposkan sisa makanan bisa mengurangi metana dan karbon dioksida yang dilepaskan sampah organik.

Belilah hanya apa yang Anda butuhkan dan habiskan apa yang Anda beli. Jangan ragu untuk membeli buah dan sayur yang tampak kurang sempurna agar tidak dibuang. Selain itu, coba resep-resep dari para koki yang menyajikan hidangan yang tak hanya lezat tetapi juga baik bagi kesehatan dan lingkungan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Gubernur Khofifah Imbau Kabupaten/Kota di Jatim Tidak Gelar Pesta Kembang Api, Ajak Doa Bersama Sambut Tahun Baru 2026
• 23 jam lalutvonenews.com
thumb
Kemenhub-Polri Bakal Sanksi Truk Sumbu yang Langgar Pembatasan Operasional
• 7 jam lalubisnis.com
thumb
Cerita di Balik Jaringan Moncer Telekomunikasi saat Momen Nataru
• 11 jam lalukumparan.com
thumb
Update Harga Pangan: Beras, Jagung dan Minyak Goreng Terpantau Stabil
• 7 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Dirut Bulog pastikan harga beras aman menjelang tahun baru
• 2 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.