Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha industri manufaktur menilai kinerja sektor industri nasional sepanjang 2025 berada dalam fase bertahan di tengah tekanan global yang semakin kompleks. Memasuki 2026, pengusaha melihat masih terdapat peluang pertumbuhan bagi sektor-sektor tertentu yang mampu beradaptasi terhadap risiko iklim dan geopolitik.
Wakil Ketua Umum Kadin Perindustrian, Saleh Husin, menyebut kombinasi dampak perubahan iklim dan meningkatnya ketegangan geopolitik menjadi faktor utama yang saling menambah tekanan terhadap dunia usaha nasional.
“Sepanjang 2025, kami melihat sektor industri nasional berada dalam kondisi bertahan karena tekanan global yang tidak ringan, mulai dari krisis iklim hingga konflik geopolitik,” ujar Saleh, dikutip Minggu (28/12/2025).
Menurut Saleh, situasi global tersebut menciptakan ketidakpastian yang memengaruhi hampir seluruh lini industri. Dia menjelaskan, cuaca ekstrem dan meningkatnya frekuensi bencana alam telah mengganggu proses produksi serta sistem logistik domestik.
Di saat yang sama, konflik geopolitik dan fragmentasi perdagangan global menekan kinerja ekspor nasional serta memperbesar ketidakpastian pasar internasional.
“Industri yang berorientasi pada pasar domestik relatif lebih resilien, sedangkan sektor yang sangat bergantung pada rantai pasok global menghadapi tekanan yang jauh lebih besar,” kata Saleh.
Baca Juga
- Manufaktur Kencangkan Ikat Pinggang Hadapi Kenaikan UMP 2026
- Jumlah Pekerja Manufaktur Melejit, Majalengka Mulai Tinggalkan Tradisi Bertani
- Ekspor Manufaktur & Tambang Melambat, Target Ekonomi 5,2% Sulit Didapat?
Kondisi ini membuat sebagian pelaku usaha memilih strategi bertahan dan menunda ekspansi. Lebih lanjut, Saleh mengungkapkan bahwa tantangan pelaku usaha sepanjang 2025 tidak hanya berasal dari perlambatan ekonomi global.
Disrupsi rantai pasok akibat konflik geopolitik dan krisis iklim turut memperberat beban dunia usaha, terutama di sektor manufaktur dan industri padat modal.
Ketegangan geopolitik di berbagai kawasan dunia mendorong volatilitas harga energi dan pangan, sementara cuaca ekstrem meningkatkan risiko gangguan infrastruktur dan distribusi. Kombinasi faktor tersebut memperbesar biaya produksi, mempersempit margin usaha, serta membuat keputusan investasi menjadi lebih berhati-hati.
“Industri pangan, kesehatan, energi terbarukan, hilirisasi sumber daya alam, serta ekonomi digital kami nilai memiliki peluang pertumbuhan paling besar,” ujar Saleh.
Kebutuhan dasar yang relatif stabil serta kebijakan ketahanan energi dan pangan menjadi pendorong utama. Namun demikian, Saleh menegaskan bahwa tidak semua sektor akan mudah keluar dari tekanan.
“Sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki masih akan menghadapi tantangan berat akibat persaingan impor, lemahnya permintaan global, serta risiko geopolitik dan iklim,” jelasnya.
Tanpa penguatan daya saing struktural dan perlindungan pasar yang terukur, sektor-sektor tersebut diperkirakan masih akan berada dalam tekanan pada 2026.
Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) Dadang Asikin memandang bahwa peluang industri mesin dan permesinan nasional pada tahun mendatang masih cukup besar, meskipun tantangan struktural di sektor manufaktur belum sepenuhnya terselesaikan.
Ketua Umum GAMMA mengatakan subsektor logam dan mesin tetap akan menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan industri nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dalam konteks refleksi akhir tahun, Dadang menekankan bahwa industri manufaktur memiliki peran fundamental bagi kemajuan sebuah negara.
Menurutnya, kekuatan ekonomi negara maju dibangun dari kemampuan mengolah sumber daya menjadi produk bernilai tinggi melalui penguasaan teknologi, bukan semata-mata dari aktivitas jual beli komoditas.
“Negara maju tidak tumbuh dari perdagangan semata, tetapi dari kemampuannya mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi,” ujar Dadang, dihubungi terpisah.
Meski demikian, dia mengakui bahwa posisi industri manufaktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara Asia. Struktur industri nasional hingga kini masih didominasi oleh kegiatan berbasis bahan mentah dan perakitan, sementara tingkat pendalaman industri, rekayasa, dan penguasaan teknologi inti masih terbatas.
Ketergantungan tinggi terhadap impor mesin produksi, komponen presisi, dan teknologi strategis turut memperberat kondisi tersebut. Situasi ini berdampak pada tingginya biaya produksi serta melemahnya daya saing industri dalam negeri, sehingga pelaku usaha sulit meningkatkan kelas industrinya.
“Selama mesin dan teknologi strategis masih impor, industri kita akan sulit naik kelas dan selalu berada dalam posisi lemah,” tuturnya.
Selain persoalan struktur industri, kualitas sumber daya manusia juga menjadi perhatian serius. Dadang menilai keterkaitan antara pendidikan vokasi dan kebutuhan riil industri masih belum optimal, sehingga banyak lulusan belum sepenuhnya siap menghadapi tuntutan manufaktur modern yang semakin berbasis teknologi dan otomatisasi.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, kinerja industri manufaktur nasional sepanjang 2024 menunjukkan tren yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan sektor ini berada di kisaran 4,75%–4,89% secara tahunan, dengan kontribusi sekitar 19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikannya sektor penyumbang terbesar perekonomian nasional.
“Angka-angka ini menunjukkan bahwa manufaktur masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, meskipun lajunya perlu terus dipercepat,” ujar Dadang.
Dari sisi perdagangan luar negeri, ekspor manufaktur non-migas mencapai sekitar US$196,5 miliar atau lebih dari 74% total ekspor nasional. Sementara itu, realisasi investasi manufaktur menembus Rp721,3 triliun, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencerminkan tetap kuatnya minat investor di sektor industri.
Kinerja positif juga terlihat pada subsektor logam dan mesin yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri manufaktur. Permintaan ekspor yang meningkat serta ekspansi kapasitas produksi mendorong pertumbuhan industri logam dasar, mesin, dan peralatan secara berkelanjutan.
“Industri logam dan mesin memiliki peran strategis dalam memperkuat fondasi manufaktur nasional,” kata Dadang.
Menghadapi tahun 2026, GAMMA mendorong pemerintah untuk lebih menitikberatkan kebijakan pada pendalaman struktur industri, bukan sekadar menambah jumlah pabrik. Pengembangan industri mesin, material maju, serta komponen strategis seperti mold, dies, bearing, dan precision parts dinilai krusial untuk meningkatkan daya saing nasional.
Pembangunan ekosistem industri mesin dan permesinan nasional yang terintegrasi juga dinilai sebagai prasyarat kemandirian industri. Dadang menegaskan bahwa kebijakan insentif, transfer teknologi, dan penguatan produsen mesin lokal harus dijalankan secara nyata dan berkelanjutan.
“Tanpa industri mesin yang kuat, tidak akan ada kedaulatan industri,” tegasnya.
Selain itu, GAMMA menilai kepastian dan konsistensi kebijakan industri jangka panjang menjadi faktor penentu tumbuhnya investasi. Pemerintah didorong menyusun peta jalan industri manufaktur 20 tahun - 30 tahun yang konsisten lintas pemerintahan agar pelaku industri memiliki arah dan kepastian usaha.
Peran negara sebagai pembeli awal produk manufaktur dalam negeri juga dianggap sangat penting. Menurut Dadang, pemerintah dan BUMN perlu memiliki keberanian politik untuk menjadi pengguna awal produk lokal, memberikan ruang uji coba, dan tidak semata-mata berorientasi pada harga termurah.
“Indonesia tidak kekurangan sumber daya, pasar, maupun tenaga kerja. Yang masih kurang adalah keberanian untuk benar-benar berpihak pada industrialisasi sejati,” pungkasnya.




