Membaca Ambon dalam Memoar Rusdin Tompo

harianfajar
2 jam lalu
Cover Berita

Oleh: Nurhayati Rahman

Buku “Anak Makassar Besar di Ambon” yang ditulis oleh Rusdin Tompo, ketua Satupena Sulawesi Selatan, setebal 195 halaman, dan diberi kata pengantar oleh pak Denny JA ketua umum Satupena Indonesia dan bapak Ir. Ronny Loppies M.sc Forest Trop
Evaluator Kota-kota Kreatif Internasional (UNESCO Creative Cities Network) sangat menarik untuk dibaca. Karena buku ini memberi gambaran tentang kota Ambon sebelum terjadinya konflik yang berdarah yang justru terjadi sesudah reformasi tahun 1998. Konflik primordial yang sangat mengerikan dalam sejarah kelam Indonesia antara Kristen dan Islam, yang selanjutnya terseret konflik suku terutama pendatang orang Bugis, Buton, dan Makassar yg dikenal dengan istilah BBM. Menurut Denny JA terdapat korban 9000-an dan pengungsi sekitar 700.000, belum terhitung kerugian materi, berapa rumah hancur, mesjid, dan gereja, dan lama konflik selama 4 tahun dari tahun 1999- 2002.

Namun sebelum membahas tentang buku ini saya ingin menjelaskan tentang perbedaan antara biografi, autobiografi, dan memoar. Ketiganya merupakan istilah yg digunakan dalam menuliskan sejarah perjalanan hidup seseorang. Bedanya kalau biografi biasanya yang ditulis adakah tokoh penting bagi masyarakat tertentu yang pada umumnya sudah meninggal. Yang dikisahkan adalah runtut dan kronologis mulai dari lahirnya, dewasa sampai meninggaknya. Di samping itu penulis juga harus menggambarkan setting dan tempatnya serta sejarah, sosial, politik, dan budaya di mana tokoh itu hidup. Tokoh adalah individu yang punya karakter khusus, harapan, mimpi-mimpi, cita-cita serta idealismenya tentang kehidupan.

Sementara aktor menggambarkan bagaimana tokoh tersebut berperan dalam setting di mana ia tampil di panggung kehidupan. Karena itu perlu riset mendalam tentang sejarah, sosial dan budaya yang mengitari sang tokoh, juga perlu studi pustaka dan wawancara terutama saksi-saksi hidup, dan berbagai langkah akademik agar fakta yang diungkapkan oleh penulis tidak bias. Hal yang sama juga berlaku pada autobiografi, bedanya kalau biografi ditulis oleh orang lain kalau autobiografi ditulis sendiri oleh tokohnya.

Untuk menghindari subjektivitas penulis karena menulis dirinya sendiri harus disertai riset yang mendalam seperti biografi agar subjektivitas dan objektivitas saling mengisi. Sementara memoar tulisan tentang serpihan-serpihan hidup penulis, yang mengambil sebagian fakta yang masih tersimpan dalam memorinya yang disadari bahwa fakta itu memberi manfaat dan kontribusi bagi manusia. Memoar ditulis sendiri oleh sang tokoh dan biasanya bersifat tematik dengan mengambil tema-tema penting dalam perjalanan hidupnya. Ditulis dalam bentuk naratif dengan sentuhan seni yang membuat orang tertarik untuk membaca dan berkontemplasi tentang makna kehidupan yang diceritakannya.

Setelah membaca buku ini saya pikir ini adalah memoar yang cukup menarik, karena menceritakan salah satu episode hidup sang pengarang yang sangat penting untuk memaham kehidupan sosial dan budaya Ambon sebelum konflik itu terjadi.
Ada banyak informasi yang menarik untuk dilihat terutama keunikannya karena ditulis dengan gaya bahasa Ambon-Melayu- Indonesia. Kadang membutuhkan waktu berhenti sejenak agar bisa memahami apa yang dimaksud oleh sebuah kata yang berasal dari bahasa Ambon.

Tapi yang paling penting dari buku ini penulis mampir sejenak menghadirkan landscape sosial budaya Ambon yang menggambarkan Ambon sebagai kota yang maju dan berkembang untuk zamannya , layaknya kota-kota lain di Indonesia tanpa sekat-sekat agama dan suku. Penulis menggunakan gaya si Aku Lirik tapi dengan menggunakan bahasa Ambon sebagai beta untuk si Aku lirik, dan menggunakan katong untuk kata kita, kami, yang inklusif dan sopan.
Si tokoh beta menceritakan beberapa episode dalam hidupnya. Ketika masih kecil, ia kehilangan ayah saat belum siap menghadapi kerasnya hantaman kehidupan, bersekolah sambil membantu ibunya berjualan untuk sekedar meringankan beban hidupnya, karena banyaknya anak yang harus ditanggung, di rantau pula.

Dari petualangan si tokoh beta kita mendapatkan gambaran bagaimana detil-detil kehidupan si Beta di tanah Ambon dipaksa menerjang kerasnya karang seperti kata Iwan Fals. Dari situ pula beta hidup berdampingan, berbaur, bermain-main bersama anak-anak tanpa pernah tau apa kau Islam atau Nasrani. Tak heran kalau “beta punya tamang-tamang ada nama Alex ada nama Pieter” emang beta pikirin.

Ada banyak kisah persahabatannya dengan Nasrani. Sekali waktu di bulan puasa ketika si Beta berpuasa, dia ke rumahnya temannya Udiaty Tamaela, yang Nasrani. Sore itu seperti kebiasaan pada umumnya orang Ambon, mereka minum teh dengan pisang goreng, karena si Beta puasa dia pamit ke mesjid untuk shalat magrib. Namun saat pulang dari masjid mama Udiaty telah menyiapkannya hidangan buka puasa, kata mana Udiaty “karena kamu puasa maka mama menyiapkanmu buka puasa.”

Pada waktu lain, pelatih guru group qasidah si Beta dua orang yg satu perempuan namanya ibu Sinai dan seorang lagi bapak yg keduanya beragama Nasrani . Berkat bimbingan keduanya yang sangat tekun dan disiplin, group si Beta mewakili SMA 2 Ambon keluar sebagai juara 1 kategori umum.

Si Beta ini memang manusia yang multi talenta, serba bisa, dia jago menggambar,, namun si Beta juga senang menyanyi sampai membentuk group band yang diberinya nama Band Dapur karena seluruh peralatan musiknya terdiri dari alat dapur seperti panci, baskom, ember, wajan, parutan kelapa, botol, gelas dan sendok. Di samping itu ia juga jago menulis terutama bikin puisi. Semua itu dilakoninya di Ambon kota para raja Al-Mulk .

Rumahnya yang terletak di dekat laut ikut memperkaya pengalaman batin dan memufuk imajinasinya tentang sukma laut yang diwarisinya dari leluhurnya Makassar. Saban hari di waktu senggangnya ia menghabiskan waktu bermain di laut sambil mencari ikan dan siput.

Sampai suatu saat perahu kehidupan yang ditumpanginya di tengah gemuruhnya gelombang laut kota Ambon, perahunya kembali berlabuh dan merapat di kota kelahirannya, kota Anging Mammiri, Makassar.

Lalu datanglah prahara itu, tahun 1989 Ambon tercabik-cabik, kisah-kisah tentang keindahan seperti yang tertuang dalam memoar ini telah sirna dan terbawa angin lalu terbang ke negeri antah berantah. Dan kini dalam sisa-sisa kedamaian dan konflik itu mereka hidup terkotak-kotak dalam komunitasnya masing-masing. Semoga suatu saat luka-luka itu dapat sembuh dan mereka dapat membaur lagi dalam harmoni dan kedamaian seperti yang dapat kita temui dalam memoar ini.

Di kampung halaman, si Beta menamatkan kuliahnya di fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan selanjutnya melakoni hidupnya dalam berbagai ekspresi, menjadi penyiar, menjadi penulis, aktifis media, perlindungan anak dan lingkungan sambil tetap menulis dengan imjinasi yang tak henti mengalir seperti yang kita saksikan dalam karya-karyanya kini.

Selamat menyambut Natal dan Tahun Baru 2026, semoga damai selalu menyertai kita semua.

Nurhayati Rahman

Makassar, 28 Desember 2025


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemkab Kepulauan Seribu Larang Kembang Api, Wisatawan Diminta Jaga Kebersihan
• 14 jam lalutvrinews.com
thumb
Rekomendasi KY: Hakim yang Adili Tom Lembong Disanksi Nonpalu 6 Bulan
• 19 jam laludetik.com
thumb
Marc Klok Ingin Persib Bandung Geser Borneo FC Sebelum Jeda Kompetisi
• 3 jam lalugenpi.co
thumb
Hadi Suhermin Borong Saham, Kepemilikan SMIL Bertambah Jadi 51,89%
• 30 menit laluwartaekonomi.co.id
thumb
'Beda Luar Biasa', Kuasa Hukum Roy Suryo Bongkar Detail Foto Jokowi di Ijazah SMA Vs Sarjana
• 4 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.