Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 dan akan menempuh langkah hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan ini menyasar sejumlah keputusan kepala daerah yang dinilai merugikan buruh dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil.
Said menyampaikan, UMP DKI Jakarta 2026 menjadi salah satu objek gugatan yang akan segera diajukan ke PTUN. Selain itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) di Jawa Barat juga akan digugat karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan pengupahan.
“Jadi UMP DKI 2026 akan digugat ke PTUN. UMSK Gubernur Jawa Barat akan digugat ke PTUN dan beberapa UMK dan UMP provinsi lainnya kami sedang pelajari,” ujar Said Iqbal, dikutip Minggu (28/12/2025).
Baca Juga: Tok! Pramono Secara Resmi Umumkan UMP Jakarta Tahun 2026 Naik Jadi Rp5,7 Juta
Menurut Said, KSPI saat ini juga tengah mengkaji kemungkinan gugatan terhadap penetapan upah minimum di sejumlah daerah lain, termasuk Sumatera Utara. Ia menilai kebijakan upah di provinsi tersebut lebih bermasalah dibandingkan daerah lain.
“Sumatera Utara lebih parah lagi. Dia pakai indeks 0,5, padahal inflasinya dua kali Jawa. Indeks 0,5, inflasinya dua kali Jawa,” kata Said.
KSPI menilai penggunaan indeks penyesuaian upah yang rendah tidak sejalan dengan tingkat inflasi dan kenaikan biaya hidup pekerja di daerah. Kondisi tersebut dinilai berpotensi menekan daya beli buruh serta berdampak pada konsumsi rumah tangga.
Baca Juga: Resmi! UMP Jawa Barat 2026 Rp2.3 Juta Berlaku Mulai Januari
Langkah gugatan ke PTUN ini menjadi tahap awal perlawanan hukum KSPI terhadap kebijakan pengupahan 2026. Said menegaskan, jalur hukum dipilih untuk menguji legalitas dan dasar perhitungan penetapan upah minimum oleh pemerintah daerah.
Selain jalur litigasi, KSPI juga membuka kemungkinan menempuh langkah lanjutan apabila tuntutan buruh tidak direspons. Namun, fokus utama saat ini adalah menyiapkan dokumen hukum dan kajian terhadap keputusan UMP dan UMK di sejumlah provinsi.
Penetapan UMP dan UMK 2026 sebelumnya menuai kritik dari serikat buruh karena dinilai tidak mencerminkan inflasi, pertumbuhan ekonomi daerah, serta kebutuhan hidup layak pekerja. Sengketa pengupahan ini diperkirakan berlanjut ke ranah hukum dan berpotensi memengaruhi stabilitas hubungan industrial di awal 2026.




