jpnn.com, JAKARTA - Kasus yang menimpa Nenek Elina, lansia yang viral setelah diusir dari rumah yang telah puluhan tahun ditempatinya, kembali membuka mata publik tentang masih suburnya praktik mafia tanah di Indonesia.
Menyikapi fenomena ini, Anggota DPD RI asal Jawa Timur Lia Istifhama mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak pada konflik horizontal dan fokus mengawal aktor utama kejahatan.
BACA JUGA: Cerita Ning Lia Saat Berjumpa Guru Honorer Pak Ribut, Singgung Ketua DPD RI Sultan Najamudin
Menurut Lia Istifhama, ada pola berulang yang selalu muncul dalam kasus-kasus perampasan hak atas tanah, termasuk yang dialami Nenek Elina.
“Yang perlu kita garis bawahi adalah siapa dalang atau otak dari kejahatan ini. Ada pengusiran, lalu ada pihak yang mengaku telah membeli rumah. Pertanyaannya, mengapa pemilik rumah tidak merasa menjual, tetapi ada yang merasa membeli? Di sinilah praktik mafia tanah bekerja,” tegas Ning Lia sapaan akrabnya.
BACA JUGA: Siswi Kelas 2 SD Bustanul Huda Sebut Senator Lia Istifhama Sebagai Bunda Cantik
Senator Jatim yang didapuk sebagai Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai Masyarakat versi ARCI itu menilai kondisi tersebut bukan kasus tunggal.
“Ada banyak ‘Nenek Elina’ lain di luar sana. Ini persoalan sistemik yang harus menjadi atensi bersama,” ujar Ning Lia.
BACA JUGA: Apresiasi Kinerja BGN, Senator Lia Istifhama: Distribusi Makan Bergizi Gratis Tepat Sasaran Kepada Pelajar di Jatim
Perempuan yang juga putri KH Maskur Hasyim itu juga mengingatkan publik agar tidak mudah terpancing emosi dan konflik antarwarga.
Menurutnya, mafia tanah kerap memanfaatkan situasi dengan menempatkan korban dan pihak tertentu saling berhadapan, sementara aktor intelektual justru bersembunyi di balik dokumen dan proses hukum.
“Jangan sampai masyarakat diadu domba. Fokus kita harus pada pelaku utama: siapa yang menyuruh pengusiran, siapa yang mengaku membeli, dan apakah pembelian itu dilakukan secara sah, jujur, dan sesuai hukum,” tegas alumnus Doktoral UINSA Surabaya tersebut.
Komentar Ning Lia itu juga berdasarkan kasus yang dialaminya. Keluarga besarnya pernah terjerat kasus jual beli tanah dan bangunan, padahal yang terjadi hanyalah pinjam-meminjam uang dengan jaminan sertifikat.
Fakta hukum ini telah ditegaskan oleh Pengadilan Negeri Surabaya, dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya, hingga diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 3943 K/Pdt/2023.
Dalam catatan perkara tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) dan Kuasa Menjual yang dipersoalkan bukan bukti jual beli, melainkan bagian dari konstruksi hutang-piutang dengan jaminan.
Dalil penggugat bahkan dinilai kabur dan tidak koheren.
Dalam perkara SHM 1989, tergugat juga mengaku tidak pernah menerima uang, tidak ada serah terima kunci, tidak ada penguasaan fisik obyek, dan rumah tetap ditempati sebagai satu-satunya tempat tinggal keluarga.
Pola ini dinilai memiliki kemiripan dengan kasus Nenek Elina, di mana pemilik sah justru berada pada posisi paling rentan.
“Kalau benar jual beli, mengapa rumah tidak ditempati pembeli? Mengapa pemilik sah masih tinggal dan kemudian justru diusir?” tegas Ning Lia, melihat beberapa kasus sebelumnya yang pernah dialaminya.
Belajar dari kasus itu, Senator Cantik itu mendorong aparat penegak hukum untuk lebih serius menindak mafia tanah dari hulunya, termasuk oknum perantara, penyalahgunaan akta, hingga rekayasa transaksi.
Dia juga meminta negara hadir melindungi warga rentan, khususnya lansia dan masyarakat kecil yang kerap menjadi korban.
“Ini bukan sekadar soal sengketa tanah, tapi soal keadilan sosial dan kemanusiaan. Jangan biarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kasus Nenek Elina Widjajanti (80) di Dukuh Kuwukan, Kelurahan Lontar, Surabaya, menjadi perhatian publik setelah rumah yang ia tempati sejak 2011 dirobohkan secara paksa.
Awal mula kasus itu yakni seseorang bernama Samuel mendatangi Nenek Elina dan memintanya segera mengosongkan rumah. Samuel mengklaim telah membeli tanah dan bangunan tersebut dari pihak lain bernama Elisa.
Pengusiran paksa dan kekerasan dilakukan puluhan orang diduga oknum mendatangi rumah korban.
Nenek Elina diusir secara kasar, diseret, hingga mengalami luka pada bagian wajah, bibir, dan lengan.
Setelah pengusiran, bangunan rumah tersebut langsung diratakan dengan tanah menggunakan alat berat. Harta benda serta dokumen di dalam rumah dilaporkan hilang atau turut hancur.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Surabaya Armuji melakukan inspeksi ke lokasi dan mengecam aksi premanisme tersebut.
Wali Kota Eri Cahyadi mendesak pembuktian surat kepemilikan secara hukum.
Ratusan warga dan Forum Pemuda Surabaya menggelar unjuk rasa menuntut pembubaran ormas anarkis dan pengusutan tuntas kasus ini.
Kini, Polda Jatim tengah memeriksa Nenek Elina terkait dugaan pengeroyokan dan perusakan rumah.
Kuasa hukum korban menyatakan status tanah masih berstatus Letter C, sementara ada klaim bahwa surat tanah yang ada bukan atas nama korban, yang kini sedang didalami penyidik.
Saat ini, Nenek Elina tinggal sementara di sebuah rumah kos di wilayah Balongsari, Surabaya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5356636/original/059209400_1758477796-1000092780.jpg)