KABAR duka datang dari dunia rohani dan kebudayaan Indonesia. Romo Mudji Sutrisno SJ dipanggil Tuhan pada pukul 20.43 WIB di RS Carolus Jakarta. Kepergian imam Yesuit ini meninggalkan duka, terutama bagi kalangan intelektual, seniman, dan pegiat refleksi spiritual di Indonesia.
Imam sekaligus BudayawanRomo Mudji dikenal sebagai imam, budayawan, penulis, sekaligus seniman sketsa. Sejak muda, ia merasakan panggilan menjadi pastor karena ingin hadir dekat dengan manusia dan pergulatan hidup sehari-hari. Keputusan itu ia jalani sebagai jalan pengabdian yang menyatukan iman, budaya, dan kemanusiaan.
Dalam dunia pemikiran, Romo Mudji aktif menulis esai, refleksi rohani, dan puisi. Tulisan-tulisannya kerap membahas iman dalam konteks sosial Indonesia, pendidikan karakter, serta kepekaan terhadap penderitaan dan keadilan. Ia dikenal menggunakan bahasa sederhana namun reflektif, sehingga pemikirannya mudah dipahami lintas kalangan.
Selain menulis, Romo Mudji mengekspresikan pengalaman batinnya melalui sketsa. Ia kerap menyebut sketsa sebagai bahasa lain ketika kata-kata tidak lagi cukup. Garis-garis sederhana dalam karyanya merekam keheningan, pergulatan spiritual, serta relasi manusia dengan Tuhan dan alam.
Karya sketsa Romo Mudji pernah dipamerkan di ruang publik dan diapresiasi sebagai bentuk seni kontemplatif. Sketsa-sketsa tersebut bukan sekadar visual, melainkan refleksi spiritual yang mengajak penikmatnya berhenti sejenak dan merenung. Banyak karyanya menggambarkan gereja, sosok manusia, dan simbol perjalanan iman.
Intelektualis yang senang berdialogSebagai akademisi, Romo Mudji juga berperan sebagai dosen filsafat dan sosiologi. Ia dikenal dekat dengan mahasiswa dan aktif berdialog mengenai nilai kemanusiaan, etika, serta peran iman dalam kehidupan modern. Perannya di dunia pendidikan memperkuat posisinya sebagai jembatan antara iman, ilmu, dan budaya.
Kepergian Romo Mudji Sutrisno meninggalkan warisan yang tidak kecil. Tulisan, puisi, dan sketsanya menjadi jejak pemikiran dan spiritualitas yang terus hidup. Karya-karyanya mengingatkan bahwa iman dapat hadir secara lembut melalui seni, refleksi, dan kepekaan pada kehidupan sehari-hari.
(TempusDei/JurnalCikini/Sarasvati/P-4)




