Katanya, cinta itu buta. Ungkapan ini kerap terasa nyata pada mereka yang tetap bertahan, meski hati dan fisiknya telah terluka berulang kali. Mereka berusaha bertahan dengan membawa alasan bahwa pasangannya adalah orang yang paling memahami serta selalu ada untuknya. Melepaskan hubungan perlahan menjadi mustahil. Pada titik itulah, cinta yang seharusnya mengasihi, justru membebani.
Mereka meyakini akan datang waktu di mana pasangannya dapat berubah. Sikap pasangan yang penuh perhatian pada awal hubungan, selalu terbayang dalam benak mereka. Menjadi sosok yang dicari, dirindukan, dan diharapkan kembali.
Hingga tanpa disadari, inilah yang membuat seseorang mengalami Stockholm Syndrome. Menurut Graham et al. (1995) dalam (Khairaat et al. 2023), Stockholm Syndrome adalah kondisi psikologis yang tidak wajar, di mana korban kekerasan justru merasa terikat secara emosional dengan pelaku kekerasan. Ikatan emosional yang dimaksud seperti rasa cinta korban terhadap pelaku, berusaha melindungi pelaku, mulai menyalahkan diri sendiri, hingga membela kesalahan pelaku (Khairaat et al., 2023).
Ketika cinta berubah menjadi situasi untuk bertahan hidup, kekerasan menjadi hal yang wajar. Dampak psikologis yang ditimbulkan akan menjadi luka yang menyakitkan jika tidak kunjung disadari. Karena itu, mulailah mengenali kondisimu saat ini dengan menyadari dampak sebenarnya dari Stockholm Syndrome yang mengenalkan cinta dengan cara yang salah.
Pasangan Sebagai Pusat DuniaSaat seseorang mulai terbiasa dengan keberadaan pasangan, seperti selalu ada setiap dibutuhkan, siap memenuhi keinginan, hingga turut mengambil keputusan dalam hidup, memutuskan hubungan menjadi hal yang sulit. Ketika hubungan masuk ke situasi yang berbahaya, di mana pasangan mulai melakukan kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal, korban tidak dapat melepaskan diri dengan mudah. Penelitian yang dilakukan Khairaat et al. (2023) menunjukkan bahwa korban sudah terlanjur bergantung pada pasangannya sebagai cara untuk membahagiakan diri sendiri.
“Sama kamu sakit, tapi ngga sama kamu jauh lebih sakit.”
“Aku gapapa sakit, asal kamu bahagia.”
Ungkapan seperti itu adalah bentuk ketergantungan kepada pasangan. Akhirnya, kebahagiaan mulai berasal dari keberadaan atau perlakuan pasangan, meskipun menyakitkan.
Jeruji Tak Kasat MataKetika seseorang meyakini bahwa kebahagiaan berasal dari pasangan, keberadaan orang-orang di sekitar akan menjadi kabur. Tanpa disadari, hidupnya menjadi berputar hanya pada pasangan, meninggalkan orang lain yang turut memberikan pengaruh berarti dalam hidup.
Penelitian Khairaat et al. (2023) memperkuat hal ini dengan menjelaskan bahwa korban kerap merasa terisolasi dari lingkungan sosialnya ketika sangat bergantung pada pasangannya. Dalam kondisi tersebut, mereka tidak lagi tahu kepada siapa harus berbagi masalah, hingga akhirnya hanya memusatkan perhatian pada kebutuhan dan keinginan pasangan.
Jiwa yang Kehilangan TubuhKekerasan yang dialami para korban nyatanya membuat mereka mulai kehilangan diri sendiri. Para korban kerap mulai menyalahkan diri mereka sendiri dan merasa pantas menerima perlakuan kasar dari pasangan. Hal ini dikarenakan ada respon pertahanan diri, seperti yang disampaikan oleh Khairaat et al. (2023) di mana korban berusaha melindungi hubungan dengan berbohong kepada lingkungan sosial serta menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan perasaan sebenarnya.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana korban mulai kehilangan jati diri mereka. Seluruh hidup mereka seakan dipenuhi topeng dan sandiwara, menunggu keberanian untuk membebaskan diri dari jeratan menyakitkan.
Mengetahui dampak yang terus menggoreskan lebih banyak luka, bukankah itu menjadi pertanda untuk bangkit dan melawan? Cinta tidak pernah memaksa. Cinta tidak menyakiti. Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu tidak perlu mempertanyakan dirimu.





