Laporan resmi tentang hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) SMA memuat angka-angka yang menuntut kita berhenti sejenak. Rerata nilai Bahasa Inggris dan Matematika berada jauh di bawah harapan, sementara Bahasa Indonesia hanya bertahan di kisaran menengah. Angka-angka ini tidak hadir sebagai sensasi, melainkan sebagai penanda bahwa ada sesuatu yang perlu dipahami lebih serius dari ruang-ruang kelas kita—bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memahami arah yang sedang kita tempuh bersama.
Hasil TKA SMA 2025 seharusnya tidak diperlakukan sekadar sebagai statistik tahunan. Ia adalah cermin—dan pantulannya tidak sepenuhnya utuh. Rerata Bahasa Inggris berada di kisaran dua puluhan, Matematika sekitar tiga puluhan, sementara Bahasa Indonesia masih bertahan di angka lima puluhan. Data ini menunjukkan bahwa problem kita bukan semata pada satu mata pelajaran, melainkan pada fondasi pembelajaran yang belum kokoh. Ketika sebagian provinsi mampu mencatat hasil lebih baik dan sebagian lainnya tertinggal jauh, kita dihadapkan pada kenyataan tentang kesenjangan yang nyata, bukan asumsi.
Pemerintah telah menegaskan bahwa TKA bukan penentu kelulusan. Pernyataan ini benar, sekaligus tidak sepenuhnya menenangkan. Sebab, meski bukan penentu lulus, angka-angka TKA tetap membentuk cara kita membaca mutu pendidikan. Ia menjadi dasar kebijakan, rujukan publik, dan cermin bagi sekolah. Mengabaikannya sama kelirunya dengan memaknainya secara berlebihan.
Refleksi ini menjadi penting. Mudah sekali menunjuk siswa sebagai penyebab rendahnya nilai. Mudah pula menyalahkan perubahan zaman, gawai, atau pandemi yang belum sepenuhnya pergi. Namun, refleksi sesungguhnya menuntut kita melihat lebih dalam: pembelajaran yang terlalu sering berorientasi pada penyelesaian materi, bukan pemahaman; kurikulum yang bergerak cepat, sementara kesiapan di lapangan tertatih; serta beban administratif yang kerap menggerus energi mengajar.
Kini, perhatian publik mulai bergeser ke persiapan TKA SD dan SMP 2026. Jadwal telah disusun, simulasi direncanakan, dan integrasi dengan Asesmen Nasional diumumkan. Secara administratif, langkah ini tampak rapi. Namun pengalaman TKA SMA memberi pelajaran penting: kerapian sistem tidak otomatis berbanding lurus dengan kedalaman proses belajar. Tes bisa terintegrasi, platform bisa daring, tetapi jika pembelajaran sehari-hari tidak berubah, hasilnya hanya akan muncul lebih cepat—bukan lebih baik.
Kita berharap hasil TKA SD dan SMP kelak lebih baik, tetapi banyak sekolah masih bergulat dengan keterbatasan sarana, rasio guru yang tidak ideal, serta tuntutan laporan yang menumpuk. Kita menuntut kesiapan anak, sementara ekosistem pendukungnya belum sepenuhnya diberi ruang untuk bernapas. Dalam situasi seperti ini, persiapan sering kali menyempit menjadi latihan soal dan bimbingan teknis menjelang tes—jalan pintas yang mungkin menenangkan sesaat, tetapi rapuh dalam jangka panjang.
Persoalannya bukan pada niat pemerintah yang keliru, melainkan pada jarak antara kebijakan dan pelaksanaan pembelajaran. Ketika jadwal dan sistem sudah siap, sementara penguatan pedagogis berjalan lambat, tes berisiko menjadi alat ukur yang mendahului perbaikan. Jika TKA dimaksudkan sebagai pemetaan, maka tindak lanjutnya harus nyata: pendampingan bagi sekolah dan daerah dengan capaian rendah, penguatan literasi dan numerasi sejak dini, serta pelatihan guru yang berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan kelas.
Sekolah memiliki peran kunci dalam proses ini. Persiapan TKA seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki cara belajar, bukan sekadar cara menguji. Literasi perlu dihidupkan dalam keseharian, numerasi diajarkan secara kontekstual, dan Bahasa Inggris dikenalkan sebagai alat komunikasi, bukan hafalan struktur. Semua itu membutuhkan waktu, konsistensi, dan dukungan kebijakan yang berpihak pada proses, bukan hanya hasil.
Sering kali kita percaya bahwa mengganti nama, mengubah skema, atau menambah integrasi akan otomatis memperbaiki hasil. Padahal, pendidikan tidak bekerja seperti aplikasi yang cukup diperbarui versinya. Ia bekerja lewat relasi manusia di ruang kelas—antara guru yang paham, murid yang didengar, dan kurikulum yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Belajar dari TKA SMA berarti berani mengakui bahwa angka rendah bukan aib siswa, melainkan sinyal bagi sistem. Sinyal itu seharusnya dibaca sebelum kita melangkah ke jenjang yang lebih dini. Jika diabaikan, TKA SD dan SMP hanya akan menjadi cermin yang sama, dengan wajah yang lebih muda.
TKA bukan soal lulus atau tidak lulus, melainkan soal keberanian membaca arah. Negara tidak cukup hanya mengukur, lalu berharap hasil membaik dengan sendirinya. Jika TKA SD dan SMP disiapkan sebatas agenda administratif, kegagalan bukan dicegah, melainkan dimajukan waktunya. Anak-anak berhak pada sistem pendidikan yang mau belajar lebih cepat dari kesalahannya sendiri.





