Pilkada lewat DPRD: Partai Besar Merapat, Partai Kecil Tak Sepakat

kompas.id
11 jam lalu
Cover Berita

Usulan pemilihan kepala daerah atau pilkada lewat DPRD kembali mengemuka di kalangan partai-partai politik besar. Politik uang dan mahalnya ongkos kontestasi terus dijadikan dalih untuk mendorong perubahan mekanisme pemilihan, dari pemilihan langsung oleh rakyat ke skema tidak langsung. Wacana itu kian menguat menjelang perumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu.

Wacana pilkada tidak langsung sejatinya bukan gagasan baru. Pada 23 Juli 2025, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar lebih dulu melontarkan usulan agar pilkada dilakukan melalui DPRD. Alasannya, untuk menekan mahalnya ongkos politik dan maraknya praktik uang dalam pilkada langsung.

Beberapa bulan berselang, gagasan serupa kembali bergema. Pada 5 Desember 2025, dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia secara terbuka mengusulkan pilkada lewat DPRD di hadapan Presiden Prabowo Subianto.

Usulan itu tidak berlalu begitu saja. Prabowo langsung menyambutnya secara positif, memberi sinyal bahwa pilkada tidak langsung kembali menemukan momentumnya, seiring bergulirnya pembahasan RUU Pemilu.

Partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra, belakangan bahkan sudah mengambil sikap, mendukung gagasan pilkada lewat DPRD. “Gerindra ada dalam posisi mendukung upaya ataupun rencana untuk melaksanakan pemilukada ini oleh DPRD di tingkat bupati, wali kota ataupun di tingkat gubernur,” kata Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Sugiono dalam keterangannya, Minggu (28/12/2025).

Gerindra beralasan, pilkada melalui DPRD bisa lebih efisien, mulai dari proses atau waktu penjaringan kandidat, mekanisme, anggaran dan ongkos politik, hingga pemungutan suara. Sugiono menyebut, pada 2015 lalu, dana hibah dari APBD untuk pelaksanaan pilkada hampir Rp 7 triliun. Angka itu terus meningkat hingga pada 2024 dana hibah dari APBD untuk pelaksanaan pilkada mencapai lebih dari Rp37 triliun.

“Itu merupakan jumlah yang bisa digunakan untuk hal-hal lain yang sifatnya lebih produktif, upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Saya kira ini adalah sesuatu yang perlu kita pertimbangkan,” tuturnya.

Bukan hanya itu, kata Sugiono, ongkos politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah juga tergolong mahal. Hal ini kerap menjadi hambatan bagi sosok-sosok yang kompeten untuk menjadi kepala daerah.

"Dan ini yang juga kita harus evaluasi, kita harus cari bagaimana supaya orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan mengabdi kepada masyarakatnya, mengabdi kepada bangsa dan negara itu, bisa maju tanpa harus dihalang-halangi oleh angka dan biaya kampanye yang luar biasa,” imbuhnya.

Sugiono juga menekankan, pilkada lewat DPRD tidak akan menghilangkan esensi demokrasi. Sebab, calon kepala dipilih oleh anggota legislatif yang juga dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Nantinya, masyarakat juga tetap harus mendapatkan akses untuk mengawal aspirasi yang disalurkan lewat perwakilan mereka di DPRD.

Gagasan lama

RUU Pemilu kini telah resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 dan akan dibahas di Komisi II DPR. Dalam rencana itu, revisi UU Pemilu tidak hanya mempertimbangkan mekanisme pemilihan nasional, tetapi juga integrasi dengan UU Pilkada dan UU Partai Politik menggunakan metode kodifikasi untuk menyatukan sistem aturan pemilihan.

Ketua DPP PKB Daniel Johan mengungkapkan, gagasan perubahan sistem pilkada tersebut merupakan ide lama Muhaimin. Bahkan, PKB telah mengusulkan skema itu sejak sebelum Pilkada 2024 digelar.

“Mengingat biaya pilkada yang sangat besar dan mahal, saya rasa memungkinkan untuk dijalankan dan menjadi bagian dari perbaikan sistem pemilu. Perubahan sistem ini akan menekan kasus-kasus korupsi kepala daerah,” ujar Daniel, Senin (22/12/2025).

Pandangan serupa disampaikan Partai Golkar. Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan, gagasan pilkada melalui DPRD bukan dilontarkan secara tiba-tiba. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, kata dia, telah membentuk tim kajian politik yang bekerja sekitar 1,5 tahun untuk mengkaji sistem pemilu, partai politik, hingga pilkada.

Dari hasil kajian tersebut, Golkar merumuskan sejumlah opsi rekomendasi terkait sistem pemilu dan kepartaian, termasuk pilkada. Untuk pilkada, tim kajian mengusulkan tiga opsi. Opsi pertama, pelaksanaan pilkada tetap dilakukan secara langsung seperti saat ini. Opsi kedua, pelaksanaan pilkada melalui DPRD. Opsi ketiga, pelaksanaan pilkada melalui DPRD untuk pemilihan gubernur (pilgub), sementara pemilihan bupati dan wali kota (pilbup/pilwakot) dilakukan secara asimetris atau hybrid.

Baca JugaPilkada oleh DPRD, Berulang Ditolak, tetapi Terus Diembuskan Elite Politik

Anggota Komisi II DPR itu melanjutkan, terdapat sejumlah pertimbangan yang mengemuka dalam kajian tersebut, terutama soal tingginya biaya politik dalam pilkada langsung. “Bukan hanya biaya penyelenggaraannya saja, tetapi juga biaya politik lainnya yang jauh lebih tinggi,” kata Doli.

Meski demikian, opsi pilkada langsung tetap dimasukkan dalam rekomendasi. Pertimbangannya, pilkada langsung masih dipandang selaras dengan prinsip demokrasi dan pelibatan rakyat, serta prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Seiring berkembangnya aspirasi dari seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar provinsi, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar akhir pekan lalu, merekomendasikan agar pelaksanaan pilkada dilakukan melalui DPRD, baik untuk pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota, dengan sejumlah catatan.

DPP Partai Golkar diminta membahas rekomendasi tersebut bersama partai-partai politik koalisi pendukung pemerintahan Prabowo Subianto untuk diperjuangkan dalam revisi UU Pemilu atau UU Pilkada.

Siapkan konsep baru

Doli menjelaskan, tim kajian politik DPP Golkar juga telah menyiapkan konsep baru apabila opsi pilkada melalui DPRD dipilih. Konsep tersebut dirancang untuk mengakomodasi dua prinsip sekaligus, yakni prinsip demokrasi atau pelibatan publik serta prinsip penyelenggaraan pilkada yang murah, efisien, dan bebas dari praktik moral hazard pemilu, seperti transaksi politik, politik uang, dan jual beli suara.

Meski pemilihan akhir dilakukan oleh anggota DPRD, menurut Doli, tahapan-tahapan sebelumnya tetap dapat melibatkan publik. Tahap pertama adalah rekrutmen, di mana partai politik atau gabungan partai membuka pendaftaran calon secara terbuka. Tahap kedua, penilaian atau seleksi bakal calon melalui tim panel yang dapat melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Tahap ketiga, pemilihan bakal calon melalui mekanisme konvensi atau pemilihan pendahuluan (primary election) di internal partai atau gabungan partai.

“Kemudian, untuk memastikan kekhawatiran terjadinya praktik moral hazard pemilu di dalam pemilihan akhir di DPRD, pemilihan bisa dilakukan dengan voting secara terbuka,” ujarnya.

Selain Golkar dan PKB, Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebelumnya menyatakan masih mengkaji, kini telah mengambil sikap. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyatakan, PAN setuju pilkada dilaksanakan secara tidak langsung atau melalui DPRD.

Meski demikian, PAN mengajukan sejumlah catatan. Menurut Viva, seluruh partai politik harus bersepakat secara bulat agar pelaksanaan pilkada lewat DPRD tidak dijadikan ajang manuver politik dalam pembahasan revisi UU Pilkada. “Dengan demikian, proses pembahasan revisi UU Pilkada tidak akan digunakan oleh partai politik untuk berselancar menjaring suara rakyat,” ujarnya.

Viva juga mengingatkan agar perubahan mekanisme pilkada tidak memicu pro dan kontra yang tajam dan meluas di publik. Pasalnya, setiap pembahasan UU Pilkada kerap memancing gelombang demonstrasi secara masif di berbagai daerah.

Baca JugaPilkada lewat DPRD Pernah Dilakukan, Korupsi Tetap Marak

Dari sisi hukum tata negara, Viva berpandangan, UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur apakah pilkada harus dilakukan secara langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Keduanya, kata dia, sama-sama konstitusional sepanjang dijalankan secara demokratis. Mahkamah Konstitusi (MK) pun telah menegaskan bahwa frasa “dipilih secara demokratis” merupakan open legal policy yang berada dalam kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

Sejalan dengan itu, kajian akademis hingga kini juga belum satu suara. Sebagian mendukung pilkada tidak langsung, sementara sebagian lain menolaknya dengan beragam argumentasi.

Suara penolakan

Meski sejumlah partai papan atas menyatakan setuju, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sejak awal konsisten menolak pilkada tidak langsung. Sikap itu sudah diambil jauh sebelum wacana serupa kembali menguat hari ini. Pada 2014, saat pembahasan RUU Pilkada berlangsung alot, PDI-P berada di barisan partai yang mempertahankan pilkada langsung di tengah mayoritas fraksi DPR yang mendorong pilkada melalui DPRD. Kala itu, PDI-P bersama PKB dan Partai Hanura memilih berdiri di sisi pilkada langsung.

Ketua DPP PDI-P Said Abdullah menegaskan, sikap partainya tidak pernah berubah. Menurut dia, wacana menggeser mekanisme pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD tidak bisa diputuskan secara tergesa-gesa dan harus dikaji secara mendalam.

“Jangan sampai kita membuat kebijakan berdasarkan selera politik sesaat. Kajian mendalam diperlukan agar kebijakan benar-benar menjawab akar persoalan dan didasarkan pada kepentingan publik yang lebih luas,” tegas Said.

Ia mengakui, pelaksanaan pilkada langsung memang menyisakan berbagai persoalan, terutama tingginya ongkos politik yang harus ditanggung kandidat. Namun, menurut Said, persoalan tersebut tidak serta-merta bisa diselesaikan dengan mengalihkan pemilihan kepala daerah ke DPRD. “Itu jumping conclusion,” ujarnya.

Esensi pilkada langsung, kata Said, terletak pada keterlibatan langsung rakyat dalam memilih pemimpinnya di daerah. Jika mekanisme itu digantikan dengan pemilihan oleh DPRD, maka kedaulatan memilih kepala daerah dipindahkan ke wakil rakyat. “Langkah ini berpotensi membengkokkan aspirasi rakyat di daerah, karena kepentingan DPRD dan pilihan rakyat atas figur kepala daerah bisa saja berbeda,” ucapnya.

Untuk mengurai persoalan mahalnya ongkos pilkada langsung, Said berpandangan, solusi yang lebih tepat adalah membenahi regulasi dan penegakan hukum, terutama terkait politik uang. Selama ini, kata dia, biaya pilkada langsung kerap dikeluhkan, tetapi pembenahan sistem penegakan hukumnya tidak berjalan seiring.

Karena itu, Said mendorong penguatan criminal justice system dalam penanganan pelanggaran pemilu yang didominasi praktik politik uang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menurut dia, perlu diperkuat, termasuk dengan kewenangan penyidikan yang independen atau melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara khusus dalam penanganan politik uang. Sanksi pidana, baik bagi pemberi maupun penerima, harus diperberat, termasuk pembatalan pencalonan kandidat.

Selain itu, ia mengusulkan pembentukan peradilan ad hoc khusus untuk menangani perkara politik uang di setiap daerah. Dalam skema tersebut, KPK dan Bawaslu dapat melibatkan akademisi dan praktisi hukum sebagai penyidik ad hoc. Mengingat pilkada dan pemilu kini digelar serentak, praktik politik uang berpotensi berlangsung masif, sistematis, dan serentak, sehingga membutuhkan aparat penegak hukum yang kredibel dan memadai.

“Langkah ini bisa menimbulkan efek jera, baik bagi pemberi maupun penerima politik uang, sehingga peluang kandidat memenangkan pilkada dengan biaya lebih murah menjadi lebih besar,” kata Said.

Dari sisi masyarakat, Said juga menekankan pentingnya pendidikan pemilih. Masyarakat perlu diedukasi bahwa menerima politik uang merupakan tindak pidana yang merusak demokrasi dan menghambat daerah mendapatkan pemimpin yang berintegritas. Karena itu, penyelenggara pemilu, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan tokoh-tokoh sosial perlu menggalakkan pendidikan pemilih secara berkelanjutan.

Ia meyakini, jika pembenahan penegakan hukum dan pendidikan pemilih dijalankan secara serius dan konsisten, persoalan mahalnya ongkos pilkada dapat diantisipasi. “Ini tentu bukan pekerjaan bim salabim. Dibutuhkan proses dan komitmen bersama. Kuncinya ada pada kita semua, mulai dari pemimpin politik, tokoh masyarakat, akademisi, budayawan, hingga aktivis, untuk membangun demokrasi daerah yang sehat,” tuturnya.

Suara penolakan keras juga datang dari partai-partai nonparlemen. Wakil Presiden Partai Buruh Said Salahuddin mengungkapkan, mayoritas partai yang tergabung dalam Gerakan Kedaulatan Suara Rakyat (GKSR), menolak pilkada melalui DPRD. GKSR beranggotakan delapan partai nonparlemen, yakni Partai Buruh, Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Kebangkitan Nasional, Partai Bulan Bintang, dan Partai Berkarya. Adapun Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora, dan Partai Garuda tidak tergabung dalam gerakan tersebut.

Salahuddin menegaskan, partai-partai nonparlemen konsisten mempertahankan sistem pilkada langsung karena hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung tidak boleh dicabut hanya karena muncul berbagai persoalan dalam pelaksanaannya, seperti mahar politik dan praktik politik uang.

“Persoalan-persoalan itu tidak berkorelasi dengan hak rakyat. Problemnya bukan pada hak memilih, melainkan pada sistem aturan main dan terutama pada pelaksanaannya,” ujar Salahuddin.

Ia mencontohkan, praktik politik uang kerap terjadi meski telah dilarang undang-undang dan diawasi oleh lembaga pengawas. “Bawaslu dibentuk, tetapi tidak bekerja optimal. Di banyak tempat, praktik bagi-bagi uang bahkan dilakukan di rumah ibadah pada pemilu lalu dan dibiarkan,” katanya.

Terkait alasan tingginya biaya politik, Salahuddin membedakan antara biaya penyelenggaraan pemilu dan biaya politik kandidat. Menurut dia, biaya penyelenggaraan seperti pendirian tempat pemungutan suara merupakan konsekuensi demokrasi. Namun, jika yang dipersoalkan adalah besarnya uang yang dikeluarkan kandidat untuk kampanye dan memengaruhi pemilih, ia mempertanyakan jaminan bahwa mekanisme DPRD akan lebih bersih. Sebab, potensi transaksi politik tetap terbuka lewat fraksi-fraksi di DPRD.

Jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, keuntungan terbesar akan dinikmati partai-partai besar. Daya tawar politik mereka, termasuk dalam berbagai bentuk insentif, akan jauh lebih kuat

Karena itu, Salahuddin menilai gagasan mengembalikan pilkada ke DPRD justru berpotensi menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. Ia bahkan menduga, wacana tersebut tidak lepas dari kepentingan politik tertentu. “Ide ini bisa saja diarahkan untuk kepentingan partai-partai tertentu,” tegasnya.

Untuk mencegah perubahan sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung, Salahuddin menyebut Partai Buruh dan GKSR akan terus mendorong partai-partai di DPR agar mempertahankan pilkada langsung. Jika upaya tersebut tidak berhasil, GKSR akan bersinergi dengan kelompok masyarakat sipil untuk menjaga hak rakyat memilih pemimpinnya secara langsung, sembari terus mendorong perbaikan sistem agar berbagai persoalan dalam pelaksanaan pilkada dapat diselesaikan tanpa harus menarik kembali hak politik rakyat.

Kemunduran demokrasi

Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta A Bakir Ihsan berpandangan, jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, keuntungan terbesar akan dinikmati partai-partai besar. Daya tawar politik mereka, termasuk dalam berbagai bentuk insentif, akan jauh lebih kuat. Selain itu, kemenangan menjadi lebih terukur karena bertumpu pada perhitungan kursi dan terpusat pada instruksi pimpinan partai.

Menurut Bakir, dampak dari skema tersebut bukan hanya menghambat demokratisasi lokal, tetapi juga mematikan ruang hidup partai-partai kecil. Tragisnya, kata dia, kekuasaan justru akan semakin terkonsentrasi di tangan partai besar, tetapi dalam kondisi yang rapuh dan tidak terlembagakan.

“Partai menjadi terpersonifikasi pada sosok tertentu, bukan pada struktur dan ideologi, bahkan cenderung berwatak kekeluargaan, bukan berbasis kemampuan,” ujarnya.

Kritik serupa datang dari pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona. Ia menyebut wacana pilkada melalui DPRD sebagai sinyal nyata kemunduran demokrasi di Indonesia. Jika direalisasikan, menurut Yance, langkah tersebut berpotensi menjadi pintu awal perusakan kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi.

Baca JugaPilkada Tak Langsung, Benarkah Obat Mujarab Atasi Politik Berbiaya Tinggi?

Yance menilai, dampak negatif pengembalian pilkada ke DPRD sangat besar. Dari sisi politik, skema itu akan menghilangkan hak warga negara untuk memilih pemimpin daerah secara langsung. “Dalam 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah yang lahir dari proses pemilihan langsung oleh rakyat,” katanya.

Lebih jauh, Yance melihat wacana ini sebagai cermin lemahnya komitmen elite yang justru terpilih melalui mekanisme demokratis. Alih-alih memperkuat demokrasi, mereka dinilai mendorong penghapusan proses yang sebelumnya memungkinkan mereka berkuasa.

Dampak lain yang disorot Yance adalah semakin sentralistiknya peran partai politik. Dengan karakter partai yang sangat terpusat, keputusan DPP akan menentukan arah pilihan anggota DPRD di daerah. Konsekuensinya, proses pemilihan kepala daerah akan menguntungkan partai-partai besar semata.

“Partai menengah dan kecil seharusnya tidak ikut mendorong wacana ini karena mereka tidak akan mendapat apa-apa,” ujarnya.

Terkait alasan penghematan anggaran dan pemutusan praktik politik uang, Yance menilai argumen tersebut keliru sasaran. Efisiensi, menurut dia, semestinya dilakukan pada belanja politik dan birokrasi, seperti perjalanan dinas atau rapat-rapat penyelenggara pemilu. Anggaran yang dihemat justru perlu dialihkan untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik politik uang.

Daripada mengubah sistem pilkada, Yance menilai pemerintah seharusnya memperbaiki efisiensi anggaran serta menindak tegas pelaku politik uang melalui lembaga-lembaga yang telah ada. Ia juga menekankan pentingnya tekanan publik untuk menolak perubahan sistem yang dinilainya hanya menjadi dalih menghilangkan suara rakyat dan memusatkan kekuasaan.

Yance menambahkan, kondisi politik saat ini sudah diwarnai persoalan netralitas aparatur negara, yang dalam sejumlah kasus justru terlibat dalam kampanye atau mengondisikan calon tertentu. Situasi tersebut, menurut dia, akan semakin bermasalah jika pilkada tidak langsung diberlakukan.

“Ke depan, akan sangat mudah bagi pemerintah menentukan siapa yang menjadi kepala daerah. Karena itu, rakyat perlu bersuara,” ujarnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Intip Deretan Photoshoot Natal Selebriti Tanah Air yang Curi Perhatian, Ada Nicole Rossi
• 5 jam lalugrid.id
thumb
Tim SAR Temukan Life Jacket KM Putri Sakinah yang Tenggelam di Labuan Bajo
• 15 jam lalukumparan.com
thumb
Evakuasi Longsor Purwakarta, Satu Korban Meninggal Dunia
• 7 jam lalutvrinews.com
thumb
Exit Tol Cileunyi Kondusif, Polisi Siaga Antisipasi Kepadatan
• 5 jam lalutvrinews.com
thumb
Kecelakaan Kapal Wisata di Labuan Bajo, YLKI Desak Audit Independen
• 5 jam lalukompas.id
Berhasil disimpan.