Jakarta (ANTARA) - Tahun 2025 tercatat sebagai tonggak sejarah baru dalam pembangunan ekonomi desa di Indonesia, setelah Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih pada Juli 2025.
Harapannya, koperasi ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi desa, memperkuat kemandirian masyarakat, sekaligus mewujudkan pemerataan ekonomi nasional.
Pada tahap awal, pembentukan 80.000 koperasi tersebut baru sebatas kelembagaan. Belum ada bangunan fisik, sehingga koperasi-koperasi itu belum benar-benar beroperasi.
Wajar jika kemudian publik sempat mempertanyakan keberadaan 80.000 koperasi yang tidak terlihat wujudnya, apalagi jika dibandingkan dengan 20.000 ritel modern yang sudah menjamur di berbagai daerah.
Gagasan Kopdes Merah Putih, pertama kali disampaikan ke publik setelah Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, pada 3 Maret 2025.
Pemerintah menargetkan pembentukan 80.000 koperasi desa dengan kebutuhan modal mencapai Rp240 triliun atau Rp3 miliar per unit koperasi.
Hanya dalam tiga pekan, sejak ratas tersebut, presiden meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Kopdes/Kel Merah Putih. Inpres itu menugaskan 16 kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk berkolaborasi.
Langkah cepat ini menunjukkan ambisi besar pemerintah, namun kritik segera bermunculan. Sejumlah pengamat menilai skema pembentukan koperasi cenderung top-down dan sentralistik, bertentangan dengan prinsip koperasi yang seharusnya tumbuh secara sukarela dari masyarakat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menegaskan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang otonom, bukan hasil paksaan dari atas.
Meski demikian, program terus berjalan. Untuk memperkuat tahap pembangunan fisik, Presiden Prabowo meneken Inpres Nomor 17 Tahun 2025 pada Oktober 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP).
Inpres ini menegaskan dukungan penuh pemerintah dalam memperkuat ekonomi desa melalui pembangunan infrastruktur koperasi.
Pendanaan program ini melibatkan APBN, APBD, Dana Desa, serta dukungan BUMN, khususnya PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) yang ditugaskan membangun gerai, gudang, dan sarana logistik koperasi.
Dari plafon Rp3 miliar per koperasi, Rp2,5 miliar dialokasikan untuk investasi capital expenditure (capex), berupa pembangunan fisik dan kelengkapan operasional, sedangkan Rp500 juta sisanya untuk biaya operasional (opex).
Infrastruktur yang dibangun mencakup tujuh gerai wajib: kantor koperasi, gerai sembako, unit simpan pinjam, klinik desa, apotek desa, gudang berpendingin atau cold storage, serta sarana logistik.
Setelah Inpres Nomor 17/2025 terbit, pemerintah pun menyesuaikan regulasi agar proses pembiayaan koperasi lebih sederhana dan cepat.
Awalnya, pembiayaan Kopdes Merah Putih dilakukan melalui bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) berdasarkan proposal yang diajukan koperasi. Skema ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Kopdes Merah Putih.
Mekanisme tersebut dinilai terlalu administratif dan berisiko memperlambat proses pencairan dana.
Akibatnya, PMK No. 49/2025 dicabut, dan pemerintah melakukan penyesuaian skema pembiayaan. Meski aturan berubah, plafon tetap sama, yakni Rp3 miliar per unit koperasi.
Dengan plafon tersebut, setiap koperasi diwajibkan membangun gudang, gerai, dan perlengkapan lainnya sesuai standar.
Harus realistis
Target pemerintah sangat ambisius: 80.000 bidang tanah negara diinventarisasi hingga awal tahun depan, dengan tujuh gerai wajib berdiri di setiap koperasi.
Hingga awal November, tercatat lebih dari 8.000 koperasi sedang dibangun, dengan target percepatan 40.000–50.000 titik pada Desember.
Saat ini, sekitar 100 koperasi percontohan sudah mulai beroperasi di beberapa daerah di Indonesia.
Pemerintah berharap pada tahun depan seluruh 80.000 koperasi terbangun dan dapat berjalan serta memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa.
Sementara itu, Menteri Koperasi Ferry Juliantono menargetkan 80.000 unit Kopdes/Kel Merah Putih yang telah terbentuk legalitasnya dapat beroperasi penuh pada Maret 2026.
Ferry menyampaikan bahwa Presiden Prabowo pada dasarnya menginginkan agar operasionalisasi Kopdes/Kel Merah Putih dapat segera dimulai.
Hanya saja, karena belum semua unit memiliki gudang, gerai, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya, maka pembangunan aset fisik perlu dipercepat, sebelum program tersebut dapat dijalankan secara optimal.
"Maret 2026, kami harapkan seluruh gerai dan gudang selesai dibangun, Insya Allah Maret 2026 target operasi Kopdes/Kel Merah Putih bisa berjalan dengan baik," kata Ferry pada Oktober lalu.
Meski ambisi besar sudah digulirkan, tantangan nyata masih menunggu di depan. Program Kopdes Merah Putih rentan menghadapi masalah keberlanjutan.
Dengan jumlah koperasi yang sangat besar, kebijakan top-down, dan waktu pelaksanaan yang singkat, risiko koperasi rapuh dan tidak berkelanjutan cukup tinggi.
Jangan sampai koperasi hanya berakhir sebagai “koperasi papan nama”, tanpa aktivitas usaha yang nyata.
Risiko lain muncul, jika koperasi hanya fokus pada pembangunan fisik, tanpa mampu mengoperasikan usaha secara berkelanjutan. Ketergantungan pada Dana Desa maupun anggaran negara juga bisa membuat koperasi tidak mandiri dan rentan terhadap intervensi eksternal.
Alih-alih memberdayakan ekonomi desa, koperasi justru bisa menjadi beban fiskal baru.
Karena itu, apabila target 80.000 koperasi belum tercapai tahun depan, bukan berarti pemerintah gagal. Program ini justru lebih baik dijalankan secara bertahap, dimulai dari 1.000 koperasi, kemudian berkembang menjadi 3.000, 5.000, hingga akhirnya mencapai 80.000.
Semua harus realistis, dengan memastikan kebijakan yang dibuat benar-benar berjalan efektif dan dapat diterapkan di lapangan.
Hal yang terpenting, koperasi tidak hanya berdiri secara formal, tetapi benar-benar hidup, beroperasi, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa. Ingat, tujuan utama Kopdes Merah Putih bukan hanya membangun koperasi, tetapi juga mewujudkan kemandirian desa dan pemerataan ekonomi.
Harapannya, koperasi ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi desa, memperkuat kemandirian masyarakat, sekaligus mewujudkan pemerataan ekonomi nasional.
Pada tahap awal, pembentukan 80.000 koperasi tersebut baru sebatas kelembagaan. Belum ada bangunan fisik, sehingga koperasi-koperasi itu belum benar-benar beroperasi.
Wajar jika kemudian publik sempat mempertanyakan keberadaan 80.000 koperasi yang tidak terlihat wujudnya, apalagi jika dibandingkan dengan 20.000 ritel modern yang sudah menjamur di berbagai daerah.
Gagasan Kopdes Merah Putih, pertama kali disampaikan ke publik setelah Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, pada 3 Maret 2025.
Pemerintah menargetkan pembentukan 80.000 koperasi desa dengan kebutuhan modal mencapai Rp240 triliun atau Rp3 miliar per unit koperasi.
Hanya dalam tiga pekan, sejak ratas tersebut, presiden meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Kopdes/Kel Merah Putih. Inpres itu menugaskan 16 kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk berkolaborasi.
Langkah cepat ini menunjukkan ambisi besar pemerintah, namun kritik segera bermunculan. Sejumlah pengamat menilai skema pembentukan koperasi cenderung top-down dan sentralistik, bertentangan dengan prinsip koperasi yang seharusnya tumbuh secara sukarela dari masyarakat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menegaskan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang otonom, bukan hasil paksaan dari atas.
Meski demikian, program terus berjalan. Untuk memperkuat tahap pembangunan fisik, Presiden Prabowo meneken Inpres Nomor 17 Tahun 2025 pada Oktober 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP).
Inpres ini menegaskan dukungan penuh pemerintah dalam memperkuat ekonomi desa melalui pembangunan infrastruktur koperasi.
Pendanaan program ini melibatkan APBN, APBD, Dana Desa, serta dukungan BUMN, khususnya PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) yang ditugaskan membangun gerai, gudang, dan sarana logistik koperasi.
Dari plafon Rp3 miliar per koperasi, Rp2,5 miliar dialokasikan untuk investasi capital expenditure (capex), berupa pembangunan fisik dan kelengkapan operasional, sedangkan Rp500 juta sisanya untuk biaya operasional (opex).
Infrastruktur yang dibangun mencakup tujuh gerai wajib: kantor koperasi, gerai sembako, unit simpan pinjam, klinik desa, apotek desa, gudang berpendingin atau cold storage, serta sarana logistik.
Setelah Inpres Nomor 17/2025 terbit, pemerintah pun menyesuaikan regulasi agar proses pembiayaan koperasi lebih sederhana dan cepat.
Awalnya, pembiayaan Kopdes Merah Putih dilakukan melalui bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) berdasarkan proposal yang diajukan koperasi. Skema ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Kopdes Merah Putih.
Mekanisme tersebut dinilai terlalu administratif dan berisiko memperlambat proses pencairan dana.
Akibatnya, PMK No. 49/2025 dicabut, dan pemerintah melakukan penyesuaian skema pembiayaan. Meski aturan berubah, plafon tetap sama, yakni Rp3 miliar per unit koperasi.
Dengan plafon tersebut, setiap koperasi diwajibkan membangun gudang, gerai, dan perlengkapan lainnya sesuai standar.
Harus realistis
Target pemerintah sangat ambisius: 80.000 bidang tanah negara diinventarisasi hingga awal tahun depan, dengan tujuh gerai wajib berdiri di setiap koperasi.
Hingga awal November, tercatat lebih dari 8.000 koperasi sedang dibangun, dengan target percepatan 40.000–50.000 titik pada Desember.
Saat ini, sekitar 100 koperasi percontohan sudah mulai beroperasi di beberapa daerah di Indonesia.
Pemerintah berharap pada tahun depan seluruh 80.000 koperasi terbangun dan dapat berjalan serta memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa.
Sementara itu, Menteri Koperasi Ferry Juliantono menargetkan 80.000 unit Kopdes/Kel Merah Putih yang telah terbentuk legalitasnya dapat beroperasi penuh pada Maret 2026.
Ferry menyampaikan bahwa Presiden Prabowo pada dasarnya menginginkan agar operasionalisasi Kopdes/Kel Merah Putih dapat segera dimulai.
Hanya saja, karena belum semua unit memiliki gudang, gerai, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya, maka pembangunan aset fisik perlu dipercepat, sebelum program tersebut dapat dijalankan secara optimal.
"Maret 2026, kami harapkan seluruh gerai dan gudang selesai dibangun, Insya Allah Maret 2026 target operasi Kopdes/Kel Merah Putih bisa berjalan dengan baik," kata Ferry pada Oktober lalu.
Meski ambisi besar sudah digulirkan, tantangan nyata masih menunggu di depan. Program Kopdes Merah Putih rentan menghadapi masalah keberlanjutan.
Dengan jumlah koperasi yang sangat besar, kebijakan top-down, dan waktu pelaksanaan yang singkat, risiko koperasi rapuh dan tidak berkelanjutan cukup tinggi.
Jangan sampai koperasi hanya berakhir sebagai “koperasi papan nama”, tanpa aktivitas usaha yang nyata.
Risiko lain muncul, jika koperasi hanya fokus pada pembangunan fisik, tanpa mampu mengoperasikan usaha secara berkelanjutan. Ketergantungan pada Dana Desa maupun anggaran negara juga bisa membuat koperasi tidak mandiri dan rentan terhadap intervensi eksternal.
Alih-alih memberdayakan ekonomi desa, koperasi justru bisa menjadi beban fiskal baru.
Karena itu, apabila target 80.000 koperasi belum tercapai tahun depan, bukan berarti pemerintah gagal. Program ini justru lebih baik dijalankan secara bertahap, dimulai dari 1.000 koperasi, kemudian berkembang menjadi 3.000, 5.000, hingga akhirnya mencapai 80.000.
Semua harus realistis, dengan memastikan kebijakan yang dibuat benar-benar berjalan efektif dan dapat diterapkan di lapangan.
Hal yang terpenting, koperasi tidak hanya berdiri secara formal, tetapi benar-benar hidup, beroperasi, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat desa. Ingat, tujuan utama Kopdes Merah Putih bukan hanya membangun koperasi, tetapi juga mewujudkan kemandirian desa dan pemerataan ekonomi.


