Efisiensi Pilkada dan Ujian Demokrasi Lokal

harianfajar
6 jam lalu
Cover Berita

Penulis: Harianto

(Alumni Program Magister Hukum Universitas Indonesia Timur Makassar).

No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”
(Tak seorang pun cukup baik untuk memerintah orang lain tanpa persetujuan yang diperintah.)
Abraham Lincoln


Kutipan Abraham Lincoln ini menegaskan prinsip paling mendasar dalam demokrasi: kekuasaan hanya sah jika lahir dari persetujuan rakyat. Bukan semata karena efisiensi, kemampuan teknokratis, atau niat baik penguasa.

Dalam konteks Pilkada dan demokrasi lokal di Indonesia, pesan ini menjadi sangat relevan ketika wacana pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPRD kembali mengemuka.

Efisiensi fiskal memang penting, tetapi hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung adalah inti legitimasi kekuasaan di tingkat lokal.


Argumen mengenai mahalnya Pilkada langsung kerap dikemukakan. Biaya logistik, tahapan panjang, serta dinamika sosial-politik sering dipersepsikan sebagai beban fiskal negara.

Pilkada serentak 2024, misalnya, menelan anggaran besar yang kerap dijadikan alasan untuk menawarkan model pemilihan tidak langsung. Namun, melihat Pilkada semata dari sudut biaya berisiko menyederhanakan maknanya sebagai instrumen demokrasi. Demokrasi memang mahal, tetapi defisit legitimasi jauh lebih mahal dalam jangka panjang.


Dalam kajian hukum tata negara, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menegaskan bahwa pemilu merupakan mekanisme utama perwujudan kedaulatan rakyat.

Dalam kerangka ini, Pilkada—meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam Pasal 22E UUD 1945—secara substansial memiliki karakter pemilu karena menghadirkan relasi langsung antara rakyat dan pemimpin yang dipilihnya.

MBagi Jimly, yang menentukan bukanlah letak norma dalam konstitusi, melainkan fungsi konstitusionalnya sebagai sumber legitimasi kekuasaan.


Pandangan tersebut sejalan dengan Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, yang menegaskan bahwa pemilihan langsung kepala daerah merupakan penjabaran prinsip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Mengalihkan mekanisme pemilihan kepada DPRD berarti memediasi—bahkan mereduksi—hubungan langsung antara rakyat dan pemimpin yang mereka mandatkan, sehingga legitimasi politik kepala daerah menjadi tidak langsung dan lebih sempit.


Pandangan akademik tersebut menemukan penguatan penting dalam rangkaian Putusan Mahkamah Konstitusi yang, jika dibaca secara utuh, membentuk peta jalan konstitusional mengenai hubungan antara efisiensi penyelenggaraan Pilkada dan legitimasi demokrasi lokal.

Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 membuka ruang penataan desain pemilu yang lebih efisien dengan menawarkan berbagai model keserentakan yang konstitusional.

Namun Mahkamah secara tegas menyerahkan pilihan tersebut kepada pembentuk undang-undang dengan satu batas fundamental: desain apa pun tidak boleh mengurangi makna kedaulatan rakyat.


Fondasi legitimasi tersebut kemudian diperkuat melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, yang menegaskan bahwa Pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu.

Konsekuensinya, mandat kepala daerah adalah mandat elektoral yang lahir langsung dari kehendak rakyat, dan sengketa Pilkada bukan sekadar persoalan administratif, melainkan persoalan konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Penegasan ini menunjukkan bahwa legitimasi kepala daerah tidak dapat dilepaskan dari proses elektoral yang melibatkan rakyat secara langsung.


Selanjutnya, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengoreksi praktik pemilu serentak total. Koreksi ini bukan dilakukan dengan menurunkan derajat Pilkada, melainkan dengan memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.

Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas partisipasi pemilih, fokus politik publik, serta akuntabilitas pemerintahan daerah.

Dengan demikian, Mahkamah justru menempatkan demokrasi lokal sebagai arena yang perlu diberi ruang tersendiri agar tidak tenggelam oleh dominasi agenda politik nasional.


Jika ketiga putusan tersebut dibaca secara berkelindan, pesan konstitusionalnya menjadi jelas dan konsisten: efisiensi adalah instrumen pengelolaan pemilu, tetapi legitimasi tetap merupakan tujuan utama demokrasi lokal.

Efisiensi boleh dirancang, tetapi tidak boleh mengorbankan hubungan langsung antara rakyat dan pemimpin yang mereka pilih.
Dari perspektif ini, wacana Pilkada melalui DPRD tidak lagi sekadar persoalan teknis atau prosedural.

Ia menyentuh jantung demokrasi lokal: sumber mandat kekuasaan. Kepala daerah yang dipilih DPRD memang sah secara hukum, tetapi legitimasi politiknya bersifat tidak langsung dan lebih terbatas, karena rakyat hanya berperan sebagai pemberi mandat kepada wakil, bukan pemberi mandat langsung kepada pemimpin daerah.


Sikap publik mencerminkan kegelisahan tersebut. Survei Litbang Kompas (Januari 2025) menunjukkan mayoritas masyarakat menolak kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Temuan serupa disampaikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA (Tahun 2025), dengan tingkat penolakan publik yang melampaui 70 persen.

Bagi warga, hak memilih kepala daerah bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan simbol konkret bahwa suara mereka memiliki arti dalam menentukan arah pemerintahan lokal.

Peneliti politik Burhanuddin Muhtadi menekankan bahwa pemilihan langsung memiliki dampak politik dan psikologis yang signifikan. Partisipasi elektoral memperkuat rasa memiliki terhadap pemerintahan daerah sekaligus menjadi dasar akuntabilitas kepala daerah kepada rakyat, bukan semata kepada partai atau DPRD.


Pilkada langsung tentu tidak tanpa persoalan. Biaya politik tinggi, praktik politik uang, dan polarisasi sosial adalah tantangan nyata. Namun, jawaban atas problem demokrasi seharusnya ditempuh melalui perbaikan tata kelola, penguatan integritas penyelenggaraan, transparansi pendanaan kampanye, serta inovasi seperti digitalisasi, bukan dengan mengurangi ruang partisipasi rakyat.


Pada akhirnya, perdebatan Pilkada bukan semata soal murah atau mahal, tetapi soal siapa yang memberi mandat. Demokrasi lokal hanya akan kokoh jika kekuasaan berakar pada persetujuan rakyat.

Sebab, dalam demokrasi, suara rakyat bukan sekadar angka dalam bilik suara—ia adalah sumber legitimasi, pengingat etika kekuasaan, dan penanda bahwa di balik setiap kebijakan publik terdapat kehendak warga yang harus dihormati. Vox populi, vox Dei. (*)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
LPP TVRI Resmi Pegang Hak Siar Piala Dunia 2026
• 5 jam lalutvrinews.com
thumb
Strategi Jitu Pupuk Kaltim Rayu Petani Nasional
• 13 jam lalubisnis.com
thumb
Sarinah Tetap Beroperasi Normal Usai Papan Reklame Terbakar
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Mensesneg: Pemerintah Audit 24 Perusahaan Terkait Dugaan Pembalakan Hutan Liar Pascabencana
• 1 jam lalubisnis.com
thumb
Malang Ikut Diserbu Wisatawan Saat Libur Nataru, Arus Kendaraan Naik 14,08 Persen
• 19 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.