jpnn.com, JAKARTA - Tahun 2025 menjadi penanda penting dalam membaca arah politik Indonesia pascapergantian kekuasaan.
Meski dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dengan dukungan koalisi besar, satu tahun pertama pemerintahan justru menunjukkan bahwa politik nasional tetap bergerak dinamis, penuh manuver dan sarat negosiasi elite.
BACA JUGA: Refleksi Akhir 2025, DPRD Kota Bogor Tegaskan Fokus Tiga Fungsi Legislatif
Pengamat politik seklaigus Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia Arifki Chaniago menilai 2025 bukanlah tahun politik yang sunyi.
Konsolidasi pemerintahan berjalan beriringan dengan kontestasi wacana di dalam dan di sekitar koalisi.
BACA JUGA: Haul Ke-16 Gus Dur, Momentum Refleksi Kebangsaan
Secara formal, pemerintahan Prabowo relatif stabil. Namun di balik stabilitas itu, partai-partai pendukung tetap memainkan strategi masing-masing untuk menjaga pengaruh dan posisi tawar politik.
Salah satu dinamika paling menonjol sepanjang 2025 adalah kembali menguatnya serangan terhadap isu ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
BACA JUGA: Darmadi Durianto DPR RI: Kinerja BNI 2025 Solid di Tengah Tekanan Global, 2026 Harus Lebih Agresif
Isu lama yang kembali diproduksi ini dinilai bukan sekadar polemik administratif, melainkan bagian dari strategi delegitimasi politik yang lebih luas.
Menurut Arifki, ada banyak pihak yang diuntungkan dari upaya delegitimasi terhadap Jokowi.
Bukan hanya untuk melemahkan pengaruh politik pemerintahan sebelumnya, tetapi juga untuk mencairkan peta kekuasaan ke depan, terutama menjelang kontestasi 2029.
“Delegitimasi Jokowi punya efek berlapis. Salah satunya membuka kembali spekulasi dan kompetisi soal siapa yang akan menjadi cawapres Prabowo pada 2029. Selama ini posisi itu dianggap relatif terkunci. Apakah Prabowo kembali bersama Jokowi di 2029? Melihat peluang bersama SBY, Megawati atau membuka jalan sendiri, “ ujar Arifki dalam catatan refleksi akhir tahun 2025 yang diterima JPNN pada Senin, 29 Desember 2025.
Dalam konteks ini, serangan terhadap Jokowi dan Gibran dibaca sebagai upaya menggeser asumsi lama bahwa kesinambungan kekuasaan sudah final.
Dengan melemahkan legitimasi figur sentral sebelumnya, ruang tawar politik di dalam koalisi kembali terbuka.
Pada dinamika koalisi juga tercermin dari pernyataan elite partai. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, misalnya, melontarkan gagasan “taubat nasuha” bagi elite politik setelah terjadinya bencana banjir Sumatera.
Arifki menilai pernyataan ini bukan sekadar pesan moral, tetapi sinyal bahwa Anies-Cak Imin punya dukungan kuat di Pilpres 2024 di daerah tersebut.
Artinya, kekuasaan masih menjadi ruang tarik-menarik di internal koalisi pemerintahan.
Sementara itu, usulan pembentukan koalisi permanen yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dibaca sebagai upaya mengunci stabilitas jangka panjang.
Namun di sisi lain, wacana tersebut justru mengindikasikan rasa aman politik di dalam koalisi belum sepenuhnya solid.
"Kalau semua sudah benar-benar nyaman, gagasan koalisi permanen tidak perlu terus diulang. Ia muncul karena ada kecemasan akan dinamika politik ke depan,” kata Arifki.
Menurut Arifki, situasi ini wajar dalam demokrasi multipartai. Koalisi besar tidak menghapus kompetisi, melainkan mengubah bentuknya. Pertarungan tidak lagi frontal seperti masa kampanye, tetapi bergerak melalui isu, wacana, dan manuver simbolik.
Dia menilai 2025 adalah tahun ketika banyak elite tidak lagi tahan untuk berada di belakang layar. Diam terlalu lama dianggap berisiko kehilangan relevansi.
Fenomena ini terlihat ketika banyak para elite partai koalisi memanfaatkan bencana sumatera untuk mendulang citra.
Tren ini diperkirakan akan menguat pada 2026, terutama bagi elite yang merasa kehilangan panggung dan dijauhkan dari sorotan publik.
“Refleksi politik nasional sepanjang 2025 menunjukkan satu hal penting, pemerintahan baru tidak serta-merta melahirkan politik baru. Di balik stabilitas formal, politik Indonesia tetap hidup, bergerak, dan penuh manuver. Delegitimasi dan negosiasi koalisi bagian dari daya tawar parpol melihat 2029 lebih awal,” ujar Arifki.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari



