Perjuangan Nakes di Aceh: Berjibaku dengan Lumpur, Menerabas Jembatan Putus

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Matahari belum sepenuhnya tenggelam. Cahaya remang-remang masih tampak menyertai kumandang azan magrib di sebarang jalan. Namun pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) Kecamatan Pantee Bidari, Aceh Timur, telah nyenyat.

Pusat layanan kesehatan itu seperti bangunan tak berpenghuni yang berhantu. Kursi sofa, lemari, meja, timbangan bayi, hingga ranjang pasien berserakan di halaman.

Rabu petang, 24 Desember 2025 atau sekitar tiga pekan pascabanjir menerjang, puskesmas itu masih dalam kondisi porak-porik. Tak ada aktivitas. Bangunan dan halaman berlumpur. Beberapa sudut ruangan tanpa penerangan.

Puskesmas itu tampak sunyi senyap. Hanya ada empat orang yang sedang merebah lelah di sebuah ruangan beralaskan kardus, yang dinding dan pintu besinya masih terdapat bekas tanah lumpur.

“Di sini kami empat orang,” kata salah satu dari mereka, dr. Indra Sunarli, yang menyambut kumparan.

Mereka adalah petugas kesehatan yang dikirim Kementerian Kesehatan dari berbagai daerah. Mereka diperbantukan sebagai relawan penanganan kesehatan pascabanjir menerjang sebagian wilayah Aceh Timur, khususnya di Kecamatan Pantee Bidari.

dr. Indra tiba di Pantee Bidari pada Senin, 22 Desember 2025. Tak ada sambutan untuknya. Yang ia jumpai justru puskesmas lumpuh. Ruangan pelayanan tergenang lumpur. Fasilitas tak ada yang bisa digunakan. Semua ditelan air. Obat-obatan, bed pasien, terkubur lumpur. Lemari-lemari berkas milik puskesmas sampai fasilitas UGD luluh lantak oleh bah.

Yang tersisa tinggal bangunan puskesmas.

Tapi dr. Indra tak punya waktu mengeluh. Tugas utamanya mengaktifkan kembali pelayanan puskesmas sesegera mungkin. Ia bersama TNI ikut membersihkan gunungan lumpur yang menimbun ruang pelayanan. Termasuk ruangan yang mereka jadikan tempat tinggal.

“Enggak disediakan [tempat tinggal]. Kami menyediakan sendiri. Kami yang cari. Jadi memanfaatkan yang darurat,” ujarnya.

dr. Indra dkk memanfaatkan sebuah ruangan tanpa alas tidur di sebelah UGD. Mereka bersihkan lumpurnya lalu menjadikannya tempat beristirahat.

“Bersihkan sendiri. Terus ini kan enggak ada tutupnya, rusak pintunya, kami tutup pakai tirai,” katanya sambil menunjuk pintu terali besi yang digantungi sehelai tirai.

Tempat tinggal itu membuat dia dan rekan-rekannya kurang lebih seperti pengungsi.

Untuk pelayanan kesehatan, mereka memanfaatkan aula sebagai ruangan darurat. Aula itu hanya diisi satu ranjang pasien, sebaris kursi baja, dan beberapa meja yang berfungsi sebagai tempat menumpuk obat-obatan.

Di situ dr. Indra memberikan pelayanan standar seperti pemeriksaan dan suntik vitamin.

“Bedah kecil ada. Cuma bedah sederhana. Hanya suntik-suntik gitu masih bisa,” katanya.

dr. Indra ialah dokter umum, sedangkan rekan-rekannya perawat dan bidan. Dalam sehari, mereka bisa melayani 50–60 pasien. Itu belum termasuk pasien yang mereka datangi langsung ke pengungsian. Ya, mereka tak hanya menunggu di puskesmas, tapi juga menjemput bola dengan turun langsung ke desa-desa terdampak.

Jemput bola tak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Kendala selalu menyertai. Meski dokter bisa mengupayakan turun ke wilayah terdampak, alat kesehatan dan obat-obatan yang mereka bawa masih terbatas.

Masalah lainnya adalah kendaraan. Layanan ambulans untuk merujuk pasien ke rumah sakit masih minim.

“Ambulans ada tapi enggak bisa digunakan. Paling kita hanya bisa kasih obat, terapinya obat saja untuk sementara,” kata dr. Indra.

Terjang Jembatan Putus

dr. Dani Ferdian yang memimpin Tim Tanggap Bencana Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) juga disambut puskesmas lumpuh. Dani dan timnya berangkat ke salah satu wilayah terdampak parah di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, pada 14 Desember 2025.

Mereka hendak memberikan pelayanan kesehatan, namun tak bisa langsung membuka praktik secara maksimal karena puskesmas ditutupi lumpur.

Langkah pertama yang dilakukan Dani dkk adalah mengaktifkan kembali puskesmas—yang syukurnya masih utuh meskipun fasilitas dan alat-alatnya ludes ditelan lumpur. Seraya menunggu puskesmas dibersihkan, Dani dan tim mengambil langkah taktis, yakni memberikan pelayanan kesehatan keliling.

Goal besarnya bagaimana melakukan reaktivasi terhadap pelayanan kesehatan dasar di puskesmasnya,” cerita Dani kepada kumparan, Rabu (24/12).

Mereka bahu-membahu bersama relawan lain dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Universitas Malikussaleh (Unimal), dan anggota TNI membersihkan Puskesmas Langkahan sampai akhirnya bisa difungsikan darurat per 18 Desember. Pelayanannya berjalan paralel dengan pemeriksaan kesehatan keliling.

Usai misi aktivasi Puskesmas rampung, Dani dkk kembali membagi tim: sebagian dokter dokter anak, kandungan, dan dokter kulit tetap di Langkahan; adapun sebagian besar dokter penyakit dalam, dokter anak, dan dokter spesialis gizi klinik di timnya dikirim ke Bener Meriah. Mereka menerabas sampai ke Kecamatan Mesidah yang terisolasi dan belum terjamah layanan kesehatan.

Puskesmas di Mesidah memang aman dari bencana. Tapi akses menuju ke wilayah tersebut terputus sehingga tak terjangkau tim kesehatan di awal-awal bencana. Sementara nakes di sana juga tak ada. Pengiriman obat-obatan pun tak tak tersambung.

Tim Unpad sampai-sampai harus menerjang jembatan putus untuk sampai ke Mesidah. Barang dan logistik yang mereka bawa terpaksa di-loading—dipanggul dengan berjalan kaki melewati jembatan kayu, baru sesampainya di seberang dinaikkan ke motor warga yang menjemput mereka.

Kondisi medan yang beratmembuat dokter-dokter Unpad yang diturunkan hidup prihatin layaknya prajurit: makan makanan ransum ala militer, tidur pun ngemper pakai matras atau kantung tidur (sleeping bag) di Puskesmas Mesidah.

Lain waktu, tim nakes menempuh perjalanan berjam-jam dari titik terdampak satu ke titik pengungsian lain. Mereka menerapkan pelayanan keliling melalui medan berlumpur.

Dani lalu menceritakan perjalanannya ke Aceh Utara. Kala itu ia dan timnya bermarkas di kota Lhokseumawe, dan dari sana menuju Aceh Utara membutuhkan waktu 2–3 jam perjalanan darat melewati kubangan.

“Jadi 4–5 jam itu dipakai untuk perjalanan. Pelayanan sekitar 4–5 jam juga di lokasi,” imbuhnya.

dr. Michelle Mailangkay juga harus melalui jarak berjam-jam untuk memberikan pelayanan. Ia dan tim relawan Rumah Sakit Apung Laksamana Malahayati milik PDI Perjuangan menempuh empat jam perjalanan dari Kota Langsa menuju Babo, wilayah terdalam Aceh Tamiang. Konsepnya serupa, memberikan pelayanan kesehatan keliling.

Dalam sehari, para relawan kesehatan melayani 80–100 pasien per sekali jalan.

Dilema Relawan

Semua relawan kesehatan yang terjun ke medan bencana mengerahkan segala upaya dan kemampuan, tapi mereka dihadapkan pada keterbatasan faskes, obat-obatan, dan kondisi pengungsi.

dr. Michelle saat datang ke wilayah Babo dipertemukan dengan pengungsi yang mengidap hipertensi dan diabetes melitus. Kondisi pasien cukup memprihatinkan karena kaki sudah luka bernanah tapi tak mendapatkan perawatan khusus.

Untuk mengurangi penyebaran, pengungsi tersebut menutupi bukaan lukanya dengan serabut. Akibatnya, lukanya malah makin besar dan dalam.

“Yang punya sakit gula sudah sampai luka-luka,” ujar dr. Michelle.

Michelle tak bisa berbuat banyak. Alatnya terbatas. Mereka hanya bisa membersihkan luka dengan alkohol dan memberikan obat standar.

Upaya itu pun terhitung payah karena lumpur masih menyelimuti sekitar pengungsian mereka. Kaki pengungsi itu pasti kembali teredam bekas air bah. Belum lagi asupan protein yang belum memadai dan air bersih yang seret.

Para pengungsi ibarat terdampak berkali-kali: dihantam banjir, setelah itu dihantui wabah.

“Jadi ya, paling cuma bisa bilang: ‘Saya bisa bantu obat, tapi kalau sekiranya ada yang bisa dipilih-pilih nih makanannya, tolong jangan makan yang tinggi garam, yang tinggi gula,’” ujar dr. Michelle.

“Kami kasih pelayanan dengan edukasi [pasien], cuma kami menyesuaikan sama keadaan di lapangan,” tambahnya.

Kasus hipertensi akibat makanan juga paling banyak dijumpai dr. Indra. Disinyalir penyebabnya, salah satunya, karena pengungsi kebanyakan mengonsumsi mi instan.

Para relawan tak bisa berkata banyak sebab para pengungsi tak punya pilihan. Bantuan makanan yang mereka terima memang kebanyakan berisi mi instan dan telur.

“Penyakit yang paling sering, pertama ISPA karena mungkin debu juga. Kemudian hipertensi karena mereka banyak yang mengonsumsi mi,” tutur dr. Indra.

Gejala hipertensi tersebut diperparah dengan kondisi psikologis para korban. Tim Unpad menemukan banyak kasus Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) di tenda-tenda pengungsian. Mental mereka terguncang karena kehilangan banyak hal dalam sekali sapuan: harta benda, keluarga, dan penghidupan.

“Saat hujan besar terjadi, mereka cemas berlebihan,” kata dr. Dani.

Ya, banyak pengungsi trauma dengan hujan.

Pelayanan kesehatan dihadapkan pada kekurangan air bersih, sanitasi, makanan, hingga kondisi psikologi masyarakat.

Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama menekankan, pemulihan kesehatan pengungsi tidak berdiri sendiri. Penanganan kesehatan tak akan berhasil bila tak disertai pemulihan kebutuhan primer masyarakat terdampak.

“Kita mau lakukan apa pun, kalau dia masih tetap enggak punya rumah, enggak punya makan, enggak punya segala macam, orangnya akan sakit,” jelas Tjandra.

Menurutnya, upaya percepatan pembangunan jembatan bukan semata-mata soal transportasi bahan makanan, tapi untuk kehidupan orang, dan itu berhubungan langsung dengan kesehatan mereka.

“Seribu kali, sebanyak apa pun dokter dikirim, kalau situasi begitu-begitu terus ya enggak akan beres-beres,” imbuhnya.

Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, dr. Iziddin Fadhil, berharap upaya bersama berbagai pihak segera terealisasi. Reaktivasi pusat kesehatan masyarakat dibutuhkan secepat mungkin untuk mengantisipasi penyakit kronis dan menular.

Puskesmas dan fasilitas kesehatan menjadi ‘alat perang’ utama pascabanjir untuk Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Iziddin menyinggung pengidap TBC yang putus obat, pasien hipertensi yang berpotensi menjadi lebih ganas, sampai pasien yang terancam gagal ginjal.

“Tadinya dia tidak menderita penyakit jantung pembuluh darah, akhirnya bisa saja berisiko jadi penyakit jantung. Demikian juga tadinya dia tidak stroke, bisa saja jadi stroke karena hipertensinya tidak terkontrol,” kata Iziddin, mengkhawatirkan meluasnya penyakit di pengungsian.

Belum lagi kasus-kasus penyakit infeksi yang diperkirakan melonjak tajam karena sanitasi air kurang layak, lingkungan berlumpur, hingga udara berdebu.

Iziddin pun mengkhawatirkan ancaman bencana gelombang kedua.

“Yang kami takutkan dari kondisi hari ini yaitu gelombang kedua disaster. Bukan natural disaster-nya, tetapi health disaster,” tutup Iziddin yang saat ini menghibahkan diri di Puskesmas Karang Baru, Aceh Tamiang.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Rumah Zakat Bersama Mitra Siapkan Langkah Strategis untuk Masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatra
• 16 jam lalurepublika.co.id
thumb
30 Contoh Ucapan Tahun Baru 2026 untuk Dosen, Sopan Tapi Bikin Terkesan
• 15 jam lalukatadata.co.id
thumb
Bulog Dorong Pedagang Gunakan QRIS untuk Transaksi di Pasar
• 4 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Proses Hukum Terus Berjalan, Insanul Fahmi Minta Doa Terbaik
• 16 jam lalugenpi.co
thumb
DEEP Master Course Masuk Indonesia, CGBIO dan Daewoong Hadirkan Teknik K-aesthetic yang Aman dan Efektif
• 4 jam lalutabloidbintang.com
Berhasil disimpan.