Bagaimana Gagasan Estetik dalam Karya Sastra Prosa Menemukan Ekspresinya?

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita

Novel, novelet, cerita pendek, atau bisa juga esai naratif merupakan varian karya sastra prosa, tempat kompleksitas gagasan estetik menempatkan diri sebagai jiwa ekspresi. Mengambil jarak perlainan dengan genre puisi, yang lebih menghadirkan performa yang menekankan kepadatan dan tipografi atau keterikatan pada rima dan irama, prosa mempunyai ruang lebih luas untuk membangun dunia imajinasi, mengembangkan karakter ciptaannya, dan menganyam argumen filosofis lewat struktur naratif tertentu.

Karya sastra prosa mempunyai kemerdekaan struktural yang menumbuhkan segenap pemungkinan untuk mengeksplorasi keindahan melewati cara-cara yang leluasa menggunakan jumlah kata yang lebih banyak. Dengan caranya sendiri yang berbeda dari genre puisi, ia mengajak khalayak pembaca mengembarakan jelajah apresiasinya pada pesona nilai artistik yang menjadi adonan nan liat pada jalinan cerita dengan kemasan performa bahasanya yang sedemikian mengundang gairah bersastra ria.

Patut mendapat pemahaman yang semestinya, bahwa gagasan estetik dalam karya prosa bukan sekadar dekorasi. Melainkan jiwa karya sastra prosa yang mewujud seiring dengan beroperasinya segenap elemen intrinsik secara maksimal dalam tatanan kinerja yang padu guna menghadirkan pengalaman indah bermakna bagi khalayak pembaca.

Dan menjadi sangat penting, kemampuan untuk menikmati keselarasan antara bentuk (form) bagaimana gagasan estetik itu menemukan pengucapannya dan isi (content) narasi yang terkait dengan kompleksitas, kedewasaan, dan kebijaksanaan dalam menyikapinya.

Gaya Bahasa

Pemanfaatan bahasa merupakan fondasi elemen yang mesti kokoh peletakannya dalam ekspresi estetik karya sastra prosa. Sang pemegang kendali dari kata-kata itu memainkan strategi jitu untuk membangkitkan peran fungsionalnya yang tidak lagi sebatas penyampai informasi.

Akan tetapi lebih daripada itu, juga untuk menggugah suasana hati, mengkreasikan citraan, dan menimbulkan efek emosional. Dan, gaya bahasa atau stilisasi tiada ubahnya “sidik jari” unik penulis yang menyebabkan karyanya mempunyai kemenonjolan ciri khas.

Seorang penulis karya sastra prosa menuangkan dengan cara paling langsung nilai estetika miliknya melalui gaya bahasa. Dia menentukan pilihan kata (diksi) sesuai dengan kehendak artistiknya ke dalam struktur kalimat demi kalimat yang khas dirinya guna menghadirkan suasana atau nada yang dia ingin sampaikan kepada khalayak pembaca.

Raut estetika itu dapat hadir dari kebersahajaan yang penuh daya pikat ketajaman (minimalisme). Atau, dengan kekuatan deskripsi yang begitu terkerahkan dengan luapan yang kaya (maksimalisme). Boleh terbilang, gaya bahasa dapat menunaikan fungsinya guna mengintervensikan pengaruh terhadap persepsi sensoris khalayak pembaca.

Sastrawan dan jurnalis Amerika Serikat Ernest Miller Hemingway (21 Juli 1899 - 2 Juli 1961), mengekspresikan gagasan estetiknya yang jujur dan penuh citra kejantanan melalui gaya bahasa dengan kalimat demi kalimat yang pendek, lugas, dan begitu sedikit adjektiva (kata sifat).

Sementara itu, Gabriel García Márquez atau lengkapnya Gabriel José de la Concordia García Márquez (6 Maret 1927 - 17 April 2014), sastrawan dan wartawan asal Kolombia, mengekspresikan gagasan estetiknya lewat gaya bahasa dengan kalimat demi kalimat panjang. Berkelok liku tapi begitu penuh pesona keindahan. Serta, mengombinasikan hal-hal fantastis dengan yang sangat duniawi dalam tatanan realisme magis.

Termasuk ke dalam rengkuh pembicaraan mengenai gaya bahasa ini, yaitu pemakaian majas (figurative language). Pemfaedahan metafora, simile, personifikasi serta varian majas lain, juga menjadi cara bagi penulis karya sastra prosa untuk menuangkan gagasan yang dapat menggapai nilai estetiknya. Pemfaedahan majas dapat menstilisasi ekspresi sehingga menjadi terasa hidup dan sarat kesan secara visual atau emosional.

Misalnya gagasan faktual tentang “langit gelap”, dengan sentuhan metafora yang terasa sarat sebagai ungkapan subjektif, seperti “langit serupa kanvas lukisan yang terisi penuh dengan goresan demi goresan cat ketakutan” lebih dapat mengantarkan kesan suasana yang begitu mencekam, berpotensi membentuk gambaran yang melampaui makna harfiahnya di benak imajinasi khalayak pembaca.

Selanjutnya, tentang diksi (word choice). Ini juga termasuk bagian yang menentukan dalam pembentukan sosok gaya bahasa. Pemilihan kata dengan tingkat pencermatan dan pembobotan yang tinggi, baik dengan ketetapan sifat lugas (transparan) maupun berlapis makna, bisa menghunjamkan pengaruh estetik signifikan.

Pernyataan naratif “Langkah lelaki itu begitu tergesa. Seolah ada bayangan masa silam yang menghantuinya” dengan diksi yang lebih variatif daripada sekadar “Lelaki itu berjalan cepat”, memiliki potensi untuk menyodorkan suatu tawaran kedalaman psikologis. Dan, hal ini berkontribusi terhadap upaya pengayaan atas suguhan pengalaman estetik yang terhidang sebagai ekspresi sastrawi.

Simbolisme Naratif

Pemfaedahan subjek orang, objek benda atau tempat untuk merepresentasikan suatu gagasan, terlebih yang memiliki kandungan filosofi tinggi, acapkali dekat dengan tangkapan simbolisme. Upaya ini memperkokoh eksistensi karya sastra prosa dengan usungan lapisan makna mendalam yang tersirat. Dan, hal ini juga mengundang ajakan untuk melakukan tafsiran (interpretasi) yang mendalam pula dari khalayak pembaca.

Karya sastra prosa mengutarakan gagasan abstrak lewat objek atau peristiwa konkret. Gagasan estetik yang menyentuh tema mengenai kematian, kecintaan, atau keterasingan tidak selalu mendapatkan ekspresi yang tersurat secara eksplisit. Akan tetapi, pengucapannya dengan menunjukkan simbol-simbol yang tertebar di sepanjang jalan narasi. Subjek atau objek yang berperan menjadi simbol itu mempunyai kandungan filosofi yang mengakar dalam.

Simbolisme yang terengkuh tangan realisasi pemakaian dari penulis, merupakan upayanya cerdas agar pesan yang tersampaikan kepada khalayak pembaca tidak mewujud ke dalam intensi yang terlalu memanjakan keinginan untuk terlalu menggurui. Oleh karena itu, sang penulis karya sastra prosa pun mengkreasikan sejumlah stratifikasi makna yang dapat menerima penafsiran berlainan dari tiap pembaca.

Simbolisme cahaya lampu hijau di seberang teluk, sebagaimana hadir dari gagasan estetik dari sastrawan Amerika Serikat Francis Scott Key Fitzgerald (24 September 1896 - 21 Desember 1940) dalam Novel The Great Gatsby (1925), bukan sekadar lampu dermaga. Melainkan lebih dari itu, ia merupakan simbolisme dari ekspresi estetik tentang mengejar mimpi Amerika (chasing the American dream) yang tidak pernah tergapai dan menjadi suatu tragika asa.

Sementara itu, dalam Sastra Indonesia Modern, simbolisme yang kuat satu di antaranya muncul dalam sejumlah karya Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum (lahir 19 Juni 1958). Dua karyanya yang tersohor dan secara eksplisit memiliki kandungan simbolisme senja, yaitu Cerita Pendek “Sepotong Senja untuk Pacarku” (1991) dan Novel Negeri Senja (2003). Novel ini sukses meraih Khatulistiwa Literary Award pada 2004.

Simbolisme senja dalam Cerita Pendek “Sepotong Senja untuk Pacarku” bukan sebatas penanda deskripsi waktu, melainkan objek riil yang menerima perlakuan surealis. Penonjolan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas atau kenyataan). Karakter utama dalam cerita pendek ini yang tengah terlibas amukan rindu dan asmara di puncak gejolak, berupaya “memotong senja”. Kemudian, dia mengirimkannya kepada sang pacar sebagai bukti cinta yang konkret dan wujud pengorbanan nan ekstrem.

Adapun Novel Negeri Senja menitikberatkan simbolisme konsep senja yang mengalami perluasan dari sebatas momen personel, kemudian beringsut menuju ke posisi sebagai latar sosial politik. Novel ini mendeskripsikan sebuah negeri fiktif. Di sana, matahari senantiasa berada di ufuk barat. Rotasi bumi terhadap matahari tidak berlaku. Dan, suasana temaram pun terus mengabadi.

Fabel politik ini konon merupakan sindiran terhadap kondisi masyarakat Indonesia manakala berada di bawah kekuasaan rezim otoriter. Senja yang konstan merupakan simbolisasi dari ketidakjelasan, ketidakpastian, atau zaman kegelapan politik. Kemudian para karakternya melakukan eskapisme ke realisme magis dengan mencari makna kebebasan dalam kerangka struktur sosial yang menerbitkan kebingungan menyesakkan hati. Di sini, hadir simbolisasi hegemoni penguasa yang menyamarkan realitas seperti cahaya senja yang remang dan senantiasa remang.

Prosa hadir sebagai karya sastra yang berbobot manakala ia mempunyai kemampuan prima untuk mengekspresikan gagasan di dalam permukaan narasi. Simbolisme kemudian menjadi alat yang perkasa guna menyuguhkan makna spesifik atau gagasan yang lebih menyentuh nurani kemanusiaan khalayak pembaca.

Novel Moby-Dick (1851) karya sastrawan Amerika Serikat Herman Melville (1 Agustus 1819 - 28 September 1891) tidak hanya menceritakan tentang paus putih. Akan tetapi, paus itu sendiri merupakan simbol multitafsir. Ia bisa menjadi simbol alam yang tidak terkalahkan. Ia bisa pula menjadi simbol kejahatan. Ia bisa juga menjadi simbol obsesi. Sesungguhnya inti dari estetika simbolisme adalah kepiawaian suatu objek yang sahaja menyemburatkan kilau makna yang universal.

Gagasan utama atau pesan terselubung dalam karya sastra prosa, orang menyebutnya sebagai tema, seperti korupsi, cinta, kebebasan, perjuangan hidup acapkali mendapatkan cara pengekspresian secara tidak langsung. Khalayak pembaca perlu menggali dan menginternalisasi, menghayati, nilai artistiknya.

Usungan tema diskriminasi rasial dominan dalam menghiasi banyak karya Harlem Renaissance. Sebuah periode kebangkitan budaya, sosial, seni yang mengemuka di kalangan keturunan Afrika-Afrika pada 1920-an hingga medio 1930-an. Tidak sedikit karya sastra mereka yang mengeksplorasi problem sosial ini lewat citraan, simbolisme, dan plot atau alur cerita yang menguras tuntas respons emosional dan pemahaman intelektual hingga ceruk terdalam.

Salah satu di antaranya adalah Novel Passing (1929). Karya sastra prosa yang menggarap tema diskriminasi rasial ini merupakan karya Nellallitea Larsen atau Nella Larsen atau Nella Imes (13 April 1891 - 30 Maret 1964) setelah menikah. Terlahir dengan nama Nellie Walker. Ibunya, Mary Hanson, imigran kulit putih asal Denmark. Ayahnya, Peter Walker, pria kulit hitam asal Hindia Barat Denmark (kini Kepulauan Virgin Amerika Serikat).

Novel ini mengeksplorasi dengan sangat tajam soal batasan-batasan rasial dan identitas yang semakin cair. Passing memberikan fokus penceritaan mengenai fenomena personel keturunan Afrika-Amerika yang mempunyai kulit dengan warna terang lebih menetapkan pilihan hati untuk “menyeberang” dan hidup sebagaimana layaknya orang kulit putih. Adapun tujuannya, untuk mengelak dari perlakuan diskriminatif. Selain itu, guna memperoleh hak-hak istimewa yang biasa menjadi milik kaum dominan.

Pada intinya, Passing, menghidangkan kisah tentang pertemuan kembali dua sahabat kecil setelah banyak tahun berlalu. Dua karakter itu bernama Irene Redfield dan Clare Kendry. Mereka berada dua sisi perspektif yang berseberangan dalam menyikapi permasalahan diskriminasi rasial itu. Di satu pihak, Irene istikamah menghidupkan kebanggaan identitasnya sebagai perempuan kulit hitam di Harlem. Di lain pihak, Clare telah seutuhnya menyamarkan identitas dengan menikahi lelaki kulit putih yang ternyata sangat rasis.

Lewat karakter Clare, agaknya Nella Larsen, hendak menghidangkan tentang beban kejiwaan dan risiko kehilangan jati diri akibat adanya tekanan rasial yang mendorong paksa seseorang meninggalkan akar jati diri identitasnya demi kenyamanan secara sosial dan ekonomi. Dan yang menarik, novel ini juga tidak sungkan-sungkan menelanjangi adanya fenomena rasisme internal (colorism) di dalam komunitas kulit hitam itu sendiri.

Pengaturan Plot

Estetika dalam karya sastra prosa pun menunjukkan rautnya tatkala sang penulis menyusun waktu dan kejadian dalam rangkaian plot. Bisa saja alur narasi yang tersusun dengan waktu dan kejadian bergerak maju secara linier. Bisa pula berlompatan secara fragmentaris. Struktur naratif yang mengantarkan susunan plot hasil kreasi sang penulis, pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan estetik tentang cara kreator memandang realitas yang tercerna metabolisme literernya.

Alur yang nonlinier atau teknik arus kesadaran (stream of consciousness) tidak jarang memperoleh realisasi pemakaian untuk mengekspresikan gagasan estetik mengenai pikiran manusia yang kompleks atau waktu yang berjalan dengan tidak beraturan.

Sastrawan Irlandia James Augustine Aloysius Joyce (2 Februari 1882 - 13 Januari 1941) lewat Novel Ulysses (1922), yang pada mulanya merupakan cerita bersambung di Jurnal Sastra Amerika The Little Review (1918 -1920), menggunakan teknik arus kesadaran yang begitu eksperimental guna mengungkapkan ekspresi yang penuh pesona estetika tentang everyday life yang kacau tapi puitis pada satu hari di Dublin.

Untuk Sastra Indonesia Modern, ada Novel Ziarah (1969) karya Iwan Martua Dongan Simatupang (18 Januari 1928 - 4 Agustus 1970), yang memainkan struktur naratif absurd dalam upayanya mengekspresikan gagasan naratif eksistensialisme. Inti ajaran eksistensialisme, manusia lahir tanpa tujuan atau makna yang telah menjadi ketentuan. Kemudian, menciptakan makna hidupnya sendiri lewat kebebasan memilih dan melakukan tindakan autentik. Dan, bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan itu.

Secara anumerta, karya sastra prosa ini meraih Hadiah Sastra ASEAN atau SEA Write Award 1977. Tujuh tahun setelah sang novelis wafat. Dan, penghargaan internasional ini tercatat merupakan salah satu yang paling awal teranugerahkan untuk buah cipta sastra dari Indonesia.

Novel Ziarah ini merupakan salah satu karya yang paling radikal dan inovatif dalam sejarah Sastra Indonesia. Ia mengintroduksi gaya penulisan, termasuk dalam penyusunan plot, yang inkonvensional dan absurd. Entitas narasinya melewati batas-batas logika yang tradisional. Iwan Simatupang mengajak khalayak pembacanya mengembara ke labirin eksistensialisme. Di situ batas realitas, ingatan, dan kegilaan menjadi sedemikian tipis.

Meskipun demikian, dalam rengkuh pemikiran yang lebih konvensional, sesungguhnya struktur naratif dan alur (narative structure and plot) membentuk suatu arsitektur cerita, manakala segenap elemen naratif tersusun secara koheren, merupakan aspek estetik yang krusial.

Dengan demikian, bagaimana sang prosais memulai (eksposisi), mengembangkan (aksi meningkat), dan menyelesaikan (klimaks, resolusi) sangat berpengaruh terhadap cara pembaca memasuki pengalaman di dunia naratif suatu karya sastra prosa. Pemilihan sudut pandang (point of view) narator, biasanya lebih lazim orang pertama dan ketiga, dapat menanamkan pengaruh pengalaman estetik khalayak pembaca pada seberapa dekat mereka dengan pikiran dan perasaan para karakter atau seberapa objektif ceritanya.

Dengan sudut pandang orang pertama, Andrea Hirata Seman Said Harun (lahir 24 Oktober 1967) lewat Novel Laskar Pelangi (2005) mampu menyuguhkan pengalaman estetik yang berbalutkan keintiman dan subjektivitas. Khalayak pembaca dapat melihat dunia naratif dalam novel tersebut lewat filter emosi dan pemikiran yang meluncur dari kepala karakter utama.

Sudut pandang orang ketiga yang menjadi pilihan Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006) dalam Novel Bumi Manusia (1980) memberi fleksibilitas tinggi kepada khalayak pembaca mengakses pikiran dan perasaan karakter utama Minke, Annelies Mellema, Nyai Ontosoroh serta yang lain. Cara ini dapat menciptakan jarak objektif atau sebaliknya kedekatan emosional dengan beberapa di antara mereka.

Walaupun tidak selazim orang pertama dan ketiga, ada pula sastrawan yang memanfaatkan sudut pandang orang kedua. Sastrawan Amerika Serikat John Barrett “Jay” McInerney Jr (lahir 13 Januari 1955) dalam Novel Bright Light, Big City (1984). Karya fiksi ini tersohor dengan pemakaian sudut pandang orang kedua. Mendeskripsikan kehidupan malam di Manhattan pada awal dekade 1980-an.

Masih terkait dengan bahasan mengenai plot, yaitu penceritaan nonliteter. Sejumlah karya sastra modern bereksperimen dengan alur gabungan maju-mundur atau dengan fragmen-fragmen waktu yang tidak berurutan. Hal ini mendorong khalayak pembaca untuk menyusun makna sendiri. Teknik pembentukan plot yang sedemikian ini menghidangkan estetika kompleksitas, misteri, dan tantangan intelektual.

Novelis dan penulis esai asal Meksiko Carlos Fuentes Macías (11 November 1928 - 15 Mei 2012) melalui karya sastra pascamodern, Novel Aura (1962) terkenal sebagai genre misteri identitas dengan sudut pandang orang kedua. Ia memanfaatkan struktur nonlinier guna menebarkan ekspresi gagasan estetik mengenai realitas yang terfragmentasi atau waktu yang melingkar.

Dalam totalitasnya, karya sastra prosa mengekspresikan gagasan estetiknya dengan cara yang begitu kaya dan sarat keragaman. Ia menangguk manfaat dari kebebasan bentuknya guna membangun suatu possible word yang otonom, tempat segenap elemen penceritaan mulai dari diksi hingga struktur plot yang kompleks, saling membahu menyelaraskan kebersamaan koordinasi dalam menyajikan pengalaman artistik nan unik.

Sebab, memang suatu karya seni kata membukakan diri bagi penguatan peran serta aktif khalayak pembaca dalam langkahnya menemukan keindahan dan makna secara optimal. Dan, ini merupakan proses interpretasi yang tidak pernah mengenal habis. Ada dialog yang tidak pernah berhenti antara karya secara tekstual dan khalayak pembacanya yang menyebabkan dinamika konsep estetika yang tidak berhenti di tempat.

Suasana dan Latar

Selebihnya yang tidak kurang menarik sebagai upaya mengekspresikan gagasan estetik dalam karya sastra prosa, yaitu kemampuan sang penulis membangun suasana (atmosphere) dan latar (setting). Sesungguhnya latar dalam konteks ini bukan hanya semacam dekorasi atau sekadar tempat suatu peristiwa naratif terjadi. Melainkan, alat untuk mengekspresikan emosi dan estetika ruang.

Sang penulis karya sastra prosa juga memanfaatkan deskripsi latar guna membangun mood yang hendak mendapatkan aksentuasi dalam seluruh dunia narasi. Dengan deskripsi secara rinci mengenai cuaca, arsitektur, atau bau suatu tempat, karya sastra prosa dapat seolah mengungsikan khalayak pembaca ke dalam kondisi psikologis tertentu.

Dalam genre karya sastra prosa gotik (gothic literature), yaitu cerita seram, horor, supranatural, kekerasan, dan ketertarikan pada kematian atau masa lalu, sebagaimana karya-karya Edgar Allan Poe (19 Januari 1809 - 7 Oktober 1849). Misalnya latar berupa rumah yang runtuh, lorong gelap, dan cuaca suram mendukung ekspresi estetik dari rasa takut, pembusukan moral, dan keindahan dalam kegelapan.

Selanjutnya, pengarakterisasian sebagai cermin gagasan karakter dalam karya sastra prosa merupakan wahana bagi pengedepanan gagasan-gagasan cemerlang. Konflik batin yang berkecamuk di dalam diri karakter, cara mereka berbicara mengutarakan pikiran dan perasaannya, berikut transformasi sifat mereka adalah cara sang penulis menandai ekspresi pandangan estetiknya mengenai kemanusiaan.

Karakter dalam novel atau cerita pendek tidak jarang mewakili gagasan filosofis sang penulis. Pancaran estetika itu mengemuka manakala karakter tersebut melakukan interaksi dengan dunianya. Kemudian menciptakan drama yang menggugah empati atau pemikiran kritis.

Seperti karakter Meursault dalam Novel L'Étranger (1942) karya sastrawan Prancis Albert Camus (7 November 1913 - 4 Januari 1960). Ketidakpedulian Meursault (bisa jadi representasi Albert Camus sendiri) terhadap norma sosial memperoleh bentuk ekspresi lewat narasi yang dingin dan datar. Novel ini merupakan salah satu karya sastra prosa klasik yang menggarap tema eksistensialisme dan absurditas.

Ada catatan yang patut mendapatkan aksentuasi. Tolok ukur keberhasilan karya sastra prosa terletak pada kemampuannya mengomunikasikan gagasan demi gagasan yang kompleks lewat harmoni penerapan diksi (word choice), tenunan simbol, serta arsitektur narasi yang terbangun dengan peranti elemennya secara cermat. Inilah barangkali jawaban dari pertanyaan: Bagaimana gagasan estetik dalam karya sastra prosa menemukan ekspresinya? ***


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Begini Riwayat Abu Ubaidah, Pembebas Syam yang Jadi Sandi Juru Bicara Al-Qassam.
• 6 jam lalurepublika.co.id
thumb
Menko PMK Sebut 1.050 Huntara Sudah Dibangun di Lokasi Bencana
• 16 jam laluidxchannel.com
thumb
BRI (BBRI) Bagikan Dividen Interim Rp20,6 Triliun, Hari Ini Kesempatan Terakhir
• 18 jam laluidxchannel.com
thumb
Lee Chae Min Jadi Aktor Pendatang Baru Terbaik APAN Star Awards 2025
• 6 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Tampil Bagus di Como, Nico Paz Tetap Membumi: Saya Bukan Bintang
• 18 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.