Sri Winarti: Penjaga Literasi dari Lapak Buku Bekas Surakarta

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Di sudut depan kios buku tua, di bawah naungan pohon beringin, terdengar pelan lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh seorang perempuan berusia senja. Suara tersebut berdampingan dengan suara lain seperti sepeda motor, becak, kicauan burung, dan tawar-menawar antara pedagang dengan calon pembelinya. Kiosnya tertata rapi, seakan punya magnet bagi setiap insan yang melintas. Bagi Sri Winarti (60), itu bukan sekadar kegiatan rutin, melainkan pola yang telah ia sulam selama puluhan tahun.

Awal Mula Merangkai Karier

Telah lebih dari tiga dekade, ia melabuhkan fokusnya pada kios buku tempatnya berjualan. Awalnya, ia memutuskan untuk berjualan buku karena ingin tetap bekerja sambil mengurus anak-anaknya dan karena kesukaannya terhadap buku. Ide itu pun terlaksana sejak tahun 1986 hingga sekarang.

“Dulu awalnya saya kerja di pabrik. Tapi setelah punya anak, saya jadi mikir, kalau tetap (kerja) ikut orang, anak saya tidak ada yang urus. Terus saya kepikiran buat jualan buku, karena selain ingin ikut mencerdaskan bangsa, juga karena buku ini kan tidak lekang oleh waktu,” ujarnya dengan logat Jawa yang khas.

Perjalanan Sri berjualan beriringan degan perjalanan pasar buku itu sendiri. Pasar tersebut berdiri pada tahun keempat setelah Sri memulai usahanya. Sebelumnya, ia berjualan di trotoar Alun-Alun Lor Surakarta bersama para pedagang lain. Hingga pada tahun 2000, ia dan para pedagang lain pindah ke pasar yang ia tempati sekarang, tepatnya di Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lalu, ia resmi menempati kiosnya pada tahun 2010 hingga kini.

“Pas kita masuk bangunan ini sudah ada, jadi tinggal ditertibkan saja. Masuk keseluruhan tahun 2000, geser ke sini (lokasi pasar sekarang) tahun 2010,” ucap Sri dengan mata berbinar, menerawang seolah merakit memori lama yang penuh suka dan duka.

Buku, Hobi, dan Keterbatasan

Rutinitas harian yang Sri jalani diawali dengan datang lebih awal dari pedagang-pedagang lain menggunakan motor tuanya. Selanjutnya, ia membuka setiap helai kain penutup buku-bukunya. Lalu, ia tata setiap buku dengan perlahan dan penuh perhatian hingga tampak rapi dan sedap dipandang. Buku-buku seperti novel klasik, Sastra Jawa, filsafat, pengembangan diri, buku kuliah, dan lain sebagainya tersedia di kiosnya. Sambil menunggu pembeli, ia memanfaatkan waktu dengan membaca kitab suci, buku, atau sekadar bercengkerama dengan pedagang lain.

Salah satu buku kesukaannya adalah novel kehidupan dengan judul Bumi yang Subur dan Wang Si Macan karya Pearl S. Buck. “Saya lebih suka buku-buku klasik, atau yang ada pesan moralnya. Kalau novel sukanya yang novel-novel kehidupan. Saya paling suka sama Bumi yang Subur dan Wang Si Macan karyanya Pearl S. Buck,” tuturnya dengan semangat dan diikuti tawa yang khas.

Sejak kecil, Sri kesulitan mendapatkan akses pada buku. Meskipun begitu, semangat belajar Sri tidak pernah padam. Ia memanfaatkan peluang yang ada, sekecil apa pun. Bahkan kertas bungkus tempe yang dianggap sampah oleh kebanyakan orang, ia manfaatkan untuk menambah pengetahuan baru.

“Dulu, waktu kecil, karena saya orang tidak punya, kertas bungkus tempe itu suka saya baca-baca. Soalnya mau beli tidak ada uangnya,” ujar Sri dengan santai, tapi tekad di netranya tergambarkan dengan jelas.

Bertahan di Tengah Tantangan

Namun, seperti kebanyakan mata pencaharian, selalu ada tantangan yang mengiringi. Sri pernah diremehkan oleh salah satu pengunjung kiosnya ketika sedang membaca buku. “Kowe moco buku ngono kuwi emang e ngerti? (Kamu baca buku seperti itu, memangnya paham?)” ucap salah satu pengunjung dengan tawa mengejek di ingatan Sri. Meskipun begitu, ia tidak mengambil hati ucapan tersebut dan tetap mempelajari buku-buku koleksinya.

“Ya kalau kita tidak belajar mana tahu? Pas baca gitu kalau ada penulis yang sebelumnya tidak kenal, tapi tulisannya dibaca kok enak, saya teruskan,” jelasnya dengan jujur dan apa adanya.

Selain itu, persaingan di antara pedagang juga tidak terelakkan. Kebutuhan mendesak yang datang terkadang menciptakan keputusan yang merugikan. Contohnya adalah menjual buku dengan harga yang sangat murah. Lain halnya dengan Sri, ia mempunyai prinsip yang selalu dipegang, bahwa ia hanya akan menetapkan harga sesuai dengan kualitas bukunya, apa pun keadaannya.

“Kan kita dagangnya sama. Terkadang kalau ada yang lagi butuh duit, bukunya dijual murah. Padahal kalau pedagangnya kompak kan enak. Tapi kita menyikapinya tidak marah-marah. Ya itu tadi, kita punya standar dan rezeki sudah ada yang mengatur,” ucapnya berterus terang.

Sama halnya dengan Sri, salah satu pedagang lain juga merasakan hal yang sama, namanya Emi Pratiwi (56). Menurutnya, persaingan harga yang tidak sehat cukup merugikan pedagang lain, termasuk dirinya. “Semua itu kembali ke manusianya ya masing-masing. Tapi kalau orang yang edukasinya ini (kurang) kadang bikin jadi persaingan yang gimana (merugikan) gitu. Mencari nafkah itu ya enaknya bareng-bareng,” jawabannya sewaktu ditanya soal persaingan di antara para pedagang.

Tantangan lain yang dihadapi oleh Sri dan para pedagang yang lain adalah adanya tempat belanja daring dan COVID-19 sehingga mendorong masyarakat membeli barang secara daring. Menurut Sri, "Karena ada toko online jadi nyarinya sudah tidak langsung ke tempatnya. Kalau dulu yang lebaran, yang mudik pasti mampir, jadi kita kecipratan rezeki.” Sri menambahkan, “Kalau sekarang sudah agak mendingan karena ada orang yang bikin video di TikTok tentang pasar ini, akhirnya banyak yang tahu dan ke sini.”

Makna dan Harapan yang Bertaut

Salah satu pengunjung, Chandra (20) berharap agar pasar ini tetap dilestarikan. Ia menilai pasar tersebut adalah salah satu cagar budaya di Kota Surakarta dan sudah menjadi ikon Kota Solo. “Menurut saya, ini adalah salah satu cagar budaya dan menjadi ikon Kota Solo. Misal amit-amit dia hilang ya sayang banget, karena identitas mereka (para pedagang) tuh di sini,” tanggapannya mengenai keberadaan pasar tersebut.

Mimpi yang dimiliki Sri sederhana. Ia berharap pasar buku bekas tersebut tetap terus ada, sehingga ia bisa terus mengais rezeki sekaligus berperan dalam melahirkan generasi cendekia selama jiwa dan raganya masih mampu. Baginya, menjadi pribadi yang kaya akan pengetahuan adalah hak yang dimiliki oleh semua orang tanpa memandang latar belakang pendidikan.

Zulfi Khoirunisa, Mahasiswa S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jadi Sukarelawan di Aceh, Atlet MMA Papua Ikhsan Lani Viral dan Dipuji
• 13 jam lalugenpi.co
thumb
MenPAN-RB dan Menkeu Perkuat Peran Strategic Diamond
• 10 jam laludetik.com
thumb
Kunjungan ke Kota Batu Meningkat, Ada Limpasan Wisatawan Domestik dari Bali
• 17 jam lalukompas.id
thumb
Buruh Sesalkan Mobil Komando Peserta Demo Tak Boleh Berada di Depan Istana Negara
• 21 jam lalukompas.com
thumb
Meksiko Kerahkan Layanan Darurat Besar-besaran usai Kecelakaan Kereta di Oaxaca
• 17 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.