Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sepanjang tahun 2025 kembali menjadi pengingat keras bahwa risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia semakin meningkat dan berulang.
Curah hujan ekstrem yang dalam beberapa kejadian dipengaruhi oleh dinamika siklon tropis menyebabkan meluapnya sungai, longsor lereng perbukitan, serta kerusakan permukiman dan infrastruktur. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bencana bukan lagi sekadar kejadian alam, melainkan hasil dari akumulasi kerentanan yang belum tertangani secara sistematis dalam kebijakan pembangunan.
Dalam konteks tersebut, kajian risiko bencana seharusnya menjadi fondasi utama dalam penataan ruang dan pembangunan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa risiko masih sering diperlakukan sebagai dokumen administratif, bukan sebagai instrumen pengambilan keputusan. Banyak kawasan rawan banjir dan longsor tetap berkembang karena peta risiko tidak digunakan secara operasional dalam pengendalian ruang. Akibatnya, pembangunan justru memperbesar kerentanan dan menciptakan risiko baru.
Secara konseptual, risiko bencana merupakan interaksi antara bahaya dan kerentanan, yang dipengaruhi oleh kapasitas. Masalahnya, formula ini dalam praktik kebijakan masih diterapkan secara statis dan bertumpu pada data historis. Pendekatan tersebut semakin tidak relevan untuk bencana hidrometeorologi, di mana karakter bahaya telah berubah akibat perubahan iklim. Intensitas hujan meningkat, durasi menjadi lebih singkat namun ekstrem, dan kejadian cuaca sulit diprediksi dengan pendekatan konvensional. Jika kajian risiko tetap berbasis masa lalu, maka peta yang dihasilkan akan selalu tertinggal dari realitas.
Kondisi ini berkaitan erat dengan masih digunakannya pedoman lama dalam pengkajian risiko bencana. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 disusun pada konteks iklim yang sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Parameter bahaya cuaca ekstrem, resolusi spasial, dan pendekatan analisis yang digunakan belum dirancang untuk menghadapi risiko iklim yang dinamis. Akibatnya, peta bahaya dan kawasan rawan bencana yang dihasilkan sering kali tidak cukup tajam untuk menjadi dasar penataan ruang dan pembangunan.
Untuk bencana hidrometeorologi atau siklon tropis, perubahan formula kajian risiko menjadi kebutuhan mendesak. Kajian risiko tidak lagi cukup hanya memetakan frekuensi kejadian, tetapi harus mampu menangkap perubahan intensitas dan skenario ekstrem. Integrasi data iklim mutakhir, proyeksi curah hujan, pola angin, perubahan tutupan lahan, serta kondisi daerah aliran sungai menjadi prasyarat. Pendekatan multi-skala juga penting agar risiko dapat diterjemahkan hingga tingkat desa dan kelurahan, tempat keputusan pembangunan nyata terjadi.
Lebih jauh, kajian risiko bencana ke depan harus bergerak dari pendekatan statis menuju kajian risiko bencana dinamis. Artinya, komponen bahaya perlu diperbarui secara berkala, bahkan mendekati real time, seiring dengan perubahan kondisi cuaca dan hidrologi. Dengan dukungan data observasi, sistem peringatan dini, dan pemodelan berbasis skenario, peta bahaya dan KRB dapat diperbarui secara adaptif. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah mengambil keputusan penataan ruang dan pembangunan berdasarkan risiko aktual, bukan peta yang cepat usang.
Tanpa pembaruan tata kelola kajian risiko bencana, Indonesia akan terus membangun di atas ketidakpastian. Bencana hidrometeorologi 2025 di Sumatera menunjukkan bahwa pemulihan yang tidak berbasis risiko hanya akan mengulang kerentanan. Pembangunan kembali di zona rawan berarti menyiapkan panggung bagi bencana berikutnya. Karena itu, revisi pedoman kajian risiko bencana bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan keharusan kebijakan untuk melindungi keselamatan publik dan keberlanjutan pembangunan. Kejadian bencana hidrometeorologis Sumatera menjadi pembelajaran kita untuk lebih memahami risiko, jangan sampai kegagalan pemahaman risiko ini berulang pada wilayah Indonesia lain.
Tahun 2026 harus menjadi momentum resolusi penanggulangan bencana nasional. Pembaruan kajian risiko bencana-khususnya untuk bencana hidrometeorologi atau siklon tropis-perlu ditempatkan sebagai agenda prioritas. Tanpa fondasi risiko yang mutakhir dan dinamis, penataan ruang dan pembangunan akan terus berhadapan dengan ancaman yang tidak terlihat jelas. Sebaliknya, dengan kajian risiko yang adaptif dan operasional, Indonesia memiliki peluang untuk benar-benar beralih dari respons ke pencegahan, serta membangun ketangguhan yang selaras dengan tantangan iklim masa depan.
Sorja Koesuma, Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB)
(yld/yld)




