Miliarder dan Nenek Penyapu Jalan

erabaru.net
4 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Kazuo Inamori, yang dijuluki “Dewa Manajemen” Jepang, dikenal lewat filosofi bisnisnya yang khas. Di bawah kepemimpinannya, Japan Airlines berhasil bangkit cepat dari kerugian menjadi perusahaan yang kembali mencetak laba.

Pada usia 65 tahun, Inamori jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Diagnosis dokter menyatakan dia mengidap kanker lambung.

Di Jepang, namanya telah masyhur: dua perusahaan yang dia dirikan—Kyocera dan KDDI—keduanya masuk jajaran Fortune Global 500.

Namun, di balik pencapaian dan kekayaan bernilai miliaran, ada satu pertanyaan sederhana yang tak kunjung terjawab di hatinya: “Apa sebenarnya makna hidup?”

Dua bulan kemudian, Inamori keluar dari rumah sakit. Dia melangkah menuju Kuil Enpuku-ji di Kyoto, mengundurkan diri dari seluruh jabatannya, meninggalkan hiruk-pikuk dunia usaha, dan mencukur rambutnya untuk menjadi biksu.

Meski hartanya cukup untuk membeli banyak kuil, dia tak menerima perlakuan istimewa.
Dia tinggal di asrama yang sama, mengenakan pakaian yang sama, dan menyantap makanan yang sama seperti biksu lain. Bahkan saat tubuhnya belum pulih sepenuhnya, dia tetap mengemis sedekah (takuhatsu)—membawa mangkuk derma dari rumah ke rumah.

Suatu hari di akhir musim gugur, udara sudah terasa dingin seperti musim dingin. Inamori berjalan tanpa alas kaki, mengenakan sandal jerami, mengetuk pintu demi pintu untuk meminta sedekah. Jari-jari kakinya yang keluar dari sandal terluka hingga berdarah, namun dia menahan perih.

Menjelang senja, dengan tubuh kelelahan dan langkah berat, dia menyusuri jalan pulang. Di tepi jalan, daun-daun berguguran beterbangan seperti kupu-kupu, lalu tenggelam menjadi hamparan kuning kecokelatan. Kesunyian akhir gugur itu membuatnya merenung tentang nasib manusia, dan dia menghela napas panjang.

Saat itulah, dari seberang jalan, seorang nenek penyapu jalan meletakkan sapunya dan menghampirinya. Nenek itu merogoh saku dalam bajunya, mengeluarkan sebuah koin 500 yen, lalu menyodorkannya ke tangan Inamori sambil berkata dengan lembut: “Anda seorang biksu yang sedang berlatih, bukan? Pasti lapar. Ambillah ini—belilah roti untuk mengganjal perut.”

Detik ketika tangan renta itu menaruh koin ke telapak tangannya, Inamori seakan tersengat listrik. Seluruh tubuhnya bergetar; air mata mengalir tanpa tertahan. Dia merasakan kebahagiaan yang belum pernah dia alami.

Pada momen itu juga, dia merasa mendapat pencerahan—menyentuh kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Belas kasih yang tulus dari nenek yang tampak sederhana—tanpa ragu, tanpa kesombongan—membuat seorang miliarder memahami makna kebahagiaan sejati.

Tak lama kemudian, Inamori meninggalkan kehidupan biara dan kembali ke masyarakat dengan misi baru: menyebarkan nilai kebahagiaan dan kebaikan.

Di dunia ini, makna uang dalam hidup tidak diukur dari jumlahnya, melainkan dari berapa banyak cinta dan niat baik yang terkandung di dalamnya. Membuat orang lain merasakan kasih, dan menerima pemberian kasih dari orang lain—bukankah itu juga nilai keberadaan?

Kita hidup di dunia ini untuk menghangatkan orang lain, dan juga membutuhkan kehangatan. Hanya ketika hati saling berhangat, dunia dan kehidupan tak akan kehilangan makna oleh keputusasaan.(jhn/yn)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Dua Wakil Purbaya Terjun Langsung Cek Kantong Kas Negara Akhir Tahun
• 6 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Nahas! PMI Asal Bandung Barat Meninggal Usai Lompat dari Lantai 2 di Arab Saudi
• 21 jam lalurepublika.co.id
thumb
Hujan Deras di Hulu, Waduk Koto Panjang Buka Pintu Air Pelimpah Hari Ini (30/12)
• 11 jam lalubisnis.com
thumb
Terinspirasi Bon Jovi, Millie Bobby Brown Ingin Buat Lagu Natal Menyeramkan
• 4 jam lalugenpi.co
thumb
Pemerintah Pesan 100 Jembatan Bailey dari Luar Negeri, TNI Fokus Pemulihan Infrastruktur Bencana di Sumatera
• 20 jam lalupantau.com
Berhasil disimpan.