Puncak Kezaliman di Negeri Kaya: Ketika Kekuasaan Kehilangan Moral

kumparan.com
7 jam lalu
Cover Berita

Negeri ini dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Hutan, mineral, laut, tanah subur—semuanya seperti lembaran karunia yang terbentang. Namun ironi itu nyata: di banyak tempat, rakyat tetap miskin; ketimpangan terasa; bencana datang silih berganti. Pertanyaan yang menggelitik nurani bukan semata “mengapa kaya tapi tidak menyejahterakan?” melainkan “di mana amanah diletakkan?” Sebab pada titik tertentu, problemnya bukan lagi teknis, melainkan moral.

Sejarah manusia mengajarkan pola tua yang terus kembali. Kaum Nūḥ, ‘Ād, dan Ṡamūd menolak tanda-tanda yang terang bukan karena kurang bukti, melainkan karena kelebihan gengsi. Seruan para nabi menuntut perubahan arah hidup, sementara status quo membaca kebenaran sebagai ancaman terhadap dominasi. Ketika kekuasaan takut kehilangan kendali, ia membangun benteng: penyangkalan, ejekan, penundaan, lalu penolakan total. Kekeliruan dipertahankan bukan karena benar, tetapi karena mengaku salah dianggap meruntuhkan wibawa. Wibawa pun didefinisikan terbalik: bukan keberanian mengoreksi diri, melainkan kemampuan mempertahankan citra.

Pola kedua lebih licin. Kaum Quraisy tidak mematahkan risalah dengan hujjah yang jujur; mereka menyerangnya lewat framing. Nabi dituduh mengada-ada, pesan dipelintir menjadi dongeng, perhatian publik digeser dari substansi ke stigma. Strategi ini tua, tetapi efektif: bila pesan tak bisa dipatahkan, pembawanya harus dibuat tak dipercaya. Publik yang lelah sering lebih mudah digiring oleh label daripada dituntun oleh nalar. Kebenaran tidak kalah di ruang argumentasi; ia kalah di ruang persepsi.

Dua pola itu terasa hidup hari ini. Bungkusnya saja yang berganti: dulu berhala dan syair, kini data dipilih-pilih, opini diproduksi, jargon dipoles, pencitraan digenjot. Kebenaran yang mengoreksi dianggap mengganggu. Kritik diposisikan sebagai ancaman. Pertanyaan dijawab dengan slogan. Pada tahap ini, kezaliman bukan lagi perbuatan spontan, melainkan arsitektur: salah dipoles agar tampak benar, sementara benar dibuat tampak merepotkan.

Dalam konteks negeri yang kaya, kezaliman itu kerap menjelma pada pengelolaan sumber daya alam. Narasi “investasi” dan “program pangan” terdengar mulia. Namun narasi menjadi berbahaya ketika ia berubah menjadi selimut untuk menutup pelanggaran sunatullah: hutan dibuka serampangan, tata ruang dipermainkan, penyangga ekosistem diabaikan.

Alam lalu berbicara melalui bahasa yang tak bisa disuap: banjir bandang, longsor, luapan sungai, krisis air, rusaknya hulu daerah aliran sungai. Bencana di Sumatra pada akhir November 2025 menjadi cermin pahit: hujan memang turun, tetapi daya rusak membesar ketika lanskap kehilangan pelindungnya. Di sini alam tidak sedang “marah”; alam sedang menjalankan hukum sebab-akibat yang tegas. Korban pertamanya hampir selalu rakyat kecil—yang rumahnya hanyut, ladangnya rusak, penghidupannya patah.

Pada saat yang sama, kita menyaksikan wacana pembukaan lahan hutan skala sangat luas, termasuk di Papua, atas nama agenda-agenda besar. Kelestarian kerap diperlakukan seperti catatan kaki. Padahal kerusakan pada bentang sebesar itu bukan sekadar isu lingkungan. Ia menyentuh ketahanan sosial, kesehatan, ketersediaan air, bahkan membuka pintu bencana yang lebih dahsyat. Bila risiko ekologis dialihkan kepada publik, rakyat kembali menjadi pihak yang menanggung: pertama melalui penderitaan langsung, kedua melalui kemiskinan yang diwariskan.

Di sinilah puncak kezaliman menjadi nyata: bukan hanya merampas uang, tetapi merampas amanah. Amanah bukan sekadar jabatan atau proyek. Amanah adalah tanggung jawab moral untuk menempatkan kekayaan negeri sebagai jalan kesejahteraan rakyat, bukan sebagai ladang keuntungan sempit. Amanah juga mencakup tata kelola: meritokrasi yang menempatkan orang cakap dan bersih pada posisi strategis, bukan sekadar yang dekat dan patuh. Ketika amanah dipindahkan dari pelayanan menjadi transaksi, sistem akan melahirkan pemimpin yang pandai bertahan, bukan pemimpin yang pandai membenahi.

Kezaliman kian gelap ketika kebijakan yang merusak dibenarkan dengan pembingkaian moral. Di sinilah “mendustakan tanda-tanda kebenaran” bekerja. Tanda-tanda pada alam, sejarah, dan realitas sosial diabaikan, lalu realitas dipaksa menyesuaikan narasi. Publik dibuat bingung agar kekuasaan tidak terlihat keliru. Sementara itu, korban diminta sabar, seolah penderitaan adalah kewajaran.

Ada satu ruang yang tidak bisa dimanipulasi: pertanggungjawaban di hadapan Allah. Perampasan amanah tidak pernah hilang; ia berpindah dari catatan manusia ke catatan langit. Di dunia, narasi bisa diatur. Dalam hisab, yang dinilai bukan niat yang diumumkan, melainkan akibat nyata. Mengatasnamakan investasi atau ketahanan pangan tidak otomatis mensucikan kebijakan bila praktiknya merusak sunatullah, menyingkirkan rakyat, dan memindahkan risiko bencana kepada masyarakat. Nama boleh mulia; kezaliman tetap kezaliman ketika amanah dialihkan dari kesejahteraan publik ke keuntungan sempit.

Tanda-tanda Allah kini terlalu nyata untuk disangkal. Pertanyaannya bukan apakah tanda itu ada, melainkan apakah kita memilih terus menyangkalnya dengan kebebalan kolektif—menormalkan kerusakan dan mengulang kesalahan. Al-Qur’an mengingatkan tipe manusia yang terus diingatkan namun menuruti hawa nafsu, diumpamakan seperti anjing yang menjulurkan lidahnya—dikejar atau dibiarkan, tetap terengah-engah tanpa arah. Itu bukan hinaan biologis, melainkan kritik moral: kesadaran yang menolak dituntun. Jangan sampai bangsa ini berlari mengejar kepentingan sesaat sambil mengabaikan tanda-tanda yang jelas menuju kebinasaan.

Negeri ini tidak kekurangan kekayaan. Yang sering kurang adalah keberanian moral untuk berkata: yang salah harus dihentikan, yang benar harus ditegakkan, amanah harus dikembalikan pada tujuan hakikinya—kesejahteraan rakyat dan keadilan yang memuliakan kehidupan. Dusta mungkin menang di panggung. Ruang hisab tidak mengenal pencitraan. Rakyat boleh dibingungkan, alam tak bisa dibohongi, Allah tak bisa dikelabui. Jalan pulang dimulai dari kejujuran: pada data, pada dampak, pada amanah, dan pada korban.

Wallahualam bishawab


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Honda Forza 250 vs Yamaha XMAX: Adu Spesifikasi Scooter 250 CC
• 2 jam lalumedcom.id
thumb
Mobil Dikendarai Pelajar Diduga Anak Anggota DPRD Tabrak 3 Motor di Lebak, 5 Orang Terluka
• 2 jam lalurctiplus.com
thumb
Kapolri Ungkap Tantangan 10 Tahun ke Depan: Cuaca Ekstrem hingga Perang Siber
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Rukun Raharja (RAJA) Tebar Dividen Interim, Ini Jadwal Pencairannya
• 12 jam laluidxchannel.com
thumb
Putin Ucapkan Selamat Tahun Baru untuk Prabowo dan Pemimpin Negara Sahabat
• 2 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.