Pengumuman penetapan seluruh upah minimum 2026 telah usai. Pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) juga terus melakukan rekapitulasi laporan penetapan upah minimum dari daerah.
Untuk upah minimum provinsi (UMP) 2026, sesuai data rekapitulasi Kemenaker, mayoritas provinsi menaikkan sebesar 5–7 persen. Sementara untuk upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2026, data rekapitulasi Kemenaker per Sabtu (27/12/2025) pukul 12.00 WIB menunjukkan, rata-rata nilai UMK 2026 di 186 kabupaten/kota mencapai Rp 3,4 juta.
Adapun untuk upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2026, Kemenaker belum menyebarluaskan hasil rekapitulasi terkini.
Secara umum, hasil penetapan seluruh upah minimum 2026 masih dibubuhi perasaan tidak puas, baik dari sisi kelompok serikat pekerja maupun pengusaha. Beberapa serikat pekerja/buruh yang tidak puas, menyebut kenaikan nilai UMP ataupun UMK 2026 belum menjawab kebutuhan nyata pekerja.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh termasuk pihak yang menolak penetapan nilai UMP 2026 khususnya DKI Jakarta yang sebesar Rp 5,72 juta.
Alasannya, nilai UMP sebesar itu tidak masuk akal karena lebih rendah dari daerah penyangga, seperti Kota Bekasi yang mencatat kenaikan UMK 2026 sebesar Rp 5,9 juta. Basis anggota mereka menggelar unjuk rasa pada 29–30 Desember 2025 di Jakarta.
“Upah minimum sekarang jadi upah tertinggi yang dipakai banyak perusahaan. Di DKI Jakarta, bahkan, sejumlah orang bekerja setahun ataupun sepuluh tahun digaji dengan UMP,” kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal, saat konferensi pers, Rabu (24/12/2025), di Jakarta.
Dari sisi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam, Senin (29/12/2025), menyampaikan, sejumlah sub-sektor industri padat karya tumbuh di bawah rata-rata nasional atau terkontraksi pada kuartal III 2025, seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, pengolahan tembakau, furnitur, karet dan plastik. Adapun sektor otomotif yang terkontraksi hingga 10 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kondisi itu mencerminkan sempitnya ruang ekspansi usaha sehingga setiap tambahan beban biaya perlu dikaji secara hati-hati agar tidak mendorong efisiensi yang berujung pada pengurangan tenaga kerja.
Beberapa obrolan yang berkembang di kalangan perusahaan perekrutan tenaga kerja juga mirip. Kenaikan UMP ataupun UMK 2026 dirasa membuat optimisme pembukaan lowongan pekerjaan baru tahun 2026 mengendur.
“Upah sundulan. Kalau di level terbawah saja upah minimumnya naik, pasti kan level atasnya ikut naik. Otomatis, hal itu memberatkan biaya operasional perusahaan,” begitu obrolan yang berkembang.
Reaksi-reaksi seperti itu hampir setiap tahun terjadi. Padahal, upah minimum merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan pengupahan yang cakupannya lebih luas, seperti upah lembur, kewajiban pajak atas upah, dan komponen lainnya.
Pada prinsipnya, upah minimum hanya berfungsi sebagai jaring pengaman dalam pembayaran upah kepada pekerja. Namun, dalam praktiknya kerap dijadikan acuan untuk menghitung komponen pengupahan lain, seperti upah lembur serta besaran kompensasi dalam pemutusan hubungan kerja.
Upah minimum berlaku bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Bagi buruh dengan masa kerja di atas satu tahun, peraturan perundangan memberikan indikasi kemungkinan kenaikan upah di atas upah minimum. Akan tetapi, hal itu sepenuhnya bergantung pada kemampuan berunding antara pekerja atau perwakilan buruh dengan pengusaha.
Salah-kaprah memaknai dan menerapkan upah minimum itu, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Andriko S Otang disebabkan upah minimum cenderung diposisikan sebagai instrumen kebijakan negara yang paling cepat dan murah untuk menunjukkan keberpihakan pada keadilan sosial. Kecenderungan ini berlangsung bertahun-tahun.
“Instrumen paling cepat dan ‘murah’ untuk menunjukkan keberpihakan pada keadilan sosial karena langsung menyasar pekerja berupah rendah, tanpa harus menggunakan anggaran negara. Akibatnya, upah minimum selalu menjadi arena tarik menarik kepentingan antar negara, buruh, dan pengusaha,” ujar dia, saat dihubungi, Selasa (30/12/2025), di Jakarta.
Konsep upah minimum pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada 1956, kemudian diikuti dengan penerbitan kebijakan pengupahan pada 1980 dan aturan teknisnya pada 1989. Regulasi pengupahan tersebut lahir seiring masuknya Indonesia ke dalam rantai pasok pasar global.
Kompleksitas isu kebijakan upah minimum semakin menguat sejak otonomi daerah. Dia menilai, sejak otonomi daerah berlaku, penetapan upah minimum menjadi sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lokal dan kekuatan gerakan buruh di masing-masing daerah.
Daerah dengan serikat yang kuat cenderung menghasilkan upah minimum lebih tinggi, sementara daerah lain yang gerakan buruh ya cenderung lemah, semakin tertinggal. Disparitas inilah yang terus direproduksi dari tahun ke tahun.
Dasar penetapan upah minimum telah diubah dari yang berbasis survei kebutuhan hidup layak (KHL) berubah menjadi formula. Formula pun perhitungannya sudah beberapa kali diubah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Nomor 2015, PP Nomor 36 Tahun 2021, PP Nomor 51 Tahun 2023, hingga regulasi terbaru PP Nomor 49 Tahun 2025.
Masalahnya, perubahan regulasi sejauh ini lebih banyak mengoreksi rumus, bukan struktur masalahnya. Basis perhitungan yang menggunakan upah eksisting justru memperlebar jarak antar wilayah.
Di sisi lain, kebijakan struktur dan skala upah di tingkat perusahaan belum berjalan efektif. Akibatnya, kenaikan kesejahteraan sebagian besar pekerja, seperti pekerja kontrak ataupun pekerja yang sudah memiliki masa kerja lebih dari setahun baik sektor padat karya maupun padat modal, cenderung tetap bergantung pada kenaikan upah minimum setiap tahun.
“Ini menjelaskan mengapa perjuangan upah minimum tetap menjadi ‘medan utama’ bagi pekerja setiap tahun,” kata dia.
Tren fleksibilitas pasar kerja yang juga berkembang di Indonesia semakin memperkuat persoalan tersebut. Seiring maraknya praktik sistem kerja kontrak ditambah lemahnya pengawasan pemerintah, upah minimum sering kali menjadi batas atas bukan batas bawah.
Dalam konteks fleksibilitas pasar kerja, pengusaha selalu mengatakan ketika angka upah minimum naik, risiko pelanggaran juga meningkat terutama di sektor padat karya dan usaha kecil. Padahal, Andriko menilai, permasalahan pelanggaran itu lebih mencerminkan problem kepatuhan dan pengawasan bukan semata tingginya angka upah minimum.
Direktur Eksekutif Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin, saat dihubungi terpisah, menambahkan, sejak 2020 ada dimensi baru, yakni semakin banyak buruh kontrak dengan masa kerja di bawah satu tahun. Upah mereka mengandalkan kenaikan upah minimum.
“Di beberapa pabrik berlatar belakang industri padat karya, kami mengamati ada fenomena buruh dikontrak kerja terus menerus setahun sehingga cuma mengandalkan kenaikan upah minimum. Ada juga, buruh garmen mengalami relokasi tetapi tetap diupah dengan upah minimum,” ujar dia.
Dari sisi sejumlah serikat buruh, kenaikan upah minimum merupakan satu-satunya peluang menaikkan upah. Situasi ini dipicu oleh macetnya ruang-ruang perundingan di dalam pabrik.
Rata-rata unjuk rasa buruh tahun 2025 adalah buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun, meskipun ada di antara mereka yang sudah berada di pasar kerja selama belasan tahun. Mereka mengalami kontrak kerja terus- menerus satu tahun.
“Dari sisi serikat buruh, memang seolah-olah pendapatan mereka bertumpu pada upah dan tentunya upah minimum yang cenderung menjadi upah maksimum. Padahal, masih bisa menuntut kewajiban pemerintah memberikan layanan dasar yang merata,” kata dia.
Selama upah minimum terus dipaksa menutup kegagalan kebijakan pengupahan yang lebih luas dan kebijakan pemerintah lainnya, pola konflik tahunan serikat pekerja versus pengusaha akan terus berulang.
Andriko mengusulkan agar pemerintah membuat terobosan kebijakan yang lebih mendasar. Misalnya, penetapan upah minimum nasional yang berlaku pada pekerjaan berbasis industri dan non-industri, disertai pembukaan ruang perundingan sektoral di tingkat industri.
Dengan pendekatan ini, kesenjangan upah dapat dikurangi secara bertahap. Pekerja yang memproduksi barang yang sama di wilayah berbeda tidak lagi menghadapi perbedaan upah yang terlalu lebar.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Ristadi mengusulkan agar dasar penetapan upah minimum lebih menekankan pada sektor usaha dan skala bisnis. Dengan demikian, pekerja pada sektor yang sama di berbagai daerah memiliki tingkat upah yang setara atau setidaknya tidak terpaut jauh.
Misalnya, pekerja di sektor pertambangan atau energi di kabupaten yang berbeda seharusnya menerima upah minimum yang relatif sama karena karakter sektor dan nilai usahanya serupa. Namun, perbedaan tetap dimungkinkan dengan mempertimbangkan skala usaha dan kemampuan perusahaan membayar upah.
“Pendekatan itu juga mungkin bisa mencegah daerah berupah rendah hanya menjadi magnet investasi tanpa memberikan manfaat kesejahteraan yang sepadan bagi masyarakatnya,” ucap Ristadi.




