Bagi guru, tahun baru bukan sekadar waktu untuk merefleksikan perjalanan mendidik pada tahun sebelumnya, tetapi juga momentum untuk menyusun resolusi dan langkah terbaik dalam menyiapkan generasi mendatang. Ke depan, guru akan berhadapan dengan perubahan yang terjadi begitu cepat di berbagai sektor kehidupan.
Kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia memandang dan menjalani kehidupan. Perubahan besar inilah yang kemudian dikenal dengan istilah disrupsi. Dalam KBBI, disrupsi diartikan sebagai “hal tercabut dari akarnya”, sebuah istilah yang merujuk pada perubahan mendasar dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan.
Disrupsi kini hadir nyata di mana-mana, termasuk di ruang kelas, salah satunya melalui layar gawai murid. Pembelajaran di era digital jelas sangat berbeda dibandingkan sepuluh hingga lima belas tahun lalu. Informasi kini begitu mudah diakses, cepat berpindah, dan terasa tak terbatas, hingga peran guru di dalam kelas kerap tampak samar.
Dalam keseharian pembelajaran, murid datang ke kelas dengan berbagai perangkat digital, seolah dunia berada dalam genggaman mereka. Jamak dijumpai murid melibatkan aplikasi dalam menyelesaikan tugas sekolah yang bahkan dapat dirampungkan dalam hitungan detik. Dalam kondisi inilah guru berusaha bertahan, menyesuaikan diri dengan perubahan yang datang tanpa jeda.
Namun, bertahan di tengah disrupsi bukan perkara mudah. Aplikasi pembelajaran terus bermunculan, sistem digital diperkenalkan, dan kurikulum terus disempurnakan. Guru dituntut adaptif terhadap teknologi, sementara tidak semua memiliki akses dan pelatihan yang memadai.
Banyak guru, terutama karena perbedaan usia dan latar era pendidikan, harus belajar secara mandiri, mencoba, salah, lalu memperbaiki. Di balik kelas yang tampak berjalan normal, terdapat semangat dan proses panjang yang melelahkan, namun sering kali tidak terlihat.
Kekhawatiran lain juga muncul, yakni disrupsi disinyalir turut mengubah karakter murid. Murid hari ini adalah generasi yang tidak hanya dididik oleh manusia, tetapi juga oleh teknologi dan media sosial. Mereka terbiasa dengan hal serba cepat, visual, dan instan. Daya fokus cenderung semakin pendek, sementara ketergantungan pada informasi instan dari berbagai sumber digital semakin menguat.
Dalam kondisi ini, guru tidak hanya berhadapan dengan target akademik, tetapi juga persoalan karakter, emosi, dan kesehatan mental murid. Mengajar pun menjadi pekerjaan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar menyampaikan materi dan membimbing karakter.
Di sisi lain, disrupsi tidak semata-mata membawa dampak negatif. Teknologi membuka akses belajar yang lebih luas dan kreatif. Murid dapat mencari pengetahuan tanpa batas, sementara guru dapat memanfaatkan berbagai kemudahan teknologi, seperti video pembelajaran, kuis interaktif, dan aplikasi pendukung pembelajaran.
Proses belajar tidak lagi sepenuhnya bergantung pada buku cetak dan papan tulis. Oleh karena itu, disrupsi tidak harus dimusuhi, melainkan dikenali dan dimanfaatkan. Guru perlu terus belajar dan beradaptasi, karena teknologi dapat menjadi mitra yang memperkaya proses mengajar dan mendidik.
Zaman disrupsi dalam pendidikan juga membawa perubahan pada relasi guru dengan masyarakat, khususnya orang tua murid. Otoritas guru kini berhadapan dengan derasnya arus informasi di media sosial. Satu potongan peristiwa di kelas dapat menyebar tanpa konteks dan memicu penilaian serta perdebatan publik.
Penghakiman terhadap kejadian yang melibatkan guru, sekolah, dan murid kerap terjadi tanpa pemahaman utuh terhadap situasi sebenarnya. Akibatnya, guru bekerja dalam sorotan yang semakin tajam, sementara perlindungan dan pemahaman terhadap kompleksitas tugas mereka belum selalu ideal. Kehati-hatian berlebihan bahkan kerap membuat guru lebih fokus pada aspek mengajar, sementara peran mendidik perlahan terpinggirkan.
Dalam situasi seperti ini, bertahan bukan sekadar soal tetap mengajar, melainkan mempertebal proses mendidik yang menyentuh jiwa murid. Bertahan juga berarti menjaga idealisme dan integritas profesi, sekaligus memiliki keberanian untuk bertransformasi. Kelas tidak lagi diposisikan sebagai ruang transfer ilmu semata, melainkan ruang berpikir dan refleksi. Teknologi bukan solusi utama, tetapi alat untuk memfasilitasi dan memperkaya pengalaman belajar.
Disrupsi boleh mengubah cara belajar, tetapi tidak seharusnya mengaburkan tujuan pendidikan. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan bertujuan membentuk ‘manusia merdeka’, yaitu individu yang berkarakter, bertanggung jawab, dan memiliki keterampilan hidup yang memadai. Di tengah segala perubahan, ada satu hal yang tidak boleh tergeser, yaitu kemanusiaan dalam pendidikan.
Sehebat apa pun teknologi, ia tidak mampu menggantikan kasih sayang dan empati guru dalam menghadapi murid yang kehilangan motivasi, sedang rapuh, atau membutuhkan perhatian. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian tidak lahir dari algoritma, melainkan dari keteladanan yang hidup di ruang kelas melalui pribadi guru yang berkarakter.
Sudah semestinya upaya guru bertahan di tengah disrupsi tidak dijalani sendirian. Dukungan nyata berupa pelatihan berkelanjutan, sistem yang manusiawi, perlindungan yang adil, serta kesejahteraan yang layak menjadi kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak. Tanpa dukungan tersebut, disrupsi justru berisiko melahirkan kelelahan kolektif di kalangan pendidik. Bagaimanapun, dengan segala keterbatasan dan harapan, guru terus berupaya setiap hari agar pendidikan tidak kehilangan sisi-sisi kemanusiaannya.




