Bila tak ada aral melintang, Badan Perfilman Indonesia (BPI) akan melangsungkan Kongres pada awal tahun 2026. Kejadian ini bukan hanya menarik secara isu, melainkan juga menjadi saksi penting dinamika perfilman Indonesia.
Selama lebih dari satu dekade, BPI acapkali hadir dalam perbincangan tata kelola perfilman nasional. Namun harus diakui, ia belum sepenuhnya tampil sebagai aktor kebijakan yang berpengaruh.
Padahal, secara normatif, Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman telah memberi ruang yang sangat strategis bagi BPI. Masalahnya bukan terletak pada ketiadaan mandat hukum, melainkan pada kesenjangan antara mandat normatif dan kapasitas kelembagaan.
Selaku lembaga publik, kesuksesan BPI tidak ditentukan oleh faktor personal, tetapi ditentukan oleh desain sistem yang memungkinkan lembaga itu bertahan, dipercaya, dan relevan dari waktu ke waktu.
Pertanyaannya: Mampukah BPI beroperasi sebagai sebuah sistem yang bekerja dengan fungsi jelas, keputusan yang berkelanjutan, dan legitimasi yang diakui oleh lingkungannya? Atau ia akan kembali terjebak sebagai forum simbolik yang hidup dari pergantian figur semata?
Mitra Strategis PemerintahSecara eksplisit, Pasal 52 UU Perfilman menegaskan bahwa pemerintah menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) dengan memperhatikan masukan dari BPI.
Pasal ini menempatkan BPI sebagai mitra strategis negara dalam perencanaan kebijakan jangka panjang industri perfilman Indonesia. Artinya, BPI bukan sekadar diposisikan sebagai alat kelengkapan administratif, melainkan juga sebagai sumber legitimasi substantif dalam arah kebijakan perfilman nasional.
Hal ihwal RIPN ini sangat urgen dan mendesak karena hingga kini pemerintah bahkan belum menetapkan RIPN. Masa depan industri perfilman nasional, belum dapat dibaca, diprediksi, atau bahkan dituju.
Lebih jauh, Pasal 69 UU Perfilman memberi mandat yang bahkan lebih progresif: BPI tidak hanya memberi masukan untuk kemajuan perfilman, tetapi juga melakukan penelitian dan pengembangan perfilman. Jika dimaknai secara serius, pasal ini membuka peluang bagi BPI untuk berfungsi sebagai pusat pengetahuan, riset, dan evaluasi kebijakan perfilman nasional.
Dalam desain undang-undang, BPI sejatinya dibayangkan sebagai knowledge-based institution, bukan sekadar forum representasi. BPI seyogyanya mampu menempatkan dirinya sebagai pusat informasi dan pengetahuan bagi ekosistem perfilman Indonesia.
Namun di sinilah paradoksnya. Mandat normatif yang kuat tersebut belum terwujud dalam praktik kelembagaan. Demi memahami persoalan ini, pendekatan teori sistem menawarkan kerangka yang sangat membantu untuk melihat masalah secara lebih jernih.
Membangun Integritas dan Kredibilitas BPISosiolog Niklas Luhmann dalam Social Systems (1995) menyatakan bahwa sebuah sistem sosial hanya dapat bertahan jika ia mampu memproduksi dan mereproduksi operasinya sendiri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, sebuah lembaga akan berfungsi dengan baik jika memiliki batas kewenangan yang jelas, logika kerja internal yang konsisten, dan kemampuan mengambil keputusan secara berulang—tanpa selalu bergantung pada sistem lain, seperti kekuasaan politik atau birokrasi anggaran.
Hans-Georg Moeller—dalam The Radical Luhmann (2012)—menjelaskan bahwa fungsi utama institusi modern adalah mengurangi kompleksitas sosial. Negara yang efektif bukan negara yang ikut campur di setiap detail, melainkan negara yang membangun lembaga-lembaga profesional agar persoalan yang kompleks—seperti seni, budaya, dan industri kreatif—dapat dikelola secara konsisten.
Ketika sebuah lembaga justru menambah kompleksitas karena kaburnya peran dan kewenangan, secara sistemik ia sedang gagal menjalankan fungsinya.
Dengan kacamata ini, persoalan BPI menjadi lebih terpetakan. Pekerjaan rumah pertama adalah masalah batas sistem (system boundaries). Makhluk macam apa BPI itu, belum sepenuhnya jelas: apakah ia forum representasi, mitra kebijakan, pusat riset, atau pelaksana program?
Akibatnya, ekspektasi terhadap BPI terlalu banyak, sementara kapasitasnya terbatas. Ibarat, jauh panggang dari api. Solusinya bukan menambah tugas, melainkan memperjelas fungsi inti: BPI sebagai lembaga masukan kebijakan berbasis riset dan pengembangan ekosistem, sebagaimana mandat Pasal 52 dan 69 UU Perfilman.
Kedua, penguatan kapasitas riset dan data. Tanpa basis data yang kredibel tentang produksi, distribusi, tenaga kerja, dan dampak sekonomi perfilman, masukan BPI akan sulit bersaing dengan logika birokrasi dan kepentingan jangka pendek. Dalam logika sistem, riset adalah mekanisme pembelajaran yang memungkinkan terjadinya evolusi kebijakan.
Ketiga, masalah legitimasi kepemimpinan dan representasi. Dalam sistem sosial, legitimasi tidak lahir sekali, tetapi diproduksi terus-menerus melalui kepercayaan. Kepemimpinan BPI harus mampu menjembatani kepentingan yang beragam dan mengubah konflik menjadi komunikasi yang produktif. Tanpa itu, diferensiasi internal akan sangat berubah dan terfragmentasi.
Keempat, mengeliminasi ketergantungan struktural pada sistem politik dan anggaran. Selama BPI sepenuhnya bergantung pada dukungan ad hoc, sulit berharap ada kesinambungan kebijakan.
Banyak negara mengantisipasi persoalan ini dengan membangun lembaga film berprinsip arm’s length, yang dibiayai negara tetapi diberi jarak operasional dari intervensi politik. Dari perspektif teori sistem, jarak ini memungkinkan stabilitas dan kepercayaan publik.
Memang pasal 70 UU Perfilman memberi pernyataan yang tegas bahwa BPI dapat menerima dana dari pemangku kepentingan, sumber lain yang sah, dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Bahkan, BPI diberi keleluasaan bisa menerima bantuan dana dari APBN/ABPD. Bila pendekatannya sistemik dan kreatif, sejatinya membuat BPI mandiri hanyalah soal waktu.
PenutupKongres BPI awal tahun 2026 seharusnya dibaca sebagai momentum peralihan dari logika simbolik ke logika sistemik. UU Perfilman telah memberi fondasi normatif yang cukup. Tantangannya kini, bagaimana membangun BPI sebagai sistem komunikasi kebijakan yang mampu belajar, beradaptasi, dan menjalankan fungsi yang jelas.
Sebagaimana diingatkan Luhmann, sistem yang tidak mampu berevolusi akan ditinggalkan oleh lingkungannya. Penguatan kelembagaan BPI bukan soal siapa figur yang akan memimpin dan berkuasa, melainkan apakah lembaga ini dapat dipercaya untuk bekerja secara berkelanjutan dalam mengelola masa depan perfilman Indonesia.



