Eksistensi China Menguat, Indonesia Diimbau Waspadai Dampak Ekonomi dan Keamanan

wartaekonomi.co.id
2 jam lalu
Cover Berita
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perkembangan dalam negeri Republik Rakyat China (RRC) serta perilaku negara ini di kawasan Asia Timur dan Tenggara dinilai akan membawa dampak bagi negara-negara yang tergabung dalam Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) termasuk Indonesia. 

Ekonomi China yang belum pulih dari kemerosotan akibat pandemi Covid-19 masih diwarnai dengan berbagai isu, antara lain krisis properti, pengangguran, penuaan populasi, deflasi, serta persaingan yang kurang sehat antara produsen-produsen di dalam negeri negara itu, yang oleh Presiden Xi Jinping disebut dengan istilah ‘involusi.’ 

Kondisi di atas, ditambah dengan meningkatnya tekanan dari luar negara itu, menyebabkan barang-barang dari China dialihkan ke pasar Asia Tenggara, sehingga mengakibatkan banjir barang asal China di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. 

Khusus bagi Indonesia, hal ini dianggap sebagai salah satu tantangan bagi hubungan Indonesia China di tahun 2025. Tantangan-tantangan lain adalah situasi keamanan di Laut China Selatan yang masih diwarnai dengan ketegangan akibat tindakan agresif China di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina, serta meningkatnya gelar militer China di wilayah maritim yang berdekatan dengan Asia Tenggara. 

Indonesia juga dinilai perlu mewaspadai potensi China memperluas 10 garis putus-putusnya ke arah wilayah Indonesia di Kepulauan Natuna. Garis putus-putus yang bertambah jumlahnya menjadi 10 dari sebelumnya 9 itu, secara sepihak diakui China sebagai penanda bagi wilayahnya. 

Baca Juga: China Pangkas Tarif Impor Sejumlah Produk Mulai 2026

Gambaran di atas merupakan sebagian dari pembahasan yang mengemuka dalam diskusi akhir tahun Forum Sinologi Indonesia (FSI) berjudul “Refleksi 2025: Relasi China, Asia Tenggara, dan Indonesia” yang berlangsung di Jakarta, Senin (29/12).

Ketua FSI, Johanes Herlijanto, menyampaikan berbagai pokok pikiran yang dibahas dalam penelitian akhir tahun yang dilaksanakan oleh para peneliti FSI. Antara lain, ia menyatakan bahwa pemerintah RRC sebenarnya telah membuat berbagai terobosan untuk mengatasi persoalan ekonomi seperti digambarkan di atas.  

“Presiden Xi mencanangkan apa yang disebut sebagai kekuatan produksi berkualitas baru (xinzhi shengchanli) sebagai upaya China menciptakan peluang ekonomi baru melalui sektor-sektor teknologi terkini,” tutur akademisi yang juga alumni jurusan Sinologi UI itu. 

Namun menurut antropolog yang berafiliasi dengan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, industri teknologi yang padat modal masih kurang menciptakan lapangan pekerjaan. 

Padahal, ia menuturkan bahwa pengangguran di China masih menjadi isu yang mengemuka di tahun 2025 ini. Selain isu ekonomi, China juga dinilai masih menghadapi persoalan dalam tataran politik dan pemerintahannya. 

Baca Juga: Revisi Aturan, China Perkuat Strategi Perang Dagang

“Ini antara lain terlihat dari pemecatan sejumlah pejabat tinggi di China, entah akibat kasus korupsi seperti yang diberitakan atau akibat sikap kritis mereka terhadap pimpinan, seperti ditengarai oleh media Barat,” tuturnya.

Namun ia menekankan dampak ekonomi yang dalam waktu dekat perlu diwaspadai oleh negara-negara Asia Tenggara dan Indonesia. Menurutnya, banjir barang murah dari China adalah salah satu dampak yang sudah berlangsung di tahun 2025 ini. Sedangkan masuknya investor China untuk berproduksi di Indonesia sebagai upaya menghindari tarif dari Amerika Serikat (AS), meski terlihat positif karena berpotensi menyerap tenaga kerja, perlu juga diantisipasi potensi dampaknya bagi Indonesia. 

“Isu -isu seperti tenaga kerja asal China, kesediaan transfer teknologi, ketergantungan terhadap produk dari China, dan makin ketatnya persaingan dengan pengusaha nasional Indonesia perlu menjadi perhatian bagi Indonesia,” tuturnya. 

Johanes juga mengatakan bahwa pada tahun 2025, upaya China untuk mengukuhkan kepemimpinannya di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara terlihat makin jelas. Ia berpandangan bahwa dalam upaya menegaskan hegemoninya, China memosisikan ASEAN sebagai poros strategis bagi pengaruh China di Asia Pasifik. 

China juga dianggap menggunakan retorika politik normatif, antara lain “community of shared future for mankind” (komunitas masa depan bersama) sebagai narasi untuk merangkul negara-negara ASEAN. 

Namun, menurut Johanes, retorika ini berpotensi memunculkan keterbelahan internal di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara. Ia juga menyoroti kontradiksi antara norma-norma yang digagas China, yang menekankan kebersamaan, dengan praktik-praktik yang dilakukan China di lapangan, yang seringkali justru diwarnai dengan sikap agresif. 

Sementara itu, dalam aspek keamanan, Johanes menyoroti potensi dampak yang dihadapi Indonesia dan Asia Tenggara bila terjadi ketegangan antara China dan AS di kawasan ini. “Oleh karenanya, dalam pandangan kami, penting bagi Indonesia untuk meyakinkan Beijing bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan yang bebas dari campur tangan luar dalam menentukan sikap dan pendiriannya,” tegas dia. 

Guru Besar Sinologi UI, Prof Tuty Nur Mutia, secara khusus menyoroti hubungan antara Indonesia dan China sejak pada awal berdirinya kedua negara hingga hari ini. Menurutnya, hubungan RI dan RRC merupakan relasi bilateral yang paling kompleks. 

“Setelah terjadi solidaritas dengan semangat non-blok yang diwarnai kedekatan ideologis ala Sukarno pada tahun 1950-an, kedekatan kedua negara memasuki fase ketegangan antara tahun 1965 hingga 1990, yang antara lain diwarnai dengan pembekuan hubungan diplomatik pada tahun 1967, dan runtuhnya kepercayaan Indonesia terhadap RRC, yang diperparah oleh sensitivitas simbolik dan persepsi ancaman politik,” tuturnya. 

Menurut Tuty, dalam memori historis Indonesia masa itu, China dipersepsikan sebagai ancaman. Menurut pemaparannya, fase pada tahun 1990-an, hubungan kedua negara bergeser. “Terjadi normalisasi hubungan berbasis kalkulasi ekonomi dan geopolitik, serta intensifikasi kerja sama ekonomi, namun tetap dilandasi dengan kehati-hatian,” jelas dia.  

Barulah pada tahun 2000-an, hubungan kedua negara memasuki fase kemitraan strategis komprehensif. Namun, Tuty mengingatkan bahwa tantangan geopolitik dan isu kedaulatan, khususnya di ZEE Indonesia dekat perairan Natuna, tetap membayangi kedekatan kedua negara. 

Memasuki era kepemimpinan Prabowo, Tuty berpandangan bahwa hubungan dengan RRC tetap dianggap sebagai prioritas oleh Pemerintah Indonesia. Namun, menurutnya Indonesia menerapkan apa yang oleh para ahli hubungan internasional disebut sebagai hedging strategis. 

Baca Juga: 2026, Puluhan Pabrikan EV dari China Diprediksi Menemui Ajalnya Alias Bangkrut

Tuty menunjukan tanda-tanda penerapan strategi itu melalui berbagai fenomena, antara lain keterlibatan ekonomi dengan kehati-hatian keamanan, diversifikasi mitra strategis, dimana Indonesia tidak hanya menggandeng China, tetapi juga negara-negara besar lainnya sebagai mitra, serta upaya menjaga otonomi kebijakan luar negeri. 

Tuty berpandangan bahwa strategi Indonesia di atas merupakan strategi yang tepat untuk dilakukan. Ia mengingatkan bahwa Indonesia boleh saja bersikap pragmatis dalam hubungan dengan China, antara lain dengan menjaga hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, sejauh tetap terukur dan tegas, dengan penekanan secara khusus pada isu kedaulatan. 

“Sikap pragmatis dapat dipertahankan selama tetap terukur dan tegas, khususnya dalam hal kedaulatan,” kata Tuty. Isu kedaulatan nampaknya masih menjadi keprihatinan yang serius bagi para akademisi Indonesia terkait hubungan dengan China. 

Ahli Hubungan Internasional Universitas Presiden, Teuku Rezasyah, menyinggung pula kekhawatiran China memperluas lagi 9 garis putus-putus yang secara sepihak menandai wilayahnya. “Garis ini sebelumnya telah ditambah menjadi 10, beberapa pihak mengkhawatirkan di masa mendatang China menambah menjadi 11 dan itu mencakup wilayah Indonesia di Natuna. Meski itu belum terjadi, ada baiknya kita waspada,” tambah dia.

Sementara itu, Diplomat Madya Kementerian Luar Negeri RI, Victor Harjono, sependapat dengan sebagian pandangan-pandangan yang disampaikan dalam diskusi di atas, meski terdapat pula ketidaksepakatan. 

Namun pada intinya, ia menekankan bahwa dalam menghadapi situasi geopolitik yang berkembang, Indonesia harus tetap mengedepankan postur bebas aktif. Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia perlu mengedepankan hukum laut, tepatnya UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) 1982. 

Indonesia juga dinilai perlu memberi perhatian khusus pada isu lingkungan hidup dan sosial sebagai bagian dari diplomasi ekonomi jangka panjang. “Dan yang terpenting, Indonesia harus fokus pada upaya membangun jembatan (building bridge),” tutur Victor.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kejar Target Awal 2026, Pembangunan Hunian Danantara di Aceh Tamiang Terus Dikebut
• 10 jam lalukompas.tv
thumb
Gempa M 2,5 Guncang Lampung
• 16 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
INACA: Industri Penerbangan RI 2025 Lebih Lesu Dibanding 2024
• 9 jam lalukumparan.com
thumb
Munster nilai beberapa pemainnya kesulitan tampil di level tertinggi
• 21 jam laluantaranews.com
thumb
Kabareskrim Sebut 68 Anak Terpapar Ideologi Ekstrem, Mau Serang Sekolah Pakai Senjata
• 8 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.