Bencana Sumatera: Titik Balik Kebijakan Pembangunan Nasional

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita

Rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga Desember 2025 menandai salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam satu dekade terakhir di Indonesia. Ribuan korban jiwa, ratusan ribu warga mengungsi, serta kerusakan masif terhadap rumah, fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur strategis menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar anomali cuaca musiman. Skala dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan memperlihatkan kegagalan struktural dalam mengelola hubungan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah tidak hanya mencerminkan biaya fisik akibat rusaknya infrastruktur, tetapi juga hilangnya produktivitas masyarakat, terganggunya rantai pasok regional, serta meningkatnya beban fiskal negara untuk pemulihan pascabencana. Dalam konteks ini, bencana Sumatera menjadi pengingat bahwa risiko ekologis yang diabaikan dalam perencanaan pembangunan pada akhirnya akan muncul kembali sebagai krisis ekonomi dan kemanusiaan yang jauh lebih mahal.

Meningkatnya intensitas curah hujan ekstrem memang tidak dapat dilepaskan dari dampak perubahan iklim global. Namun, faktor alam tersebut berinteraksi erat dengan persoalan lama yang belum diselesaikan secara sistematis, yakni degradasi lingkungan akibat deforestasi, alih fungsi lahan di kawasan hulu sungai, serta lemahnya tata kelola daerah aliran sungai. Hilangnya tutupan hutan dan rusaknya ekosistem penyangga mengurangi kapasitas alam dalam menyerap dan mengendalikan limpasan air, sehingga hujan ekstrem dengan cepat berubah menjadi banjir bandang dan longsor mematikan.

Dalam perspektif kebijakan publik, kondisi ini mencerminkan meningkatnya disaster vulnerability, ketika tekanan lingkungan bertambah sementara kapasitas adaptif sistem ekologis dan kelembagaan tidak berkembang seiring. Risiko bencana bukan lagi bersifat insidental, melainkan menjadi konsekuensi logis dari pola pembangunan yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam di atas daya dukung lingkungan. Selama paradigma ini tidak dikoreksi, bencana serupa akan terus berulang dengan skala dampak yang semakin besar.

Bencana Sumatera juga memperlihatkan keterkaitan langsung antara krisis ekologis dan ketahanan ekonomi nasional. Kerusakan jalan, jembatan, dan jaringan logistik menghambat mobilitas barang dan tenaga kerja, sementara gangguan terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan menurunkan kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang. Bagi rumah tangga terdampak, bencana berarti kehilangan aset produktif, mata pencaharian, dan akses terhadap layanan dasar. Dengan demikian, risiko iklim tidak hanya mengancam lingkungan hidup, tetapi juga fondasi ekonomi dan sosial masyarakat.

Situasi ini menegaskan bahwa pendekatan pembangunan yang memisahkan pertumbuhan ekonomi dari keberlanjutan lingkungan tidak lagi relevan. Dalam konteks risiko iklim yang semakin intens dan sistemik, ekonomi berkelanjutan harus dipahami sebagai strategi rasional untuk menjaga stabilitas pembangunan jangka panjang. Investasi pada mitigasi iklim, perlindungan ekosistem, dan pengurangan risiko bencana terbukti jauh lebih efisien dibandingkan biaya penanganan pascabencana yang bersifat reaktif.

Kerangka green growth menawarkan pendekatan alternatif yang menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai prasyarat, bukan penghambat, pertumbuhan ekonomi. Melalui efisiensi sumber daya, transisi energi bersih, pengelolaan risiko bencana berbasis sains, serta internalisasi biaya lingkungan ke dalam kebijakan fiskal dan investasi, pembangunan dapat diarahkan agar tetap menciptakan nilai ekonomi tanpa merusak fondasi ekologisnya. Dalam jangka panjang, pendekatan ini justru meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap guncangan iklim dan krisis global.

Peran sektor swasta menjadi semakin penting dalam agenda ini. Di luar tanggung jawab sosial yang bersifat filantropis, dunia usaha memiliki kapasitas finansial dan inovasi untuk berkontribusi langsung pada transisi menuju ekonomi hijau. Instrumen seperti obligasi hijau, pembiayaan campuran (blended finance), dan investasi berdampak (impact investment) dapat diarahkan untuk mendukung restorasi ekosistem, pembangunan infrastruktur tahan iklim, serta pemulihan ekonomi masyarakat terdampak bencana. Keterlibatan sektor swasta tidak hanya mengurangi beban fiskal negara, tetapi juga menciptakan insentif ekonomi baru yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan.

Namun demikian, upaya ini tidak akan efektif tanpa kerangka kebijakan publik yang konsisten dan terintegrasi. Selama ini, penanggulangan bencana di Indonesia masih didominasi pendekatan responsif yang berfokus pada penanganan darurat dan rehabilitasi pascakejadian. Padahal, tantangan yang dihadapi bersifat struktural dan membutuhkan intervensi jangka menengah hingga panjang yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan.

Dalam konteks inilah, bencana Sumatera seharusnya menjadi titik balik kebijakan pembangunan nasional. Pemerintah, akademisi, dan sektor swasta perlu mengintegrasikan ketahanan ekologis secara sistematis ke dalam agenda ekonomi berkelanjutan. Langkah-langkah strategis tersebut mencakup penguatan tata kelola daerah aliran sungai dan hutan lindung berbasis data ilmiah risiko bencana dan pemodelan iklim; peningkatan investasi mitigasi iklim melalui instrumen keuangan hijau seperti obligasi hijau, blended finance, dan kredit proyek berkelanjutan; pemberian insentif ekonomi hijau yang mendorong sektor swasta mengadopsi praktik rendah emisi, restorasi ekosistem, dan kepatuhan lingkungan; serta integrasi kebijakan penanggulangan bencana ke dalam perencanaan pembangunan agar respons negara bergeser dari pola reaktif menuju pendekatan yang preventif dan adaptif.

Tanpa perubahan paradigma tersebut, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus bencana dan pemulihan yang menguras sumber daya nasional. Sebaliknya, dengan menjadikan keberlanjutan ekologis sebagai fondasi pembangunan ekonomi, bencana Sumatera dapat menjadi momentum koreksi arah pembangunan nasional—menuju pertumbuhan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan dalam menghadapi krisis iklim yang kian nyata.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kata-kata Menyentuh Rafinha setelah Tinggalkan PSIM: Terima Kasih Yogyakarta, AYDK!
• 12 jam lalubola.com
thumb
Pemerintah Beri Rp3 Juta ke Korban Bencana Sumatera untuk Belanja Perabotan Rumah
• 17 jam laluidxchannel.com
thumb
Polri Sediakan Ribuan Sarana-Prasarana Penunjang Kelompok Rentan dan Disabilitas Sepanjang 2025 
• 21 jam laluokezone.com
thumb
Istri Dianiaya Suami hingga Buta di Depok Diberi Pendampingan Psikologis
• 20 jam laludetik.com
thumb
KKP bangun budi daya ikan untuk Kopdes Merah Putih di Situbondo
• 4 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.