Dalam satu tahun terakhir, banjir berulang kembali terjadi di sejumlah wilayah yang sama, mulai dari kawasan hilir daerah aliran sungai di Jawa Barat hingga permukiman padat di kota-kota pesisir. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan tekanan terhadap lingkungan dan perubahan tata guna lahan yang terus berlangsung. Lebih dari sekadar peristiwa alam, kondisi ini menjadi alarm terhadap arah pembangunan nasional dan capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Indonesia menuju 2030.
Dalam kerangka SDGs, banjir berulang dan degradasi lingkungan berkaitan langsung dengan Tujuan 11 tentang kota dan permukiman berkelanjutan, Tujuan 13 tentang penanganan perubahan iklim, serta Tujuan 15 mengenai perlindungan ekosistem daratan. Namun dalam praktik kebijakan, indikator ekonomi jangka pendek masih kerap menjadi rujukan utama pengambilan keputusan, sementara daya dukung lingkungan diperlakukan sebagai variabel pendamping.
Banjir yang berulang sejatinya tidak hanya berbicara tentang curah hujan. Kajian dan laporan yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa berkurangnya kawasan resapan air, meningkatnya alih fungsi lahan, serta degradasi kualitas lingkungan memperbesar risiko banjir dan longsor di wilayah hilir.
Sungai meluap karena ruang air semakin menyempit, sementara kemampuan tanah dan lanskap untuk menyerap serta menyimpan air terus menurun. Dalam kondisi seperti ini, alam seolah memberi sinyal bahwa batas ekologis telah dilampaui, meskipun sinyal tersebut tidak selalu tercermin dalam indikator pertumbuhan ekonomi.
Seorang warga di kawasan pinggiran Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menggambarkan bagaimana banjir yang dulu datang lima tahunan kini hampir menjadi peristiwa tahunan. Air memang surut dan aktivitas kembali berjalan, tetapi kecemasan tetap tinggal. Setiap musim hujan tiba, risiko yang sama kembali menghantui.
Kisah seperti ini jarang tercatat dalam laporan pembangunan, namun ia menunjukkan bahwa biaya kebijakan sering kali muncul dalam bentuk yang tidak langsung, tetapi dirasakan nyata oleh masyarakat.
Selama ini, keberhasilan pembangunan kerap diukur melalui pertumbuhan investasi, percepatan proyek, dan peningkatan output ekonomi. Indikator-indikator tersebut penting dan sah. Namun persoalan muncul ketika indikator ekologis tidak ditempatkan sebagai penentu utama, melainkan sekadar pelengkap.
Dalam banyak kasus, pertanyaan yang dominan ketika keputusan diambil adalah seberapa besar manfaat ekonomi yang dihasilkan, bukan seberapa besar tekanan tambahan yang ditanggung oleh sistem alam yang sudah rapuh.
Konflik antara manusia dan satwa liar memberi gambaran yang lebih tajam tentang konsekuensi pendekatan ini. Data dan catatan lapangan Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa konflik satwa meningkat di wilayah yang mengalami fragmentasi habitat akibat pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur. Satwa bergerak keluar bukan karena mengganggu, melainkan karena kehilangan ruang hidup.
Penanganan konflik sering dilakukan di hilir, melalui relokasi atau pengamanan darurat, tanpa menyentuh keputusan tata ruang dan perizinan di hulu yang menjadi akar persoalan. Dalam konteks SDGs, situasi ini menguji komitmen Indonesia terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Negara bukan sekadar pengelola proyek, tetapi penentu batas. Tantangannya bukan kekurangan regulasi, karena aturan lingkungan dan kehutanan sudah relatif lengkap. Tantangan sesungguhnya adalah keberanian menjadikan batas daya dukung lingkungan sebagai rujukan yang mengikat, bukan sekadar rekomendasi yang dapat dinegosiasikan.
Di tingkat perencanaan nasional, pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas telah menempatkan SDGs sebagai kerangka utama pembangunan hingga 2030. Penguatan kapasitas perencana dan pengambil kebijakan terus dilakukan, termasuk melalui SDG Academy Indonesia, yang berfungsi sebagai ruang pembelajaran lintas sektor untuk memahami keterkaitan antara pembangunan ekonomi, lingkungan hidup, dan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini, penguatan kapasitas perencana daerah menjadi kunci agar prinsip keberlanjutan benar benar diterjemahkan ke dalam keputusan teknis di lapangan. Namun tantangan terbesar bukan pada perumusan kerangka, melainkan pada implementasi di lapangan.
Audit daya dukung lingkungan perlu benar-benar menjadi prasyarat utama perizinan, bukan sekadar prosedur administratif. Evaluasi berkala terhadap izin yang telah berjalan di wilayah rawan bencana harus memiliki mekanisme koreksi yang jelas, termasuk kemungkinan penyesuaian atau penghentian kegiatan jika risiko ekologis meningkat.
Selain itu, indikator lingkungan dan kehutanan perlu memiliki bobot setara dengan indikator ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Isu lingkungan dan kehutanan dengan demikian tidak seharusnya diposisikan sebagai penghambat pembangunan, melainkan sebagai parameter keberlanjutan kebijakan.
Negara yang kuat bukan hanya yang mampu membangun cepat, tetapi yang mampu menahan diri ketika risiko jangka panjang mulai terlihat. Dalam konteks percepatan pencapaian SDGs 2030, kemampuan menahan diri ini justru menjadi ukuran kedewasaan pembangunan.
Rangkaian peristiwa lingkungan yang kita alami hari ini dapat dibaca sebagai alarm yang berbunyi pelan namun konsisten. Ia tidak datang dengan bahasa kebijakan, melainkan melalui banjir, longsor, dan konflik ruang hidup.
Menjelang sisa waktu pencapaian SDGs 2030, pilihan ada di tangan para pengambil kebijakan: menjadikan alarm ini sebagai dasar koreksi arah pembangunan, atau terus membayar biaya sosial dan ekologis yang kian mahal, sering kali ditanggung oleh kelompok paling rentan.
Pembangunan sejatinya bukan sekadar soal bergerak maju, tetapi juga soal mengetahui kapan harus berhenti sejenak, meninjau ulang, dan memperbaiki arah. Di sanalah kualitas kebijakan diuji, dan di sanalah masa depan pembangunan berkelanjutan Indonesia ditentukan.
(miq/miq)


/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F30%2Fdebb88b118ed82a90386c3178089caee-20251230AGS_31.jpg)

