Siap-siap, Ini 8 Kebijakan Pajak Purbaya di 2026

cnbcindonesia.com
8 jam lalu
Cover Berita
Foto: Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers APBN KITA di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun pajak 2026 menjadi tahun pertama bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerapkan kebijakan pajak setahun penuh di bawah kendalinya, setelah ia dilantik sebagai menteri keuangan oleh Presiden Prabowo pada September 2025.

Sejumlah kebijakan pajak pada 2026 pun dalam berbagai kesempatan ia telah umumkan. Di antaranya ialah tidak adanya kebijakan pajak baru yang akan diterapkan, seperti kenaikan tarif hingga perluasan pungutan objek pajak tertentu.


Seperti yang telah ditegaskan pendahulunya, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada 2026 ia pastikan tidak ada kenaikan tarif pajak maupun pungutan pajak baru meski target penerimaan pajak pada tahun depan dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun atau naik 7,69% dari target tahun ini Rp 2.189,3 triliun.

Baca: Purbaya Colek Maruli: Bapak Punya Utang Banyak Ternyata

"Enggak ada gunanya saya naikkan pajak saat itu, makin kecil terus, malah turun ke bawah," kata Purbaya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, sebagaimana dikutip kembali, Rabu (31/12/2025).

Namun, ia menegaskan, ketika pertumbuhan ekonomi mampu lebih cepat ke depannya di atas 5%, dan membuat daya beli masyarakat semakin tinggi. Purbaya menekankan, pemerintah baru bisa mempertimbangkan menaikkan tarif pajak ke depannya.

Purbaya mencontohkan, salah satu pertimbangannya untuk menaikkan tarif pajak ialah bila ekonomi Indonesia sudah mampu tumbuh di level 6%. "Jadi Anda enggak usah takut, saya akan naikkan pajak ketika tumbuh di atas 6%. Anda juga akan happy juga bayar pajaknya," ucap Purbaya.

Terlepas dari itu, ada sejumlah daftar kebijakan pajak yang akan diterapkan Purbaya pada 2026, mulai dari perbaikan sistem administrasi, peningkatan kepatuhan, hingga penyesuaian standar global:

Baca: Bukan Singapura, Menteri Imigrasi Ungkap Posisi Terakhir Riza Chalid

Tarif PPN Tak Naik

Purbaya menegaskan, pihaknya belum memiliki rencana melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan. Kebijakan kenaikan tarif PPN sempat mencuat pada akhir 2024, meski realisasinya pada awal 2025 hanya berlaku kepada barang dan jasa mewah menjadi 12%.

"Belum ada sampai sekarang. Kita lihat bagaimana ekonomi kita bisa tumbuh lebih cepat atau enggak," kata Purbaya, menjawab pertanyaan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).

Namun Purbaya, menjelaskan penyesuaian PPN itu baru dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi nasional mampu tumbuh 6%. Sehingga pemerintah memiliki ruang untuk mengelola kebijakan perpajakan termasuk PPN.

Baca: Purbaya & Menteri PANRB Rapat di Akhir Tahun, Gaji PNS Naik?

"Kalau di atas 6% harusnya sih ada ruang untuk mengolah kebijakan PPN, bisa naik, bisa turun, jadi nggak nebak ya," kata Purbaya.

Dia menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada keputusan terkait menaikkan PPN, maupun diturunkan. Pemerintah masih melihat kondisi ekonomi menyeluruh. "Kalau ekonominya lebih cepat, ruangnya akan terbuka," kata Purbaya.

Andalkan Coretax

Untuk mengejar target naiknya setoran pajak pada 2026, Purbaya menegaskan, mengandalkan perbaikan pelayanan administrasi pajak, supaya masyarakat makin mudah dan patuh membayar kewajibannya kepada negara. Salah satu sistem yang menjadi andalan ialah Coretax.

Ia meyakini, keandalan sistem inti administrasi pajak yang telah diterapkan sejak awal 2025 itu akan mempermudah otoritas pajak dalam memberikan pelayanan kepada para wajib pajak, termasuk dari sisi pengawasan, hingga penagihan, karena pengelolaannya terpusat pada satu sistem.

"Jadi kita perbaiki dulu sistem digital perpajakan kita. Saya harap tahun depan kita akan lebih efisien dalam mengumpulkan pajak dengan target yang lebih tinggi lagi," tuturnya.

Baca: Sejarah! India Klaim Lampaui Ekonomi Jepang, Bidik Jerman di Posisi 3

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto pun telah menekankan, pada 2026, seluruh wajib pajak juga telah diharuskan untuk melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak hanya melalui sistem itu.

"Tahun depan laporan SPT Tahunan sudah melalui Coretax. Jadi Coretax sudah siap untuk menerima SPT Tahunan orang pribadi dan badan tahun 2025," ujar Bimo dalam keterangan resminya dikutip Rabu (12/11/2025).

Penerapan Global Minimum Tax

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, implementasi kebijakan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) di Indonesia akan mulai berjalan penuh pada 2026.

Sebagaimana diketahui, sejak tahun ini pemerintah telah mengatur penerapan GMT di Indonesia melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Namun, tata cara detail administrasi penerapan pajak minimum globalnya belum ada, dan baru akan diselesaikan oleh Ditjen Pajak pada tahun ini.

Adapun skema GMT yang berlaku di Indonesia ialah pemberlakuan top up tax bagi perusahaan multinasional atau PMN yang memiliki peredaran bruto konsolidasi minimum 750 juta euro dan tak membayar pajak di negara yurisdiksi mereka beroperasi dengan tarif minimum 15%.

Baca: Gen Z & Alpha Jepang Hadapi "Kiamat" Lebih Awal

"Untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up tax dibayar paling lambat sesuai ketentuan pada 31 Desember 2026," kata Bimo saat rapat kerja dengan Komis XI DPR, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Perhitungan top up tax di Indonesia ialah memanfaatkan mekanisme income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan qualified domestic minimum top up tax (QDMTT).

IIR merupakan ketentuan yang mengharuskan Entitas Induk Utama dari suatu Grup PMN untuk membayar pajak tambahan atas Entitas Konstituennya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15%. Sedangkan, QDMTT ialah kebijakan yang dapat memastikan pajak minimum paling tidak dibayarkan di negara asalnya.

Lalu, UTPR merupakan ketentuan yang berlaku dalam hal IIR tidak diterapkan oleh negara domisili Entitas Induk Utama/Entitas Induk Antara dalam ketentuan domestiknya. Pajak tambahan yang dikenakan berdasarkan UTPR sama dengan pajak tambahan berdasarkan IIR, yang kemudian akan dialokasikan kepada semua negara yurisdiksi UTPR berdasarkan formula tertentu.

Bimo menjelaskan, pada 2025 mekanisme perhitungan IIR dan DMTT sebetulnya sudah mulai berlaku, diiringi dengan sosialisasi kepada para wajib pajak dan fiskus, persiapan infrastruktur IT, penyusunan Peraturan Dirjen Pajak tentang Tata Cara Administrasi GMT, serta persiapan exchange of information (EOI) nya antar negara.

Baca: Diam-Diam Mengamuk, Komoditas Ini Mengguncang Dunia di 2025: RI Punya?

Sedangkan pada 2026, ia memastikan, UTPR akan mulai berlaku, beriringan dengan dimulainya implementasi pembayaran pajak minimum global untuk tahun pajak 2025, serta sosialisasi kepada wajib pajak dan fiskus, persiapan IT, serta EOI.

Pegang Data Keuangan WP

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menggodok revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk memperluas cakupan perolehan data rekening keuangan untuk kepentingan perpajakan, termasuk e-wallet dan transaksi kripto.

Rekening keuangan yang akan ditambahkan melalui PMK baru itu di antaranya terkait Produk Uang Elektronik Tertentu (Specified Electronic Money Products) dan Mata Uang Digital Bank Sentral (Central Bank Digital Currencies). Hal ini terungkap dalam pengumuman nomor PENG-3/PJ/2025 yang ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sejak 22 Oktober 2025.

Bimo menjelaskan perluasan AEOI akan menyesuaikan standar praktik internasional. Rencananya, target implementasi revisi aturan tersebut pada 2026 mendatang.

Baca: Cek Hitungan Pajak 2026 Bagi Karyawan Gaji UMR & Rp 10 Juta

"Itu 2026 masih. Kan itu kan ada praktik-praktik yang setara di negara-negara partner ya," ujarnya.

Bimo pun menjelaskan perluasan cakupan perolehan data rekening ini mempertimbangkan adanya amandemen terhadap implementasi perjanjian internasional oleh OECD terkait Convention on Mutual Administrative Assistance on Tax Matters dan Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Information Common Reporting Standard Multilateral Competent Authority Agreement 2015.

"Kan OECD sudah mulai masuk ke digital currency, kemudian masuk ke kripto. kita jadi harus adjust itu. Itu berlaku secara internasional," ujarnya.

Seperti yang diketahui, selain penambahan cakupan rekening keuangan, RPMK terbaru ini nantinya juga akan berisi pengaturan untuk mencegah duplikasi pelaporan AEOI CRS dan Crypto-Asset Reporting Framework (CARF).

Lalu, pihak lembaga jasa keuangan juga akan diminta melakukan penyempurnaan aspek pelaporan, meliputi: penguatan prosedur identifikasi rekening keuangan; penambahan jenis rekening keuangan yang dikecualikan; hingga penambahan informasi yang dilaporkan.

Pemberlakuan Pajak Marketplace

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto memastikan, pemberlakuan pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 pedagang online di e-commerce sebesar 0,5% akan ditunda sesuai dengan arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

Bimo mengatakan, penerapan pungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi para merchant oleh penyedia layanan e-commerce sebagaimana telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 memang sebelumnya diminta Purbaya untuk ditunda sampai Februari 2026.

Baca: Bangun Sumatra Pascabencana, Purbaya Anggarkan Rp51 T di 2026

Namun, dalam arahan terbaru, penundaan pemberlakuannya diputuskan sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa benar-benar mampu menembus level 6%, dari yang selama ini masih tumbuh di kisaran 5% secara tahunan atau year on year (yoy).

"Itu yang memang ditunda sampai nanti sesuai dengan arahan pak menteri sampai katakan lah pertumbuhan ekonomi lebih optimis ke angka 6%," kata Bimo saat media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (20/10/2025).

"Terakhir itu memang arahannya ke kami itu di Februari tapi kemudian ada arahan dari pak menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan 6%," tegasnya.

Sejumlah Karyawan Ini Bebas Pajak

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memberikan insentif pajak penghasilan pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh DTP) untuk sejumlah karyawan sektor usaha tertentu sampai dengan 2026. Sebagaimana ia tetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025 yang mengubah PMK Nomor 10 Tahun 2025. Adapun Ketentuan ini berlaku sejak 28 Oktober 2025.

Pasal 3 PMK 72/2025 menyebutkan, bahwa kebijakan pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja di sektor pariwisata ini menjadi bagian dari perluasan insentif PPh Pasal 21 DTP yang sebelumnya diberikan kepada pekerja di sektor usaha alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit, serta pariwisata.

Selain itu, juga termasuk para pekerja yang kode klasifikasi lapangan usahanya masih menjadi bagian dari deretan sektor-sektor penerima insentif. Kode klasifikasi lapangan usaha atau KLU nya merupakan yang tercantum pada basis data yang terdapat dalam administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Insentif pajak yang diberikan bagi para pegawai yang gajinya sampai dengan Rp 10 juta itu diberikan dalam jangka waktu yang beragam. Misalnya, pekerja di sektor alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit berlaku untuk masa pajak Januari 2025-Desember 2025.

Sedangkan untuk para pekerja tertentu di bidang pariwisata jangka waktu insentif PPh Pasal 21 DTP nya diberikan untuk masa pajak Oktober 2025 sampai dengan Desember 2025.

Dalam Pasal 5 PMK itu juga disebutkan, PPh Pasal 21 DTP merupakan insentif yang harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai tertentu, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, insentif ini diberikan bagi para pekerja bergaji sampai dengan 10 juta di sektor padat karya dan pariwisata guna memastikan kepastian berusahanya terus terjaga di tengah tekanan bisnis.

"Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan," kata Airlangga seusai rapat terbatas paket stimulus ekonomi dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/9/2025).

Untuk para pekerja di sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi, kulit, barang dari kulit, dan furnitur yang bergaji sampai dengan Rp 10 juta, telah menerima insentif PPh DTP 100% sejak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 pada 4 Februari 2025.

Pada 2026, mereka akan mendapatkan kembali insentif pajak tersebut dengan target penerima mencapai 1,7 juta pekerja. Alokasi anggarannya pada tahun depan senilai Rp 800 miliar.

"Yang gajinya sampai Rp10 juta itu ditanggung pemerintah, ini targetnya adalah 1,7 juta pekerja dan alokasi tahun ini sudah disediakan Rp800 miliar. Jadi ini pun akan dilanjutkan tahun depan," tegas Airlangga.

Baca: Energi Hijau Digencarkan, RI Bisa Serap 1,7 Juta Lapangan Kerja

Sementara itu, bagi para pekerja di sektor terkait pariwisata, seperti hotel, restoran, dan alas kaki atau horeka mulai menerima insentif itu pada kuartal IV-2025. Targetnya terhadap 552 ribu pekerja dengan anggaran Rp 480 miliar pada 2026 dan 2025 senilai Rp 120 miliar karena 100% PPh 21 DTP nya selama 3 bulan.

"Jadi ada kepastian sampai tahun depan PPh pekerja sektor horeka ini masih ditanggung pemerintah dengan estimasi anggarannya Rp 480 miliar dengan gaji di bawah Rp10 juta," tutur Airlangga.

Dengan begitu, pada tahun depan, setidaknya akan terdapat 2,22 juta pekerja di sektor padat karya dan yang terkait pariwisata akan mendapatkan insentif pajak dengan total anggaran mencapai Rp 1,28 triliun.

"Dan benefitnya mereka bisa memanfaatkan angka Rp 60 ribu sampai Rp 400 ribu tambahan ke orang per orang, sehingga kita berharap bahwa ini daya beli bisa terjaga juga," ungkap Airlangga.

Beli Rumah Masih Bebas PPN

Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% akan diperpanjang pada 2026 hingga 31 Desember 2027. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Oktober 2025, Selasa (14/10/2025).

"Menjaga daya beli dan multiplier yang besar PPN DTP yang besar diberikan hingga 31 Desember 2026 diperpanjang 31 Desember 2027 yang akan dinikmati 40 ribu unit per tahun," kata Purbaya

Pemerintah sebelumnya sudah menetapkan perpanjangan PPN DTP sebesar 100% hingga 31 Desember 2026. Keputusan ini direvisi setelah mendengar masukan dari pengembang properti. Perpanjangan ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan perpanjang PPN DTP hingga 2027 ini akan ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

"Akan kita buatkan PMK bahwa diperpanjang lagi sampai 31 Desember 2027 sehingga pengembang bisa rencanakan pembangunan lebih besar dan cepat," kata Febrio.

Baca: Purbaya Bebaskan Bantuan Bencana dari Bea Cukai, Ini Aturannya!

Tax Holiday Gaya Baru

Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan, insentif tax holiday atau pembebasan pajak berlanjut pada 2026.

"Berlanjut," kata Direktur Jenderal Stabilitas Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (23/11/2025).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130 Tahun 2020, pemberian insentif tax holiday akan berakhir pada 31 Desember 2025.

Oleh sebab itu, Febrio menegaskan, guna memperpanjang periode waktu pemberian insentif, Kementerian Keuangan kini tengah menyiapkan peraturan menteri keuangan (PMK) baru.

"Jadi PMK tax holiday itu sedang kita proses untuk dilanjutkan 2026," tegas Febrio.

Meski begitu, Febrio menekankan, skema insentif tax holiday pada 2026 akan menyesuaikan penerapan global minimum tax (GMT) yang menetapkan tarif minimal pajak penghasilan 15%.

Baca: Karyawan, Pengusaha Sampai Perusahaan Ini Tidak Perlu Bayar Pajak

"Karena harus sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani dengan OECD itu bahwa minimum pajaknya adalah 15%," ucap Febrio.

"Kalau kita berikan tax holiday full, itu artinya dia akan bayar pajak 15% nya ke negara asalnya dia. Itu sama saja kita mensubsidi APBN negara lain," tegasnya.

Febrio mengatakan, konsep tax holiday yang baru ialah pembebasan tarif pajak bagi investor tak lagi capai 100%, atau seluruh tarif PPh Badan 22% yang full dihilangkan. Melainkan sesuai kesepakatan GMT 15%, sedangkan sisanya diberikan dalam bentuk insentif pengganti yang masih dirumuskan.

"Jadi berarti 22% dikurang 15% berarti kan 7%. Nah negara-negara lain, ini kita pelajari Vietnam, India dan sebagainya itu memberikan kebijakan substitusi pengganti dari tax holiday tersebut," ungkapnya.


(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ditjen Pajak: 7,7 Juta Wajib Pajak Aktifkan Akun Coretax

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Hasil BRI Super League: Pendekar Cisadane Keren! 10 Pemain Persita Bungkam Arema FC di Kanjuruhan!
• 22 jam lalubola.com
thumb
Seorang Pedagang Tahu Bulat Diduga Lecehkan Anak 7 Tahun, Diamuk Warga Pasar Minggu
• 19 jam lalusuara.com
thumb
Kisah Inspiratif: Anak Bebek Kuning Belajar Berenang
• 21 jam laluerabaru.net
thumb
Warga Aceh Tengah Bahu-Membahu Tarik Truk Listrik
• 3 jam lalutvrinews.com
thumb
Jalan Sudirman Ditutup Mulai Pukul 18.00 WIB Saat Malam Tahun Baru
• 20 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.