Menjelang pergantian tahun, terjadi teror sistematis kepada warga negara yang bersuara kritis. Seorang aktivis Greenpeace Indonesia dikirimi bangkai ayam dengan sepucuk pesan ancaman, dan beberapa pembuat konten kritis terhadap penanganan bencana di Sumatera mendapat teror serupa.
Sebelumnya, aparat dan pejabat tinggi pemerintahan menekan media agar tidak memberitakan buruknya penanganan bencana, sehingga memicu praktik swasensor. Serangkaian peristiwa ini tidak boleh dinormalisasi karena bisa menjadi alarm berbahaya bagi demokrasi.
Rumah Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mendapat kiriman bangkai ayam pada Selasa (30/12/2025). Bangkai ayam itu ditemukan di teras rumah pada Selasa pagi, tanpa pembungkus apa pun.
Di kaki ayam tersebut terikat plastik berisi kertas bertuliskan pesan ancaman, dengan huruf kapital, “JAGALAH UCAPANMU APABILA ANDA INGIN MENJAGA KELUARGAMU, MULUTMU HARIMAUMU.”
Iqbal mendengar suara ‘gedebuk’ di teras rumahnya pada Selasa dinihari. Namun, baru sekitar pukul 05.30 WIB, anggota keluarga Iqbal menemukan bangkai ayam tersebut.
Sebelumnya, dalam beberapa hari terakhir, Iqbal banyak menerima serangan di kolom komentar unggahan media sosialnya, juga pesan bernada ancaman lewat direct message Instagram.
" Baru-baru ini, pesan ancaman itu terkait bencana Sumatera. Kalau sebelumnya terkait Raja Ampat," kata Iqbal, yang kerap bersuara kritis terhadap buruknya tata kelola negara yang memicu bencana Sumatera.
Teror dengan cara serupa, dan pesan nyaris sama juga dialami pembuat konten asal Aceh, Sherly Annavita. Dalam unggahan video di akun instagram resminya @sherlyannavita, Sherly menyampaikan teror berupa pesan ancaman ke nomor pribadi dan akun media sosialnya berhari-hari.
Teror itu memuncak semalam, bersamaan dengan yang dialami Iqbal. “Malam tadi teror jadi semakin jelas ditunjukan,” kata Sherly dalam unggahan itu pada Selasa, 30 Desember 2025.
Sherly kemudian menunjukkan vandalisme berupa coretan cat merah di mobil pribadi serta kiriman sekantung telur busuk ke tempat tinggalnya.
Seperti Iqbal, Sherly juga menerima surat bernada mengancam. Dan sebagaimana Iqbal, Sherly kerap menyampaikan tentang lambannya penanganan bencana di Sumatera, baik saat diwawancara televisi maupun di konten-konten media sosialnya.
Ancaman dan teror juga dialami pembuat konten DJ Donny. Lewat media sosialnya, disjoki asal Aceh, DJ Donny, mengabarkan bahwa ia pun mendapat kiriman bangkai ayam dan pesan berisi ancaman karena konten kritiknya terkait penanganan bencana Sumatera.
“ Sulit untuk tak mengaitkan kiriman bangkai ayam ini dengan upaya pembungkaman terhadap orang-orang yang gencar menyampaikan kritik atas situasi Indonesia saat ini,” kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak.
Ada satu kemiripan pola yang kami amati, sehingga kami menilai ini teror yang terjadi sistematis terhadap orang-orang yang belakangan banyak mengkritik pemerintah ihwal penanganan bencana Sumatera,” ucapnya.
Sulit untuk tak mengaitkan kiriman bangkai ayam ini dengan upaya pembungkaman terhadap orang-orang yang gencar menyampaikan kritik atas situasi Indonesia saat ini.
Leonard yakin teror yang dialami Iqbal karena kerja-kerjanya sebagai pengkampanye Greenpeace. Belakangan ini, Iqbal Damanik melalui akun media sosial pribadinya kerap mengritik respons pemerintah dalam menangani bencana tersebut.
Selain Iqbal, menurut Leonard, sejumlah juru kampanye Greenpeace juga banyak bersuara lewat wawancara media maupun media sosial. Dia menegaskan, berbagai pernyataan itu berangkat dari temuan tim yang pergi ke lapangan pascabencana, serta temuan dan analisis Greenpeace.
Ancaman terhadap kebebasan ekspresi kita memang kian nyatra. Sebelumnya, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak mengeluarkan pernyataan agar media tidak memberitakan kekurangan pemerintah.
Sementara itu Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya meminta media fokus pada berita positif dan tidak menggiring opini seolah pemerintah tidak bekerja.
" Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspose lewat media," kata Jenderal Maruli di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2025), seperti dilaporkan sejumlah media.
Sekretaris Kabinet Letkol Teddy mengatakan pada hari yang sama, "Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring-giring seolah pemerintah tidak kerja, petugas-petugas di lapangan tidak kerja. Di sini semua butuh kerja sama, kekompakan, energi positif." Hal ini disampaikan Letkol Teddy di kanal Youtube BNPB.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nany Afrida mengatakan, pernyataan dua pejabat tinggi ini merupakan bentuk pengekangan terhadap peran pers, yang salah satu perannya sebagai watchdog, terutama dalam konteks sensitif seperti bencana besar. Padahal, kritik media berbasis fakta dibutuhkan untuk mendukung akuntabilitas dan perbaikan kebijakan.
Menurut Nany, pernyataan dua perwira TNI AD tersebut, juga bisa memicu terjadinya praktik swasensor, seperti yang terjadi belakangan ini. Media akan takut menyampaikan kritik, bahkan menarik pemberitaan yang kritis terkait penanganan pascabencana. Akibatnya, publik tidak akan mendapat informasi yang sebenarnya.
Sebelumnya AJI juga mendapatkan laporan tentang jurnalis di Aceh yang dihalang-halangi saat bekerja, bahkan video yang dibuat dihapus oleh aparat keamanan. Sensor dan kontrol narasi media oleh pemerintah akan mengaburkan realitas di lapangan.
Menurut Nany, ketika akses jurnalis dibatasi, data dikontrol sepihak, dan narasi “resmi” dipaksakan, publik akan kehilangan hak untuk mengetahui situasi sebenarnya seperti skala kerusakan, lambannya distribusi bantuan, atau kegagalan mitigasi yang seharusnya bisa menjadi pelajaran bersama.
Ahli hukum dari Pusat Kajian hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P. Wiratraman menambahkan, represi negara terhadap masyarakat kini bertambah dengan pola politik penormalisasian.
" Politik penormalisasian bertemali dengan penyembunyian tindak kejahatan, pengaburan akar masalah, dan pemoles kebusukan kekuasan," kata dia menegaskan.
Menurut Herlambang, "penormalisasian" kemudian didayagunakan untuk mengambinghitamkan, memanipulasi, dan mengandalkan propaganda kosong alias tak bermakna.
Sebagai contoh, isu "harga diri bangsa", "berdaulat", "50 helikopter", "helikopter Prabowo probadi", itu sederet propaganda yang dikenal dalam rezim fasis Itali disebut "machismo" (dalam Ur-Facism oleh Umberto Eco, 1995), terkesan gaya kejantanan, keperkasaan, tapi sebenarnya tak punya daya juang untuk membentengi penyelamatan warga.
"Sebaliknya, penormalisasian hari ini membentengi relasi kuasa oligarki yang mengeruk kekayaan untuk segelintir penguasa ekonomi politik," kata dia menegaskan.
Praktik intimidasi terhadap masyarakat yang bersuara kritis, penghalangan liputan jurnalis hingga pelabelan “berita negatif” menunjukkan pengontrolan narasi dilakukan secara sistematis.
Hal ini menjadi kado buruk di tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto. Jika hal ini terus dinormalisasi, maka tahun-tahun ke depan, bakal makin suram bagi iklim demokrasi dan kehidupan masyarakat sipil.



