KEMENTERIAN Lingkungan Hidup akan melakukan audit lingkungan terhadap 182 perusahaan tambang dan perusahaan sawit yang dinilai menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan bencana banjir di Kalimantan Selatan.
Terkait dengan itu, Guru Besar IPB University Bambang Hero Saharjo mengungkapkan, audit lingkungan perlu diperluas tidak hanya pada sektor tambang dan sawit. Menurutnya, perusahaan lain yang aktivitas utamanya memanfaatkan sumber daya alam juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan harus menjadi sasaran evaluasi.
"Audit seharusnya tidak hanya menyasar tambang dan sawit, tetapi juga HTI, HPH, perkebunan karet, hingga aktivitas pemanfaatan kawasan hutan lainnya,” ujar Bambang saat dihubungi, Rabu (31/12).
Ia juga menekankan bahwa audit tidak semestinya hanya difokuskan di Kalimantan Selatan. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraktif dan alih fungsi lahan terjadi di banyak wilayah Indonesia, sehingga audit perlu dilakukan secara nasional dan terintegrasi.
Lebih jauh, menurut Bambang, audit lingkungan dinilai tidak boleh berhenti pada aspek teknis di lapangan semata. Pemerintah didorong untuk menelusuri aspek perizinan secara menyeluruh, mulai dari kesesuaian izin yang diberikan, pemenuhan persyaratan wajib, luasan konsesi, hingga kelengkapan dokumen pendukung seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), AMDAL, dan izin lingkungan. Termasuk pula menelaah proses alih fungsi kawasan hutan menjadi nonkawasan hutan yang kerap menjadi pintu masuk kerusakan ekologis.
Jika dalam proses audit ditemukan adanya pelanggaran regulasi, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pengecualian. Sanksi tidak hanya berhenti pada administratif, tetapi juga dapat berujung pada pencabutan izin, sanksi pidana, maupun gugatan perdata. “Penegakan hukum harus dijalankan dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar melaksanakan tugas rutin,” tegasnya.
Selama ini, penegakan hukum lingkungan terhadap perusahaan tambang dan sawit kerap dipersepsikan lemah. Namun, Bambang menilai masalah utamanya bukan pada ketiadaan penindakan, melainkan keterbatasan kapasitas negara.
Ia menyebut, sudah cukup banyak kasus yang diproses, bahkan ada perusahaan yang mengaku tidak sanggup membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Hanya saja, jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih besar dibandingkan kasus yang berhasil diungkap.
Kendala utama terletak pada keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Penegakan hukum lingkungan membutuhkan pendekatan berbasis sains yang kompleks, sementara dukungan anggaran untuk tim penegak hukum dan para ahli masih sangat terbatas. “Penambahan tenaga ahli tidak signifikan, insentif finansialnya pun tidak sebanding dengan nilai kerugian lingkungan yang diperjuangkan,” katanya.
Kondisi tersebut diperparah oleh berbagai pembatasan administratif, mulai dari keterbatasan biaya transportasi hingga sulitnya mengakses anggaran untuk kebutuhan penting seperti citra satelit. Akibatnya, tidak jarang para ahli harus mengeluarkan dana pribadi demi mendukung proses pembuktian ilmiah di lapangan.
Ke depan, ia merekomendasikan agar penanganan kerusakan lingkungan dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan tolok ukur yang jelas agar ekosistem tetap terjaga. Pemantauan lingkungan juga tidak boleh bersifat seremonial, melainkan difokuskan pada kerusakan yang berdampak serius.
"Upaya pemulihan sejatinya dapat dilaksanakan segera dan tidak menunggu hingga terjadi bencana atau menunggu putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, karena proses perusakan tidak dapat ditunda," ujar Bambang.
Selain itu, kegiatan pencegahan sejatinya dilakukan sejak dari awal dari sejak sebelum izin diberikan dan jangan sampai izin yang diberikan hanya masalah formalitas belaka, sementara persyaratan wajib yang harus dimiliki hanyalah sebagai persyaratan pendukung agar kegiatan dapat dilakukan.
"Kegiatan penegakan hukum mustinya memberi efek jera dalam artian sesugguhnya, dan tidak pandang bulu," pungkas Bambang. (H-3)


:quality(80):format(jpeg)/posts/2025-12/31/featured-9a9afc6501297796c3121c690a2d56a5_1767142131-b.jpg)


