EtIndonesia.com. Di tengah keriuhan indikator makroekonomi seperti inflasi dan produk domestik bruto (PDB), wajah asli ekonomi Indonesia sering kali tersembunyi dalam dinamika mikro yang jarang mendapat sorotan utama.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa meskipun ekonomi nasional menunjukkan tren positif, lajunya masih berada di bawah potensi yang sesungguhnya. Ia mengibaratkan kondisi saat ini sebagai mesin yang memerlukan dorongan lebih kuat agar bisa setara dengan negara berkembang lainnya.
Melirik “Experience Economy” senilai Rp400 TriliunSalah satu sektor yang kini mulai menggeliat namun belum sepenuhnya menjadi narasi utama pemerintah adalah experience ekonomi atau ekonomi pengalaman. Sektor ini merupakan penggabungan antara industri kreatif, film, musik, pariwisata, hingga layanan kebugaran (wellness). Berbeda dengan model jasa tradisional, ekonomi pengalaman menawarkan nilai tambah melalui suasana dan kesan yang didapatkan konsumen.
“Hiburan itu digabungkan menjadi ekonomi pengalaman atau experience ekonomi. Jadi orang sekarang bukan hanya masuk jasa film, tapi dia beli merchandise-nya, dia menikmati keluar dari stresnya kondisi ekonomi sekarang. Dan itu tumbuhnya luar biasa, Rp400 triliun untuk Indonesia,” ujar Bhima di kanal youtube Merry Riana (29/12/2025) menekankan potensi besar sektor ini yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Fenomena ini terlihat dari pergeseran gaya hidup, seperti tren konsumsi matcha di kalangan perempuan yang mencari alternatif kafein selain kopi, hingga kebangkitan industri perfilman dan konser musik nasional yang kini digerakkan oleh promotor-promotor muda. Data menunjukkan bahwa di kawasan Asia Pasifik, motivasi utama masyarakat berlibur adalah untuk mencari ketenangan dan kebugaran (wellness), yang kini menjadi ceruk pasar nomor satu di atas wisata kuliner maupun budaya.
Paradigma Baru: Konservasi di Atas EkstraksiDi sisi lain, Bhima menawarkan kritik mendasar terhadap cara pandang pemerintah terhadap kekayaan alam. Jika selama ini tambang dan sawit dianggap sebagai anugerah ekonomi utama, Celios melihat peluang yang jauh lebih besar pada sektor konservasi hutan dan mangrove dalam jangka panjang.
“Indonesia ini punya kekayaan alam tambang anugerah, sawit anugerah. Saya membacanya agak kebalik, kalau kita bisa mengkonservasi hutan suatu saat yang lain enggak punya hutan, ini nilainya jauh lebih besar. Nilainya Rp2.000 triliun lebih dalam 15 tahun ke depan kalau kita pilih jalan itu,” papar Bhima.
Ia menambahkan bahwa beberapa kepala daerah mulai menyadari keterbatasan sumber daya ekstraktif, seperti nikel yang diprediksi hanya bertahan beberapa tahun lagi, sehingga mulai beralih pada diversifikasi ekonomi berbasis perikanan dan pengolahan hasil laut.
Independensi Riset dan Evaluasi KebijakanSebagai lembaga riset independen, Celios menekankan pentingnya kebijakan berbasis data (evidence-based policy) di tengah dinamika politik yang sering kali mengaburkan objektivitas. Bhima menceritakan bagaimana riset dapat menjadi alat advokasi publik, seperti saat komunitas penggemar K-Pop menggunakan data Celios untuk memprotes rencana kenaikan PPN 12 persen karena dinilai memberatkan pelaku usaha muda dan konsumen generasi Z.
Kritik tajam juga sempat dilayangkan Celios melalui survei kinerja menteri yang menunjukkan adanya ketimpangan kualitas antar-anggota kabinet. Meskipun hasil survei tersebut memicu reaksi beragam dari para menteri—mulai dari permintaan audiensi hingga protes terkait ketidakadilan penilaian—Bhima menegaskan bahwa fungsi riset adalah untuk memberikan peringatan dini kepada Presiden agar melakukan evaluasi terhadap pembantunya.
“Ekonom kalau bikin kebijakan itu jutaan orang bisa diselamatkan. Sebaliknya, kalau ekonom ngasih salah riset, salah kebijakan, salah data, itu korbannya juga jutaan orang,” tegasnya merujuk pada tanggung jawab moral seorang peneliti ekonomi.(isw)




