Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) berharap Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk dapat menurunkan biaya operasional penerbangan pesawat.
Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja menyoroti biaya operasional penerbangan yang masih tinggi, melebihi tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 2019 dan belum diubah sampai saat ini.
Peningkatan biaya operasional penerbangan sebagian besar disebabkan oleh nilai kurs dolar AS, kenaikan harga avtur dan masih adanya bea masuk spare part pesawat.
“Menurunkan biaya operasional penerbangan seperti misalnya perlindungan dari rugi nilai tukar mata uang, penurunan harga avtur, penghapusan semua PPN dan bea masuk pesawat dan spareparts,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (30/12/2025).
Berdasarkan evaluasi INACA sepanjang 2025, melemahnya nilai tukar (kurs) mata uang rupiah terhadap dolar AS menjadi komponen utama kesulitan maskapai. Pada 2019 rata-rata US$1 adalah Rp14.136 sedangkan pada tahun 2025 (November) sudah mencapai Rp16.449 atau naik 16%.
Dia menyebut biaya operasional maskapai penerbangan 70% menggunakan dollar AS, sedangkan pendapatan maskapai nasional adalah dari Rupiah, sehingga dengan naiknya nilai tukar Dollar AS akan semakin membebani keuangan maskapai penerbangan nasional.
Baca Juga
- Kereta Api Khusus Petani dan Pedagang Beroperasi 1 Desember: Cek Jadwal, Harga Tiket dan Syaratnya
- Pemprov Sumbar Jelaskan Nasib Jembatan KA Lembah Anai Usai Banjir Besar
- Jadwal Libur Bursa Saham 2026, Cek Kalender Cuti Sekarang!
Kemudian fluktuasi harga avtur di Indonesia, di mana pada tahun 2019 harga avtur sebesar Rp10.442 sedangkan tahun 2025 sudah mencapai Rp13.968 atau naik sebesar 34%.
Selain itu, masih adanya bea masuk antara 2,5 %–25% untuk 349 HS Code atau 74% dari 472 HS Code terkait sparepart pesawat dengan jumlah 22.349 part number.
INACA berharap pemerintah pusat c.q Presiden Republik Indonesia melalui lintas kementerian dan lembaga untuk memberikan political will, sepenuhnya mendukung penyehatan industri penerbangan nasional. Mengingat, industri penerbangan mempunyai yang besar bagi perekonomian Indonesia. Menurut Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA), kontribusi industri penerbangan Indonesia dan sektor yang terkait pada 2023 adalah mencapai US$62,6 miliar atau sebesar 4,6 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan jumlah tenaga kerja mencapai 6 juta orang.
Harapan INACA
Selain itu, Denon meminta pemerintah juga melakukan penyesuaian aturan terkait tarif batas atas (TBA), baik untuk rute penerbangan jarak pendek maupun rute jarak panjang, serta rute padat dan kurang padat.
Hal yang menjadi sorotan lainnya, yakni agar pemerintah segera menindaklanjuti Undang-Undang (UU) Pengelolaan Ruang Udara Nasional dengan aturan-aturan operasionalnya, terutama terkait dengan penggunaan ruang udara bersama (flexibillity use airspace) antara penerbangan sipil dan militer sehingga operasional penerbangan pesawat menjadi lebih efektif dan efisien.
Denon juga meminta pemerintah agar memberikan sanksi tegas kepada operator penerbangan carter asing (OC 91 asing) yang melanggar aturan regulasi penerbangan Indonesia. Menurut azas Cabotage, seharusnya pesawat registrasi non-PK (non-Indonesia) tidak dapat melakukan penerbangan komersial di Indonesia.
Pasalnya, INACA mencatat maraknya penerbangan carter illegal di wilayah Indonesia, sebagaimana diketahui dari kasus penyewaaan pesawat jet pribadi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sementara terkait rencana pengaplikasian penerbangan berkelanjutan dan ramah lingkungan melalui skema CORSIA secara voluntary tahun 2026 dan mandatory tahun 2027, pemerintah diharapkan untuk mencari skema yang lebih efektif dan efisien baik bagi maskapai penerbangan maupun penumpang pesawat dengan membandingkan penggunaan sustainable aviation fuel (SAF) dengan skema carbon offset.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5041362/original/025813800_1733720190-Untitled.jpg)