Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan kecukupan pasokan gas bumi di dalam negeri melalui strategi tukar guling atau swap gas. Langkah ini diambil dengan mengalihkan jatah ekspor guna memenuhi lonjakan permintaan domestik, terutama untuk sektor kelistrikan dan industri.
Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menjelaskan, kebijakan ini telah dikomunikasikan dan disepakati oleh sejumlah negara mitra pembeli (buyer), seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Salah satu implementasinya dilakukan pada jalur pipa ekspor menuju Singapura.
"Kita ekspor gas ke Singapura itu lewat pipa dari Sumatera dan dari Natuna. Nah, yang dari Natuna ini kita maksimalkan produksinya 100 persen. Lalu, 25 persen jatah ekspor yang dari Sumatera kita kurangi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsep swap ini Singapura sudah setuju untuk diteruskan," ujar Djoko dalam bincang di TV Nasional, Selasa (30/12/2025).
Baca Juga: Sillo Maritime (SHIP) Beli Kapal Tangker Gas Senilai USD80,5 Juta
Djoko menambahkan, skema serupa tidak hanya diterapkan pada gas pipa, tetapi juga pada komoditas gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Langkah proaktif ini diambil setelah pada awal tahun 2025 muncul proyeksi defisit pasokan hingga 53 kargo LNG untuk kebutuhan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta sektor industri.
Melalui negosiasi dengan para mitra, komitmen ekspor yang sudah terjadwal ditarik kembali ke pasar domestik. Strategi ini diklaim berhasil menjaga ketahanan energi nasional tanpa harus menempuh opsi impor.
"Alhamdulillah, sampai detik ini kita tidak jadi impor gas dalam bentuk LNG. Untuk gas, kita masih agak tenang karena kita masih ekspor. Kalau di dalam negeri kurang, kita tinggal negosiasi untuk ambil bagi kebutuhan dalam negeri," tuturnya.
Baca Juga: Tok! Kepala SKK Migas Umumkan Lifting Minyak 2025 Tembus Target APBN
Berdasarkan data SKK Migas, saat ini komposisi pemanfaatan gas bumi nasional sebesar 70 persen telah dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sementara itu, 30 persen sisanya masih ditujukan untuk pasar ekspor.
Djoko menegaskan, prioritas pemanfaatan gas untuk kepentingan nasional merupakan amanat Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sesuai kesepakatan, jatah ekspor yang saat ini dialihkan ke domestik akan diganti atau dikompensasi mulai tahun 2028.
Pada periode tersebut, Indonesia diprediksi akan mengalami surplus produksi gas seiring beroperasinya sejumlah proyek strategis nasional. Beberapa di antaranya adalah proyek di Blok North Ganal oleh Eni yang diperkirakan menambah pasokan 1.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), proyek Genting Oil di Papua pada 2027, serta proyek Abadi Masela pada 2029.
Baca Juga: Pasokan Gas Bumi Jatim Dipastikan Aman, BPH Migas dan PGN Turun ke Lapangan
"Setelah tahun 2028, kelebihan produksi tersebut akan kita gunakan untuk memenuhi kembali komitmen ekspor yang tertunda. Prinsipnya, kebutuhan dalam negeri harus cukup dulu, baru kemudian kita ekspor," kata Djoko.



