Narasi tentang ibu bekerja yang “harus pandai membagi waktu” dinilai tidak lagi memadai. Keseimbangan antara karier dan pengasuhan justru sangat ditentukan oleh seberapa kuat dukungan keluarga dan adilnya pembagian peran di rumah, bukan semata kemampuan personal ibu, kata psikolog Cecilia Helmina E.
Menurut Cecilia, tekanan terbesar ibu bekerja bukan hanya soal jadwal yang padat, melainkan ekspektasi sosial untuk menjalankan dua peran besar secara sempurna dalam waktu bersamaan. Beban ini, kata dia, masih lebih dominan dialami perempuan dibandingkan laki-laki.
“Dalam banyak keluarga, tanggung jawab emosional dan pengasuhan tetap dilekatkan pada ibu, meskipun ia juga bekerja penuh waktu. Ini menciptakan tekanan psikologis yang berlapis,” ujar Cecilia dilansir dari Antara, Rabu (31/12).
Baca juga : Pemulihan Pascabencana Harus Mampu Atasi Trauma
Ia menegaskan bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kegagalan. Sebaliknya, kemampuan membangun sistem dukungan, baik dengan pasangan, keluarga besar, maupun tenaga profesional, merupakan langkah krusial agar peran domestik tidak jatuh sepenuhnya ke satu pihak.
“Pembagian peran harus disepakati secara sadar dan setara. Jika tidak, ibu bekerja akan terus berada dalam posisi ‘berjuang sendirian’,” katanya.
Selain soal peran, Cecilia juga menyoroti kualitas relasi ibu dan anak. Ia menilai kehadiran emosional yang utuh jauh lebih berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak dibandingkan lamanya waktu kebersamaan.
Baca juga : BPS: KBLI 2025 Permudah Klasifikasi Aktivitas Ekonomi Baru
“Anak tidak menghitung jam, mereka merasakan kehadiran. Percakapan sederhana saat makan malam atau sebelum tidur sering kali lebih bermakna dibanding kebersamaan yang panjang tapi terputus oleh pekerjaan,” jelasnya.
Karena itu, ia menyarankan ibu bekerja menetapkan batas yang tegas antara urusan kantor dan rumah. Membawa pekerjaan ke ruang keluarga secara terus-menerus berisiko menggerus kualitas hubungan keluarga sekaligus kesehatan mental ibu.
Fenomena ibu bekerja sendiri menunjukkan tren yang terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat perempuan kini mengisi sekitar 50% tenaga profesional di Indonesia, naik dua persen dibandingkan 2020. Namun, peningkatan partisipasi ini belum sepenuhnya diiringi perubahan pola dukungan di tingkat keluarga.
Merespons dinamika tersebut, sejumlah perusahaan mulai mengambil peran lebih aktif. PT Uni-Charm Indonesia Tbk, misalnya, mengembangkan kebijakan dan program yang dirancang untuk mendukung pengembangan perempuan, termasuk ibu bekerja.
Direktur Unicharm Sri Haryani menyatakan perusahaan menyediakan pelatihan terstruktur yang mencakup penguatan soft skill, hard skill, hingga kepemimpinan bagi karyawati.
“Kami meyakini potensi perempuan tidak terbatas. Tugas perusahaan adalah menciptakan ruang aman dan kesempatan agar mereka dapat berkembang, tanpa harus mengorbankan peran personalnya,” ujar Sri.
Komitmen tersebut sejalan dengan dukungan Unicharm terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 5 tentang kesetaraan gender, serta nilai perusahaan Love Your Possibilities.
Cecilia menutup dengan menekankan bahwa keseimbangan ibu bekerja bukan tanggung jawab individu semata. “Dengan dukungan keluarga yang nyata dan lingkungan kerja yang inklusif, ibu bekerja memiliki peluang lebih besar menjalani peran ganda secara sehat, manusiawi, dan berkelanjutan," kata dia. (Ant/Z-10)





