Riuh Wacana Pilkada Dipilih DPRD: Gerindra-Golkar Cs Setuju, PDIP Tolak

bisnis.com
2 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, JAKARTA – Riuh itu datang kembali, pelan tapi pasti. Di ruang-ruang diskusi elite politik, di sela konferensi pers bencana, hingga podium musyawarah wilayah partai, wacana lama yang pernah memicu sentimen publik kembali diangkat: pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Bagi sebagian elite, ini sekadar evaluasi sistem. Namun bagi yang lain, dia adalah tanda bahaya—lonceng peringatan bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji arah jalannya. 

Lebih dari dua dekade setelah Reformasi 1998 dan hampir 20 tahun sejak pilkada langsung digelar pertama kali pada 2005, gagasan mengembalikan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke tangan wakil rakyat di parlemen daerah kembali menguat.

Alasannya terdengar klasik: biaya politik yang mahal, maraknya politik uang, konflik sosial, hingga efektivitas pemerintahan. Namun, di balik dalih efisiensi itu, terselip pertanyaan mendasar: apakah Indonesia sedang memperbaiki demokrasi, atau justru menariknya mundur ke ruang-ruang tertutup kekuasaan? 

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia membuka peluang formulasi baru pilkada, termasuk melalui DPRD, dengan catatan tetap menghargai hak-hak demokrasi rakyat. Golkar bahkan menawarkan konsep setengah konvensi yakni survei publik dilakukan terlebih dahulu, lalu partai menawarkan kandidat kepada publik sebelum diputuskan melalui mekanisme perwakilan. 

Bagi Golkar, pilkada langsung bukan satu-satunya jalan demokrasi. Rakyat, dalam pandangan ini, tidak harus selalu hadir di bilik suara; cukup diwakili melalui proses yang diklaim lebih terstruktur. 

Baca Juga

  • Mentahkan Ide Kepala Daerah Ditunjuk DPRD, Rektor Paramadina Kenalkan Pilkada Jalan Tengah
  • PAN Nilai Usulan Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Layak Dipertimbangkan
  • Gerindra Dukung Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD, Anggaran Pemilu Bisa Dialihkan

“Survei dilakukan dulu. Kemudian partai-partai itu menawarkan kepada publik. Jadi semacam ada proses, ya setengah konvensi lah, semacam begitu. Ini contoh ya, contoh. Dan Golkar kan partai yang berpengalaman kalau disuruh buat konvensi dan dieksekusi hasilnya,” ucap Bahlil. 

Di sela Diskusi Media di kompleks Senayan akhir Desember 2025, Wakil Ketua Umum PAN Eddy Soeparno. dengan tenang menyebut usulan pilkada melalui DPRD sebagai sesuatu yang layak dipertimbangkan.

Bagi Eddy, pengalaman satu dekade terakhir menunjukkan pilkada langsung tidak steril dari problem identitas politik, politik dinasti, dan terutama politik uang.

"Kami melihatnya itu adalah sebuah usulan yang memang layak dipertimbangkan," ujar Eddy di sela Diskusi Media di kompleks Senayan, Jakarta, Senin (29/12/2025).

Menurut Eddy, biaya besar yang harus ditanggung calon kepala daerah kerap berujung pada beban moral ketika mereka terpilih. Janji kepada sponsor kampanye, donor, dan cukong politik menjadi bayang-bayang yang mengiringi awal masa jabatan. Dalam skema pemilihan oleh DPRD, kata Eddy, beban itu diharapkan berkurang.

 “Kita bisa mendapatkan kepala daerah yang kemudian tidak perlu memiliki beban dari sejak awal dia memerintah, apakah itu beban keuangan, beban janji kepada sponsor, donor, dan lain-lain," imbuhnya.

Eddy bahkan menarik argumen ideologis: mekanisme perwakilan melalui DPRD disebutnya sejalan dengan sila keempat Pancasila—musyawarah untuk mufakat. Dalam bingkai itu, pilkada tak langsung bukan pengkhianatan demokrasi, melainkan upaya memperbaiki kualitasnya.

Narasi serupa digaungkan Partai Kebangkitan Bangsa. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar secara terang menyebut pilkada langsung tidak produktif. Di hadapan kader PKB Jawa Timur, Cak Imin menilai sistem pemilihan kepala daerah selama ini tidak efektif dan perlu dievaluasi sebagai bagian dari pembenahan demokrasi.

“Ya Alhamdulillah semua partai menyadari banyak sistem pemilihan umum, dalam paket-paket pemilihan umum yang tidak produktif, pilkada langsung tidak produktif,” tegasnya. 

Dukungan itu semakin nyata ketika Partai Gerindra secara terbuka menyatakan kehendaknya. Ketua Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) DPP Partai Gerindra Prasetyo Hadi menyatakan terbuka terhadap berbagai aspirasi dan pandangan terkait wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah, termasuk gagasan mengembalikan mekanisme Pilkada melalui DPRD.

Wacana tersebut dinilai perlu dikaji dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan sistem demokrasi yang selama ini berjalan.

Apalagi, Gerindra, kata Prasetyo, telah melakukan kajian internal dan menemukan banyak sisi negatif dari pilkada langsung, terutama soal ongkos politik yang sangat besar. Bukan hanya bagi kandidat, tetapi juga bagi negara.

“Ongkos politik untuk menjadi bupati, wali kota, maupun gubernur itu sangat besar,” ujarnya.

Di sisi lain, Prasetyo sebagai pengurus partai memberi sinyal jelas wacana ini bukan sekadar diskursus akademik, melainkan rencana politik yang sudah lama disiapkan. Apalagi, dia menyebut pembahasan revisi UU Pilkada sudah berlangsung sejak era pemerintahan sebelumnya.

“Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo juga sudah banyak kita bahas mengenai kemungkinan revisi undang-undang pemilihan,” kata Prasetyo.

Dengan PAN, PKB, Golkar, dan Gerindra berada di jalur yang relatif searah, peta politik soal pilkada tampak mulai mengeras. Pertanyaannya: siapa yang menahan laju?

PDIP Tolak Kepala Daerah Dipilih DPRD

PDI Perjuangan menolak usul tersebut dengan nada waspada. Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyebut wacana mengembalikan pilkada ke DPRD sebagai langkah gegabah. Demokrasi Indonesia, katanya, sudah berjalan maju. Menariknya kembali justru berisiko merusak proses pendewasaan politik yang telah dibangun sejak Reformasi. 

“Hati-hati. Kita sudah begitu maju, begitu maju. Tiba-tiba ditarik mundur lagi ke belakang, atret,” tegas Said.

Bagi Said, pilkada langsung bukan sekadar prosedur, melainkan bagian dari demokrasi substantif. Dia mempertanyakan logika bahwa pilkada lewat DPRD otomatis lebih murah dan bersih. Menurutnya, ongkos tinggi bukan monopoli pemilihan langsung. 

“Saya minta hati-hati, kaji secara mendalam. Plus minusnya. Jangan ada istilah bahwa kalau demokrasi yang sudah kita jalankan dalam pilkada langsung itu high cost. Apakah lewat DPRD juga tidak high cost pertanyaannya? Jangan-jangan lewat DPRD sama saja,” jelasnya.

Said menegaskan akar masalah demokrasi Indonesia bukan terletak pada sistem pemilihan, melainkan pada kualitas pendidikan politik yang dijalankan partai. Politik uang, kata dia, tidak akan hilang hanya dengan memindahkan arena kontestasi dari publik ke parlemen.

Namun di balik pernyataan keras itu, para pengamat melihat posisi PDIP tidak sepenuhnya kokoh. Sebagai partai besar di luar kabinet pemerintahan Prabowo, PDIP dinilai berada dalam posisi ambigu—antara menjaga jarak kritis dan tetap berada dalam orbit kekuasaan.

Partai Besar Untung, Partai Kecil Buntung 

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki, melihat wacana pilkada lewat DPRD bukan sekadar soal efektivitas demokrasi, melainkan penataan ulang peta kekuasaan.

“Ini menguntungkan partai besar yang memiliki kursi dan jaringan fraksi kuat,” ujarnya.

Dalam pilkada langsung, partai kecil masih memiliki ruang lewat figur populer atau koalisi cair. Tetapi jika pemilihan dipindahkan ke DPRD, ruang itu menyempit drastis. Kompetisi berpindah dari arena publik ke ruang tertutup parlemen, tempat lobi, barter politik, dan kesepakatan elite menjadi penentu. 

Menurut Arifki, konfigurasi ini berpotensi melahirkan politik yang makin elitis. Penentuan kepala daerah selesai di tingkat pimpinan pusat partai, dengan skema tukar-menukar daerah sebagai bagian dari konsensus nasional. Dalam situasi seperti itu, partai kecil, calon independen, dan figur non-elite akan menjadi korban pertama.

Situasi ini juga menekan PDIP dan Demokrat. Tanpa poros baru, keduanya berisiko berhadapan dengan blok besar yang sudah lebih dulu mengunci arah pembahasan RUU Pemilu 2026. Namun hingga kini, resistensi PDIP dan Demokrat dinilai masih “angin-anginan”.

Di tengah tarik-menarik elite itu, kritik keras juga datang dari Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti yang secara terbuka menolak argumen penolakan pilkada langsung yang selama ini digaungkan.

Menurut Ray, setidaknya ada lima alasan yang sering dipakai untuk menolak pilkada langsung: politik uang, biaya mahal, konflik sosial, ketidaksinkronan pusat-daerah, dan ketergantungan pada popularitas. Namun, semua alasan itu ia bantah satu per satu.

Soal politik uang, Ray menilai masalahnya bukan pada sistem pemilihan, melainkan budaya politik. Jika politik uang terjadi di pilpres, pileg, dan pilkada, mengapa hanya pilkada yang ingin diubah?

“Kalau politik uang marak di semua pemilihan, maka masalahnya bukan lagi pada sistem tapi sudah pada budaya politik Indonesia,” tegasnya.

Ray bahkan mengutip data Bawaslu bahwa dari ratusan pilkada, hanya sekitar 130 laporan dugaan politik uang yang masuk, dan hanya segelintir yang berujung pidana atau diskualifikasi. Data itu, menurutnya, tidak sebanding dengan narasi bahwa politik uang begitu merajalela.

Lebih jauh, Ray menuding partai politik abai menjalankan kewajibannya. Parpol, katanya, justru sering menjadikan pilkada sebagai objek penarikan dana dari kandidat. Alih-alih menegakkan zero tolerance terhadap politik uang, partai malah menjadi tempat berlindung bagi pelakunya.

Dalam pandangan Ray, mengubah sistem pilkada bukan solusi, melainkan pengalihan tanggung jawab. Yang dirampas justru hak politik rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri.

“Pilkada adalah petanda akhir dari reformasi. Jika ini dirampas, itu petanda bahwa reformasi habis,” ujarnya.

Di titik inilah pertanyaan besar mengemuka: apakah wacana pilkada oleh DPRD benar-benar ditujukan untuk memperbaiki demokrasi, atau justru untuk menertibkan demokrasi agar lebih mudah dikendalikan.  

Bagi elite partai, pilkada langsung memang mahal, bising, dan penuh ketidakpastian. Bagi rakyat, pilkada langsung adalah satu dari sedikit ruang di mana suara mereka benar-benar menentukan. Memindahkan keputusan itu ke DPRD berarti mengubah relasi kekuasaan—dari kedaulatan rakyat ke kedaulatan elite.

Riuh pilkada oleh DPRD hari ini bukan sekadar perdebatan teknis. Dia adalah cermin kegelisahan elite menghadapi demokrasi yang terlalu bebas, terlalu mahal, dan terlalu sulit diprediksi. Di hadapan riuh itu, publik dihadapkan pada pilihan menerima demokrasi yang lebih rapi namun tertutup, atau mempertahankan demokrasi yang berisik tetapi memberi ruang pada suara rakyat. 

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pilkada langsung sempurna—jelas tidak. Pertanyaannya: apakah kita siap menukar hak memilih dengan janji efisiensi yang belum tentu bersih?


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Polda Kepri Usulkan Direktorat PPA/PPO, 82 Kasus TPPO Terungkap Sepanjang 2025
• 20 jam lalupantau.com
thumb
Saat Semua Heboh Lihat Purbaya Taruh Dana Rp200 T di Bank
• 20 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Polda Metro Tangani 4.271 Kasus Kejahatan Siber, Scam Online Paling Marak
• 1 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Piala Afrika 2025: Senegal Lolos ke 16 Besar
• 12 jam lalumetrotvnews.com
thumb
10 Ide Caption Pergantian Tahun 2026: Refleksi, Harapan Baru dan Motivasi
• 11 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.