Bangsa Indonesia mengawali tahun 2026 dengan menyisakan duka akibat bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan daerah lainnya. Musibah berat ini tentu tidak dikehendaki dan mesti kita hadapi bersama.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau agar dalam menghadapi tahun baru tidak ada pesta pora dan euforia kembang api dari saudara sebangsa di negeri tercinta, sebagai wujud empati terhadap derita sesama.
“Mari awali kehadiran tahun 2026 dengan semangat baru untuk lebih tangguh dan makin bersatu menghadapi musibah dan menjalani kehidupan. Seraya merajut hidup ke depan menjadi lebih baik, lebih produktif, dan lebih bermakna untuk diri sendiri maupun relasi sesama,” tutur Haedar pada Rabu (31/12) dalam Refleksi Akhir Tahun “Bangkit Bersama untuk Indonesia”.
Kepada seluruh warga dan elite bangsa, Haedar mengajak untuk semakin memperkuat jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan yang luhur berbasis hikmah kebijaksanaan dalam menghadapi setiap musibah dan dinamika kehidupan.
“Mari lakukan refleksi spiritual, intelektual, dan sosial dalam kehidupan kebangsaan agar perjalanan ke depan semakin terarah di jalan yang benar dan lebih tercerahkan,” ajak Haedar.
Lebih khusus, ia mengajak untuk merenungkan kembali sekaligus merawat nilai-nilai ketuhanan (hablum minallah) yang diajarkan oleh seluruh agama di negeri tercinta, sebagaimana nilai substansial bernegara yang terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi dasar Negara Republik Indonesia.
Di tengah bencana, lanjut Haedar, spirit bangkit mesti dibangun oleh seluruh pihak. Bukan dengan menebar keriuhan, kekalutan, dan suasana pesimis. Bangsa ini harus tangguh dan bangkit menghadapi bencana maupun tantangan kehidupan lain, seberat apa pun.
“Kami menaruh hormat kepada saudara-saudara korban terdampak bencana yang masih terus berjuang mengatasi kesulitan dengan kesabaran dan semangat kebersamaan yang tinggi,” tutur Haedar.
Haedar juga mengatakan, pascabencana terbuka peluang untuk mengkaji kondisi ekosistem Indonesia secara menyeluruh. Kajian hendaknya dilakukan secara objektif dengan pendekatan multidisipliner dan multiperspektif, didukung riset lapangan yang andal agar hasilnya mendekati kebenaran yang substansial dan menyeluruh.
“Bersama dengan itu, mari menata Indonesia di bidang politik, sosial, ekonomi, tata ruang, lingkungan, dan seluruh aspek secara benar dan tersistem menuju Indonesia yang lebih baik dan berkemajuan,” tegas Haedar.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini dan ke depan menuntut kohesivitas hidup bersama, baik dalam menghadapi bencana maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar Persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika mesti menjadi patokan hidup bersama dalam menghadapi situasi sesulit apa pun.
“Jadikan keduanya sebagai nilai yang hidup (living value) dan teraktualisasi dalam kehidupan bersama,” jelas Haedar.
Bangun kebersamaan yang tulus dan otentik. Jauhi centang perenang, saling hujat, saling tuding, saling membodohkan, serta tumpahan amarah yang menjadikan kehidupan berbangsa laksana bara dan berpotensi membawa bencana baru.
“Jaga kerukunan dan kehormatan antarkomponen bangsa yang menjadi penopang kuat keindonesiaan,” imbuh Haedar.
Haedar juga menegaskan agar media sosial tidak menjadi wahana perseteruan yang mengoyak persatuan dan kebersamaan. Harganya terlalu mahal jika bangsa ini pecah karena warganya tidak mampu menahan diri dalam bermedia sosial.
“Alangkah ruginya hidup ini jika manusia menjadi korban kebebasan media sosial yang liar, padahal seluruh warga bangsa sejatinya saling memerlukan untuk hidup bersama dalam harmoni dan keadaban tinggi,” tegas Haedar.
Dalam situasi kritis, ketika sebagian orang mudah marah di tengah hegemoni media sosial yang memproduksi berita sensitif, terbuka potensi konflik di tubuh bangsa. Sementara itu, berbagai pandangan keras saling berbenturan di tengah minimnya informasi yang sahih.
Jika kondisi ini tidak terkelola dengan baik, akan lahir anarki sosial dan kegaduhan struktural dalam berbagai bentuk yang tentu tidak diinginkan bersama.
“Di sinilah pentingnya kedewasaan dan kearifan seluruh pihak di tubuh bangsa ini,” jelas Haedar.
Ia juga mengatakan bahwa di tengah konstelasi global yang semakin kompleks, Indonesia ke depan dituntut makin waspada dan seksama dalam menghadapi berbagai aspek kehidupan.
Masalah politik, ekonomi, sosial budaya, keagamaan, ekosistem, perubahan iklim, dan problematika lainnya yang kompleks menuntut transformasi kehidupan yang bermakna (transformation with meaning), agar Indonesia mampu melangsungkan kehidupan dan memproyeksikan masa depan ke arah yang semakin pasti dan benar.
Kehidupan demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralitas kebangsaan yang kian bebas menuntut rujukan konstitusional serta penguatan nilai yang kokoh bersendikan Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa.
“Rakyat dan tanah air Indonesia yang diperjuangkan kemerdekaannya pada 1945 dengan darah dan pengorbanan para pejuang dan pendiri bangsa semakin menuntut kepastian jaminan kehidupan dan keberlangsungannya,” jelas Haedar.
“Pastikan Pemerintah Negara Republik Indonesia secara nyata dan konsisten melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,” tambah Haedar.
Seluruh rakyat Indonesia harus semakin terdidik dan dewasa agar mampu menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan lebih baik di tengah persaingan global.
“Mari berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pegangi nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar masa depan Indonesia makin berjaya. Seluruh pihak mesti bergerak bersama dengan wawasan jauh ke depan dalam ikatan Persatuan Indonesia yang kokoh dan otentik menuju Indonesia Raya yang berkemajuan dan berperadaban utama,” pungkas Haedar.


