Tahun Baru, Pesta Kembang Api, dan Kontroversinya

kompas.id
6 jam lalu
Cover Berita

Pesta kembang api menjadi bentuk perayaan tahun baru paling umum di seluruh dunia. Mulai dari Kiribati hingga Samoa Amerika yang sama-sama berada di selatan Samudera Pasifik, seluruh warga Bumi merayakan datangnya tahun baru dengan kembang api. Meski meriah dan jamak dilakukan, pesta kembang api juga menimbulkan banyak kontroversi.

Tahun Baru 1 Januari 2026 tinggal menghitung jam. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kota-kota besar dunia telah bersiap menggelar pesta kembang api paling akbar di ikon-ikon kota mereka. Mulai dari Jembatan Pelabuhan Sydney Australia, Menara Taipei 101 Taiwan, Menara Burj Khalifa Dubai Uni Emirat Arab, Big Ben London Inggris, Times Square New York Amerika Serikat, hingga Pantai Copacabana Rio de Janeiro Brasil.

Perayaan Tahun Baru 2026 di Indonesia kali ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah sejumlah kota telah membatalkan pesta kembang api pada Rabu (31/12/2025) malam hingga Kamis (1/1/2026) dinihari, seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Kebijakan itu diambil sebagai bentuk soladiritas terhadap korban bencana di Sumatera dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Penggunaan kembang api itu dipicu oleh keinginan universal manusia untuk menandai momen-momen penting dalam hidup mereka dengan kemegahan.

Baca JugaMalam Tahun Baru di Jakarta Tanpa Pesta Kembang Api

Meski pemerintah meniadakan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kemungkinan besar tetap ada peluncuran kembang api secara swadaya oleh masyarakat.

Meski ukuran dan intensitasnya tidak akan sebesar kembang api yang digelar pemerintah dan dunia usaha, kembang api yang biasanya terlihat di perkampungan dan perumahan itu menjadi simbol luapan kegembiraan masyarakat.

Tidak jelas siapa yang pertama kali merayakan datangnya tahun baru dengan pesta kembang api. Sejumlah sejarawan, dikutip dari ABC Net, 31 Desember 2024, yakin penggunaan kembang api itu dipicu keinginan universal manusia menandai momen penting hidup mereka dengan kemegahan. Mereka ingin menandai akhir tahun dengan takjub dan kekaguman, serta memulai tahun baru dengan kegembiraan dan hiburan.

Prinsip mengakhiri dan memulai dengan yang baik itu sesuai simbol dan asal nama bulan Januari yang berasal dari nama dewa bangsa Romawi, Janus. Janus adalah dewa yang memiliki dua wajah sama tetapi menghadap depan dan belakang.

Dia dikenal sebagai dewa pengasih, pelindung usaha manusia, serta penjaga gerbang kuil para dewa. Dua wajah Janus juga menjadi lambang peralihan tahun, dari tahun lalu ke tahun yang akan datang.

Meski demikian, kembang api yang digunakan dalam pesta tahun baru ini berakar pada invensi budaya Tiongkok kuno sejak sebelum kalender Masehi digunakan. Kembang api diperkirakan sudah ada sejak Dinasti Han (202 SM-220 M) yang dilakukan dengan melempar batang-batang bambu ke dalam api untuk menghasilkan suara ledakan.

Sumber lain menyebut kembang api bermula dari Dinasti Song (960 M-1279 M) yang ditandai dengan pembuatan petasan menggunakan tabung yang terbuat dari gulungan kertas serta diisi dengan bubuk mesiu dan memiliki sumbu.

Model mercon ini masih digunakan sampai saat ini. Tak hanya itu, mereka juga merangkai petasan-pesatan itu jadi kelompok petasan besar hingga menimbulkan percikan api dan suara petasan terus menerus. Meski tak seperti kembang api pada masa kini, kembang api di masa itu sudah digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari upacara pernikahan, kelahiran, hingga pengusiran roh jahat.

Baca JugaAsal-usul Kembang Api hingga Jadi Menu Utama Perayaan Tahun Baru

Pada abad ke-14, kembang api pun sampai ke Eropa. Selama masa Renaisans Italia (1340-1550), kembang api jadi populer berkat keberadaan ahli-ahli kembang api yang bertanggung jawab pada eksperiman dan pertunjukan kembang api. Bahkan, sekolah piroteknik yang mengajarkan pembuatan kembang api pun didirikan. Di era inilah kembang api dengan berbagai warna mulai dikembangkan.

Dari Eropa, kembang api itu dibawa orang-orang yang bermigrasi ke Amerika Serikat. Para pemukim awal AS itu membawa kecintaan mereka pada kembang api ke Dunia Baru.

KOMPAS
Perayaan tahun baru bukan hanya memberikan kegembiraan sesaat selama liburan dan pesta malam tahun baru, tetapi juga kondisi psikologis yang baru. Tahun baru menjadi garis psikologis pada kehidupan manusia, garis pembatas jiwa, untuk meninggalkan kesedihan dan kepahitan di masa lalu serta menatap masa depan dengan penuh harapan. Tahun baru memberikan keyakinan pada manusia bahwa perubahan positif itu ada dan bisa. Optimisme itu penting, khususnya jika saat ini atau di tahun yang telah berlalu merupakan masa-masa tersulit dalam hidup kita. Tahun baru tak hanya menawarkan kesempatan bagi kita untuk mendefinisikan ulang siapa diri kita sebenarnya, tetapi juga membangun motivasi diri dan memperbaiki orientasi hidup.

Karena itu, kembang api menjadi bagian dari perayaan hari Kemerdekaan AS pertama tahun 1776 dan terus berlanjut hingga kini. Kolonialisme Eropa membuat penyebaran kembang api makin meluas ke seluruh dunia.

Kini, di Indonesia, kembang api skala besar tidak hanya ditemukan pada perayaan tahun baru semata. Konser musik, panggung hiburan, pesta pernikahan atau khitanan, hingga peluncuran produk atau tempat-tempat baru juga sering ditandai dengan pesta kembang api.

Sementara di masyarakat, penggunaan kembang api lebih luas lagi. Ukurannya yang kecil, mudah dinyalakan, dan relatif aman membuat kembang api menjadi kesukaan anak-anak hingga orang dewasa.

Kontroversi

Meski indah dan menarik, kehadiran pesta kembang api tetap menimbulkan kontroversi di masyarakat. Terlebih dalam satu malam perayaan tahun baru, jutaan kembang api dibakar secara bersama-sama di seluruh dunia.

Pesta kembang api dalam perayaan Tahun Baru 2025 di Jembatan Pelabuhan Sydney saja, seperti dikutip dari BBC, 31 Desember 2024, membakar 9 ton kembang api. Di London, sekitar 12.000 kembang api diluncurkan ke langit.

Dalam satu malam perayaan tahun baru, jutaan kembang api dibakar secara bersama-sama di seluruh dunia.

Sementara di AS, hampir 136.000 ton kembang api dibakar setiap tahunnya. Tahun lalu, Eropa mengimpor 30.000 ton kembang api. Impor kembang api Eropa itu turun drastis karena sebelum pandemi Covid-19, impor mereka mencapai 110.000 ton per tahun.

Meski ekonomi banyak negara belum pulih sepenuhnya dari pandemi dan perang, industri kembang api tetap berkembang pesat. Nilai pasar industri kembang api global pada 2024 mencapai 2,69 miliar dollar AS atau Rp 44,9 triliun dan akan naik 3,65 miliar dollar AS atau Rp 60,9 triliun pada 2032.

Baca JugaPolusi Udara dan Suara Selama Kehamilan Picu Masalah Kesehatan Mental

Kembang api tidak hanya memercikkan api dan memicu suara ledakan di udara, tetapi juga melontarkan asap dan debu yang berpotensi merusak paru-paru orang-orang di sekitarnya serta membahayakan planet.

Studi Mohamed Khedr dan rekan di jurnal Atmospheric Pollution Research, Maret 2022 menemukan setiap selesai pesta kembang api besar diselenggarakan, kualitas udara langsung menurun drastis.

Selama ini perhatian terhadap dampak dari bahaya kembang api senantiasa terfokus pada cedera dan luka bakar akibat ledakan dari kecelakaan kembang api dan penyalahgunaan penggunaan kembang api. Dari tahun ke tahun, jumlahnya korban terus meningkat.

Data Komisi Keselamatan Produk Konsumen AS (CPSC) pada 2024 menunjukkan ada 11 kematian dan 14.700 orang terluka akibat kembang api. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah kematian akibat kembang api itu naik 52 persen dan korban luka naik 38 persen.

Selain masalah tersebut, pesta kembang api sejatinya juga menghasilkan asap dan aneka polutan dalam jumlah besar yang secara tak kasat mata dan memengaruhi kualitas udara. Pelepasan aneka polutan akibat kembang api itu tidak hanya terjadi saat tahun baru, tetapi juga perayaan lain yang diselenggarakan di banyak negara.

Polutan kimiawi yang dilepaskan kembang api itu antara laian berupa sulfur dioksida, karbon dioksida, dan karbon moksida. Ada juga polutan logam berat yang digunakan untuk memberi warna cerah pada kembang api, seperti tembaga, kalium, barium, kromium, vanadium, dan strontium.

Sekitar 80 persen partikel yang dikeluarkan kembang api itu dapat terhirup alias bisa mencapai paru-paru manusia.

Selain itu, ada polutan debu halus yang masuk dalam kalompok Particulate Matter 2.5 atau PM2.5, yaitu debu dengan diameter kurang dari 2,5 mikrometer atau satu rambut manusia dibagi 100.

Studi di Jerman selama 11 tahun menemukan peningkatan drastis konsentrasi partikel di udara selama perayaan tahun baru. Sekitar 80 persen partikel yang dikeluarkan kembang api itu dapat terhirup alias bisa mencapai paru-paru manusia.

Keberadaan jelaga halus di paru-paru itu telah dikaitkan dengan munculnya berbagai masalah kesehatan, seperti asma, penyakit jantung, hingga bayi lahir dengan berat badan rendah.

Paparan berbagai polutan udara akibat kembang api itu juga meningkatkan risiko batuk kronis, dahak, dan sesak napas sehingga membuat penderitanya rentan terkena kanker paru atau penyakit pernapasan lain.

Baca JugaPaparan Polusi Udara Jangka Panjang Tingkatkan Risiko Demensia

Meski demikian, profesor ilmu lingkungan dari Universitas East Anglia, Inggris yang tinggal di Waikiki, Hawaii, AS, Peter Brimblecombe mengatakan keterkaitan kembang api dan dampak kesehatan jangka panjangnya tak selalu ada. Meski teknisi kembang api berpeluang terpapar masalah kesehatan jangka panjang, efek pada penonton kembang api umumnya bersifat jangka pendek.

KOMPAS
Sahabat Kompas, Jelang pergantian malam tahun baru nanti, sudah berencana kumpul bersama keluarga dan teman? Satu kebiasaan masyarakat Indonesia tentu adalah berkumpul di rumah sambil bebakaran atau barbekuan.
Lingkungan

Di luar persoalan kesehatan, kembang api dapat memicu kebakaran hutan yang menyebabkan polusi udara jauh lebih lama dan meluas. Dari riset selama 37 tahun sejak tahun 1980 di AS menemukan 11.294 kebakaran hutan dari hampir 600.000 kasus kebakaran yang terjadi di lahan pemerintah federal selama periode tersebut dipicu oleh kembang api.

Kondisi ini sempat membuat pemerintah negara bagian melarang penyalaan kembang api, khususnya saat cuaca panas datang. Walau demikian, aturan itu sempat dicabut sementara untuk menyambut perayaan tahun baru.

Kebakaran hutan juga dapat mengirimkan polusi ke atmosfer yang lebih tinggi hingga menyebabkan polusi menyebar sampai ribuan kilometer. Selama proses penyebaran itu, tingkat racun polutan bisa meningkat.

Repotnya lagi sebagian polutan kembang api itu bisa bertahan lama di udara, jauh lebih lama dari munculnya bunyi ledakan kembang api yang memukau dan asap kembang api hilang.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa polutan itu, terutama perklorat, senyawa yang digunakan sebagai bahan pendorong kembang api, tertinggal di sumber-sumber air minum, baik danau, sungai, atau aliran air lainnya. Tingginya kontaminasi perklorat di air bisa mengganggu fungsi tiroid manusia.

Bukan hanya manusia saja yang terdampak dari polutan kembang api, satwa liar pun tertekan.

Bukan hanya manusia yang terdampak dari polutan kembang api, satwa liar pun tertekan. Kembang api membuat anjing ketakutan. Kembang api juga mengganggu waktu tidur burung-burung dan memaksa mereka mengungsi hingga ratusan kilometer ke daerah yang lebih terpencil.

Pesta kembang api pada perayaan Tahun Baru 2021 di Roma Italia memicu tewasnya ratusan burung jalak. Sementara di AS, kembang api memicu tewasnya lebih dari 5.000 burung jalak di salah satu kota kecil di Arkansas AS pada 2011.

Kematian burung itu terjadi karena pesta kembang api pada malam hari telah memaksa burung keluar dari sarangnya pada malam hari hingga akhirnya menabrak pohon dan rumah.

Baca JugaKembang Api yang Layu di Tahun Baru

Berbagai dampak negatif itu membuat sejumlah ilmuwan mendorong penggunaan kembang api ramah lingkungan dengan bahan bakar nitrogen. Kembang api ini menghasilkan sedikit asap dan pembakaran yang dihasilkan lebih bersih.

Peggantian logam berat berbahaya juga didorong tanpa mengurangi warna cerah pada percikan kembang api. Namun meski berbagai inovasi kembang api yang lebih berkelanjutan itu muncul, suara ledakan kembang apinya tetap keras.

Untuk mengganti kembang api, pertunjukan laser dan pesawat nirawak atau drone bisa menjadi pertunjukan alternatif menyambut tahun baru. Perangkat pada kedua pertunjukan itu juga bisa digunakan lagi serta tak menghasilkan emisi selain listrik yang dibutuhkan untuk mengoperasikan perangkat tersebut. Namun, drone juga memiliki kekurangan, seperti terlalu lambat dan juga bisa mengganggu satwa liar.

Dengan berbagai risiko yang ada, masyarakat dan pemerintah seharusnya bisa menilai secara adil, apakah penggunaan kembang api secara masif selama ini, khususnya dalam perayaan tahun baru atau upacara lainnya, sebanding dengan risiko yang ditimbulkan.

Boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru dengan hal-hal meriah dan menyenangkan, tetapi dampak jangka panjangnya seharusnya juga dipertimbangkan.

Selamat Tahun Baru 2026. Semoga Indonesia menjadi lebih baik lagi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BMKG Prediksi Hujan Guyur Jakarta dan Sejumlah Kota di Malam Tahun Baru
• 12 jam lalukatadata.co.id
thumb
Terseret Dugaan Korupsi, Mantan Kajari Bekasi Diproses Jamwas Kejagung
• 7 jam laluokezone.com
thumb
Daftar Penampil Pesta Malam Tahun Baru 2026 di Bundaran HI Jakarta
• 15 jam lalukompas.tv
thumb
Polisi Mulai Tutup Akses Jalan dari Cianjur Menuju Puncak
• 6 jam lalukumparan.com
thumb
Catat Jadwalnya! KRL, MRT, dan LRT Perpanjang Jam Operasional saat Malam Tahun Baru 2026
• 21 jam lalumerahputih.com
Berhasil disimpan.