SERIKAT buruh di Jawa Barat (Jabar) menolak Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.863-Kesra/2026 tentang penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026. Penolakan ini dipicu karena sejumlah rekomendasi upah yang diajukan pemerintah daerah tidak ditetapkan oleh Pemprov Jabar.
Gubernur Dedi Mulyadi memang telah menetapkan besaran UMSK 2026. Namun, kebijakan tersebut hanya berlaku untuk 12 daerah di antaranya Kota dan Kabupaten Bekasi, Karawang, Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Cimahi, Bandung Barat, Subang, Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kota Tasikmalaya. Padahal, sebelumnya tercatat 19 kabupaten/kota di Jabar telah mengajukan rekomendasi UMSK. Sayangnya, tujuh daerah yakni Kabupaten Sukabumi, Kota Bogor, Cianjur, Purwakarta, Garut, Majalengka, dan Sumedang justru tidak ditetapkan besaran UMSK-nya dalam Kepgub tersebut.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto, menegaskan, buruh sejatinya mengapresiasi langkah gubernur dalam menetapkan kebijakan upah minimum secara tepat waktu. Hal itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rekomendasi resmi para bupati serta wali kota.
“Kami sangat menghargai langkah gubernur yang telah menetapkan UMK 2026 tidak keluar dari rekomendasi resmi dari para bupati dan wali kota. Namun apresiasi tersebut luntur untuk kebijakan UMSK 2026. Terjadi penghilangan dan pengurangan rekomendasi yang telah disepakati di tingkat daerah dalam proses penetapan UMSK di tingkat provinsi,” bebernya.
Menurut Roy, langkah baik gubernur tersebut tidak berlaku untuk penetapan UMSK 2026. Secara faktual, banyak rekomendasi UMSK hasil perundingan tripartit di kabupaten/kota justru dihilangkan dan dikurangi sejak pembahasan di Dewan Pengupahan Provinsi Jabar, sebelum disahkan dalam SK Gubernur. Rekomendasi UMSK dari daerah telah melalui pembahasan sah dan komprehensif dengan mempertimbangkan karakteristik sektor usaha serta risiko kerja.
"Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota telah melakukan pembahasan secara saksama dengan mempertimbangkan PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan dan PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Risiko Kerja,” terangnya.
Sebab itu, Roy memandang kewenangan Dewan Pengupahan Provinsi semestinya terbatas pada verifikasi administratif, bukan merombak substansi rekomendasi daerah yang sah secara hukum. Penghilangan rekomendasi ini berdampak serius pada pelemahan instrumen perlindungan upah sektoral dan mencederai mekanisme dialog sosial tripartit.
"Penolakan ini bukan semata soal besaran upah, melainkan soal kepatuhan terhadap hukum dan penghormatan terhadap kewenangan daerah. Jika UMK dapat ditetapkan sesuai rekomendasi kabupaten/kota, maka UMSK juga harus diperlakukan dengan prinsip hukum dan keadilan yang sama,” tuturnya.
Atas kondisi ini, lanjut Roy, serikat buruh mendesak Gubernur Jabar segera merevisi Kepgub UMSK 2026 agar sesuai dengan nilai dan jumlah sektor yang direkomendasikan daerah. “Untuk memastikan revisi SK UMSK 2026 dan sebagai bentuk keseriusan perjuangan konstitusional, buruh Jawa Barat akan menggelar aksi lanjutan pada 29 sampai 30 Desember 2025,” ucapnya.
Menanggapi kritik tersebut, Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa Pemprov Jabar tidak serta-merta mengabaikan aspirasi buruh. Ia menyebut seluruh kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan mekanisme dan usulan resmi dari pemerintah kabupaten/kota. Khusus untuk Kabupaten Purwakarta, pihaknya telah menetapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2026. Namun, UMSK tidak ditetapkan karena tidak adanya usulan resmi dari pemerintah daerah setempat.
“Pemprov Jabar telah menerima surat resmi dari Bupati Purwakarta, namun surat tersebut tidak memuat angka nominal UMSK yang diusulkan. Saya lampirkan surat yang disampaikan bupatinya, tidak dicantumkan angka-angka rupiah usulan dari UMSK-nya, terus apa yang harus kami tetapkan?" tanyanya.
Gubernur membandingkan kondisi tersebut dengan Kabupaten Karawang yang secara administratif mengajukan usulan UMSK lengkap dengan besaran angka yang diminta. UMSK Karawang kemudian ditetapkan sebesar Rp5.910.371. Persoalan ini harus menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan proses pengusulan upah minimum, khususnya UMSK, dilakukan dengan lebih tertib dan sesuai aturan. (M-2)


