Bukan Rumit, Perempuan Hanya Terlalu Lama Tidak Dipahami

kumparan.com
10 jam lalu
Cover Berita

Perempuan sering kali kalah bahkan sebelum suaranya didengar. Bukan karena argumennya lemah, melainkan karena perasaannya terlebih dahulu dihakimi. Ketika seorang perempuan berbicara dengan nada emosional, ia dicap berlebihan. Ketika ia diam, ia dianggap tidak rasional. Di antara dua ekstrem itu, perempuan nyaris tak pernah diberi ruang untuk dimengerti hanya dinilai.

Kesalahpahaman ini bukan hal baru. Ia diwariskan lintas generasi, dipelihara oleh budaya, dan diperkuat oleh bahasa sehari-hari. Perasaan perempuan terlalu sering dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai bagian sah dari cara manusia memahami dunia. Seolah-olah emosi adalah cacat nalar, bukan sumber empati.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita akrab dengan kalimat seperti “kamu terlalu baper” , “jangan pakai perasaan” atau “logis dong.” Anehnya, kalimat-kalimat itu hampir selalu ditujukan pada perempuan. Padahal, perasaan bukan lawan dari logika. Ia adalah cara lain untuk membaca realitas cara yang lebih peka, lebih manusiawi.

Sejarah panjang patriarki telah membentuk standar berpikir yang mengagungkan rasionalitas kering dan menyingkirkan emosi sebagai sesuatu yang lemah. Dalam standar ini, perempuan diposisikan sebagai makhluk perasa yang dianggap kurang objektif, sementara laki-laki dilabeli rasional dan layak memimpin. Dikotomi ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga keliru.

Faktanya, banyak keputusan besar dari kebijakan publik hingga kepemimpinan gagal justru karena abainya perasaan. Ketika empati tidak hadir, kebijakan menjadi dingin. Ketika rasa tidak dipertimbangkan, manusia direduksi menjadi angka. Ironisnya, nilai-nilai empati dan kepedulian yang sering dilekatkan pada perempuan justru paling dibutuhkan dalam dunia yang kian terfragmentasi.

Dalam relasi personal, kesalahpahaman terhadap perasaan perempuan juga berulang. Ketika perempuan mencintai dengan sepenuh hati, ia dianggap menuntut. Ketika ia mengekspresikan luka, ia dicap drama. Padahal, yang sering terjadi bukanlah cinta yang berlebihan, melainkan komunikasi yang tidak setara. Perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan standar ekspresi yang bukan miliknya.

Media turut berperan dalam melanggengkan narasi ini. Perempuan emosional dijadikan bahan sensasi, sementara kemarahan laki-laki kerap dimaklumi sebagai ketegasan. Tangisan perempuan dianggap kelemahan, tetapi amarah laki-laki disebut wibawa. Bahasa media tidak netral, ia membentuk cara publik memahami siapa yang pantas didengar.

Kesalahpahaman ini menjadi semakin berbahaya ketika perempuan mulai meragukan perasaannya sendiri. Banyak perempuan tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus “mengecilkan diri” agar diterima menahan tangis, meredam amarah, menyensor kata. Mereka belajar sejak dini bahwa menjadi perempuan berarti harus selalu menjelaskan diri, bahkan membenarkan apa yang dirasakan.

Padahal, perasaan adalah bentuk pengetahuan. Ia memberi sinyal tentang ketidakadilan, ketidaknyamanan, dan kebutuhan yang terabaikan. Mengabaikan perasaan perempuan sama saja dengan menutup mata terhadap realitas yang dialami setengah populasi dunia.

Sudah waktunya kita berhenti mengulang kesalahpahaman yang sama. Bukan dengan menuntut perempuan agar lebih “logis” menurut definisi sempit, tetapi dengan memperluas pemahaman kita tentang logika itu sendiri. Logika yang tidak memuat empati hanyalah kalkulasi kosong.

Menghargai perasaan perempuan bukan berarti mengagungkan emosi tanpa batas, melainkan mengakui bahwa emosi dan nalar dapat berjalan beriringan. Bahwa keberanian untuk merasa adalah bagian dari keberanian untuk berpikir.

Ketika perempuan berbicara dari perasaannya, ia tidak sedang meminta simpati berlebihan. Ia sedang menyampaikan pengalaman. Dan pengalaman, betapapun emosionalnya, adalah fakta yang layak didengar.

Jika kesalahpahaman ini terus diulang, yang hilang bukan hanya suara perempuan, tetapi juga kemanusiaan kita bersama. Sebab dunia yang menertawakan perasaan adalah dunia yang pelan-pelan kehilangan nuraninya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bikin Syok! Begini Klarifikasi Yuka Soal Foto Jule Senderan di Mobil dengan Dirinya, Netizen Auto Geram
• 9 jam lalugrid.id
thumb
Cara Magnesium Bantu Menurunkan Berat Badan, Ampuh Mengatur Nafsu Makan
• 22 jam lalugenpi.co
thumb
Fadli Zon Tegaskan Pentingnya Konservasi Gua Mananga Marapu Sebagai Jejak Awal Homo Sapiens di Sumba
• 6 jam lalupantau.com
thumb
15 Ribu Hunian Bagi Korban Bencana Sumatra Ditarget Rampung dalam Tiga Bulan
• 59 menit lalukatadata.co.id
thumb
Buang Sampah di Kantor Wali Kota Tangsel, Ini Tuntutan BEM UMJ: Harus Ada Gebrakan
• 2 jam lalugrid.id
Berhasil disimpan.