ALAM di Sumatera Barat kembali berbicara dengan suara yang keras dan menyakitkan. Namun, suara itu tidak lahir di ruang hampa alamiah; ia berkelindan erat dengan struktur ekonomi politik yang membentuk cara manusia memperlakukan ruang hidupnya.
Banjir bandang, longsor, dan krisis ekologis berulang bukan lagi peristiwa musiman, melainkan konsekuensi logis dari pilihan pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal di atas keselamatan ekologis.
Sungai meluap bukan hanya karena hujan, tetapi karena hulu kehilangan penyangga akibat pembukaan lahan, izin ekstraktif, dan tata ruang yang tunduk pada kepentingan investasi.
Lereng runtuh bukan semata karena curah hujan ekstrem, tetapi karena tanah telah kehilangan haknya untuk tetap utuh setelah dipaksa menanggung beban ekonomi yang melampaui daya dukungnya.
Di tengah tragedi ini, korban terus bertambah, rumah hancur, dan ekonomi rakyat lumpuh—sementara penjelasan resmi kerap berhenti pada istilah teknokratis seperti “cuaca ekstrem”, seolah bencana terlepas dari keputusan politik yang melahirkannya.
Baca juga: Banjir Sumatera: Ketika Data Tidak Menyelamatkan Nyawa
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=banjir sumatera barat, banjir sumatera 2025&post-url=aHR0cHM6Ly9yZWdpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOC8xNTA5MTM1MS9hbGFtLW1pbmFuZ2thYmF1LWRhbi1ndXJ1LXlhbmctbWFyYWg=&q=Alam Minangkabau dan Guru yang Marah§ion=Regional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Ironi terbesar dari bencana ekologis ini adalah lokasinya: Minangkabau—tanah yang mewariskan falsafah luhur "Alam Takambang Jadi Guru".
Pandangan hidup yang menempatkan alam sebagai sumber pengetahuan, penuntun moral, dan penentu batas bagi aktivitas manusia.
Namun hari ini, guru itu tampak marah. Bukan karena dilawan secara terbuka, melainkan karena disingkirkan secara sistematis dari meja perencanaan pembangunan.
Falsafah yang seharusnya menjadi fondasi kebijakan publik dikalahkan oleh logika ekonomi politik ekstraktif—logika yang memuja investasi, memprivatisasi keuntungan, dan mensosialisasikan risiko ekologis kepada masyarakat.
Di titik inilah kemarahan alam menemukan maknanya sebagai kritik paling jujur atas negara dan elite lokal yang gagal belajar dari guru yang mereka banggakan sendiri.
Alam Takambang Jadi Guru: Falsafah yang Dikosongkan"Alam Takambang Jadi Guru" bukan sekadar pepatah adat atau ornamen kebudayaan. Ia adalah epistemologi—cara orang Minangkabau membaca dunia.
Alam dipahami sebagai sistem pembelajaran yang mengajarkan keseimbangan, siklus, dan batas. Dalam kerangka ini, manusia bukan penguasa mutlak, melainkan murid yang wajib belajar, menahan diri, dan patuh pada hukum alam.
Namun, dalam praktik pembangunan kontemporer, falsafah ini mengalami pengosongan makna.
Baca juga: Saat Negara Minta Dipahami: Komunikasi Kekuasaan di Tengah Bencana
Ia dipajang dalam festival budaya, dikutip dalam pidato seremonial, tetapi absen dalam dokumen perencanaan ruang, kebijakan perizinan, dan strategi pembangunan daerah.
Alam direduksi menjadi komoditas ekonomi, sementara falsafah lokal direduksi menjadi identitas simbolik. Ketika nilai dipisahkan dari kebijakan, maka yang tersisa hanyalah retorika tanpa keberanian etis.



