VIVA – Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Tiongkok pada 5 Desember 2025 yang semula dirancang sebagai ajang penguatan diplomasi bilateral justru berujung pada meningkatnya ketegangan antara Paris dan Beijing.
Serangkaian insiden—mulai dari bentrokan antar pengawal, gestur spontan Macron terhadap mahasiswa, hingga ancaman tarif dari Eropa—dinilai mempermalukan kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan menyingkap rapuhnya citra kontrol politik Tiongkok di mata dunia.
Insiden paling menonjol terjadi saat Macron mengunjungi Universitas Sichuan. Di luar protokol resmi, Presiden Prancis itu tiba-tiba bergegas mendekati kerumunan mahasiswa, berjabat tangan, memeluk, dan berfoto selfie.
Tindakan tersebut memicu kepanikan aparat keamanan Tiongkok yang langsung berusaha membatasi interaksi, hingga terlibat ketegangan fisik dengan pengawal Prancis. Rekaman insiden itu dengan cepat menyebar luas hingga viral media sosial internasional.
Para pengamat menyoroti momen tersebut kontras tajam antara budaya politik demokratis Barat yang mengakomodasi spontanitas dan sistem pemerintahan Tiongkok yang menekankan kontrol ketat terhadap pemimpin dan ruang publik. Episode ini juga dinilai merusak citra Xi Jinping sebagai sosok pemimpin yang ditempatkan jauh -- tak tersentuh yang ditinggikan di atas rakyat biasa dan hanya tampil melalui narasi resmi negara.
Perilaku Macron ditafsirkan sebagai tantangan yang disengaja terhadap budaya politik Tiongkok, di mana para pemimpin digambarkan sebagai tokoh yang didewakan, yang hanya terlihat melalui media yang dikendalikan negara.
Permintaan maafnya karena tidak mengenakan dasi selama pidatonya adalah isyarat yang halus namun kuat, yang menandakan kerendahan hati dan kemanusiaan, kualitas yang jarang dikaitkan dengan kepemimpinan Tiongkok.
Dalam pidatonya di kampus tersebut, Macron kembali mengejutkan tuan rumah. Ia secara terbuka mengkritik kecenderungan isolasionisme Tiongkok dan pendekatan Beijing terhadap penguasaan teknologi global. Macron menyerukan kerja sama yang lebih terbuka dan memperingatkan bahwa kemandirian teknologi yang ekstrem tidak akan membawa China pada daya saing global yang berkelanjutan.
Pernyataan itu menjadi semakin relevan ketika pendiri Huawei, Ren Zhengfei, beberapa hari kemudian mengakui bahwa industri teknologi Tiongkok masih bergantung pada komponen dan teknologi Amerika Serikat. Namun, analis berbeda pendapat apakah pengakuan tersebut mencerminkan evaluasi jujur atau sekadar strategi komunikasi untuk meredakan tekanan internasional.


