Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan dua alasan sehingga memutuskan menyetop penyidikan pada tahun 2024, yakni kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman.
Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, alasan pertama karena KPK mengalami kendala dalam menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut.
"Penerbitan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red.) oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan terkait Pasal 2 dan 3, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, Minggu.
- ANTARA/Rio Feisal
Pasal 2 dan 3 yang dimaksud Budi adalah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Walaupun demikian, dia belum menjelaskan lebih lanjut mengenai jenis kendala yang dihadapi KPK dalam menghitung kerugian negara kasus tersebut, yakni metode, sumber daya manusia atau hal lainnya.
Alasan kedua, kata dia, KPK tidak dapat menyangkakan Aswad Sulaiman dengan pasal dugaan penerimaan suap, yakni Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor, dikarenakan perkara tersebut sudah kedaluwarsa.
Ia menjelaskan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, dugaan penerimaan suap oleh Aswad Sulaiman yang terjadi selama 2007-2009 sudah kedaluwarsa bila dilakukan penyidikan pada 2024.
Diketahui, berdasarkan Pasal 78 KUHP lama, kewenangan menuntut pidana kasus tersebut kedaluwarsa setelah 12 tahun sejak hari perbuatan dilakukan atau pada tahun 2021. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Budi.
Oleh sebab itu, dia mengatakan KPK memutuskan menerbitkan SP3 dengan mempertimbangkan dua alasan tersebut serta untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait sesuai dengan norma-norma hukum.
"Hal ini juga sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” katanya.
UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dimaksud Budi mengatur tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.




