FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Ary Prasetyo, menyentil terpidana kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis, yang mendapat remisi khusus Natal 2025.
Remisi tersebut diberikan meski perkara yang menjerat Harvey disebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.
Ary mengatakan, kebijakan pengurangan hukuman itu semakin menegaskan betapa nyamannya menjadi koruptor di Indonesia.
“Enak betul jadi koruptor di Indonesia!,” ucap Ary di X @Ary_PrasKe2 (28/12/2025).
Lanjut dia, besarnya kerugian negara yang ditimbulkan Harvey Moeis seolah tidak sebanding dengan keringanan hukuman yang diterima.
Ia menyebut, diskon pidana bagi koruptor kelas kakap masih terus terjadi, bahkan pada kasus yang menyedot perhatian publik.
“Enak betul terpidana korupsi tata niaga komoditas timah Harvey Moeis, dapat pengurangan hukuman,” sesalnya.
Ary juga menyinggung nilai kerugian negara yang fantastis, namun dinilai gagal menjadi penghalang bagi negara untuk tetap memberikan remisi.
“Kerugian negara Rp300 triliun nampaknya tak mampu membendung kemurahan hati untuk memberikan diskon hukuman pada koruptor kelas kakap,” tandasnya.
Diketahui, suami aktris Sandra Dewi itu menerima Remisi Khusus (RK) Natal 2025 berupa pemotongan masa pidana selama satu bulan.
Kebijakan tersebut kembali memicu perdebatan publik mengenai rasa keadilan, khususnya dalam penanganan perkara korupsi besar di Indonesia.
Sebelumnya, Herwin Sudikta, merespons wacana yang pernah dilempar Menkum, Supratman Andi Agtas, yang menyebut bahwa selain pengampunan Presiden, pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa mendapatkan pengampunan melalui skema denda damai.
Herwin mengatakan, wacana tersebut bukan lagi mencerminkan penegakan hukum, melainkan justru membuka ruang transaksi kekuasaan.
Ditegaskan Herwin, jika denda damai dibuka lebar bagi koruptor dan kunci penentuannya berada di ranah kejaksaan, maka hukum kehilangan substansinya.
“Kalau denda damai dibuka lebar untuk koruptor dan kuncinya ada di ranah kuasa kejaksaan, ini bukan lagi penegakan hukum,” ujar Herwin kepada fajar.co.id, Minggu (28/12/2025).
Ia menggambarkan kondisi itu sebagai degradasi sistem hukum yang berubah menjadi mekanisme pembayaran.
“Ini meja kasir. Hukum tidak lagi bertanya salah atau benar, tapi mampu bayar atau tidak,” sesalnya.
Herwin juga menyinggung pendukung setia Presiden ke-7, Jokowi, yang terkesan terlihat kebal hukum. Dia adalah Silfester Matutina.
“Silfester saja bisa terasa sakti, kebal, dan santai tertawa di depan hukum,” ucapnya.
Kata Herwin, jika Silfester saja bisa leluasa, maka koruptor kelas kakap akan semakin diuntungkan.
“Bayangkan koruptor kelas kakap, yang duitnya berlapis-lapis dan pengacaranya satu lantai gedung,” terangnya.
Ia menuturkan, dengan skema tersebut, ancaman penjara tidak lagi menakutkan.
“Mereka tidak perlu takut penjara, cukup nego nominal,” jelasnya.
Lebih jauh, Herwin menyebut bahwa negara hukum perlahan mengalami pergeseran nilai.
“Negara hukum pelan-pelan berubah jadi negara tawar-menawar,” tandasnya.
“Rakyat belajar satu hal, pencuri kecil dipenjara, pencuri besar diundang berdamai,” kuncinya. (Muhsin/fajar)



