Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Tokoh bangsa, rohaniwan Katolik, sekaligus budayawan, Fransiskus Xaverius (FX) Mudji Sutrisno, SJ, meninggal dunia pada Minggu (28/12). Almarhum mengembuskan napas terakhir pada pukul 20.43 WIB di Rumah Sakit Carolus, Jakarta, karena sakit.
Baca juga: Romo Mudji Sutrisno Wafat, Sosok Budayawan yang Menyuarakan Iman lewat Seni
Kepergian sosok kelahiran 12 Agustus 1954 ini meninggalkan duka mendalam bagi dunia literasi, seni, dan pendidikan, khususnya bagi keluarga besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, tempat almarhum mendedikasikan hidupnya sebagai pengajar.
Baca juga : Romo Mudji Sutrisno Wafat, Sosok Budayawan yang Menyuarakan Iman lewat Seni
Baca juga: Aksi Kamisan ke-871 di Seberang Istana
Memilih Kursi DosenNama Mudji Sutrisno sempat menghiasi panggung politik nasional pada awal 2000-an ketika ia terpilih menjadi salah satu dari 11 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, perjalanan kariernya di lembaga negara tersebut tidak berlangsung lama karena prinsip yang ia pegang teguh.
Pada Maret 2003, Mudji Sutrisno bersama sosiolog Imam Prasodjo memutuskan untuk mundur dari KPU. Keputusan besar ini diambil menyusul pemberlakuan UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 yang melarang anggota KPU merangkap jabatan dan mewajibkan mereka bekerja penuh waktu.
Baca juga : Ibunda Raja Thailand, Ratu Sirikit, Tutup Usia
Almarhum memilih untuk melepaskan jabatannya di KPU demi menjaga komitmennya pada dunia pendidikan. Ia memilih tetap mengabdi sebagai staf pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Baginya, panggilan sebagai seorang rohaniwan dan akademisi untuk mendidik mahasiswa jauh lebih mendesak dibandingkan tugas birokrasi politik. Langkah ini hingga kini dikenang sebagai sikap moral untuk menghindari konflik kepentingan serta menjaga independensi sebagai intelektual.
Kiprah di Dunia Kebudayaan dan PendidikanSetelah kembali sepenuhnya ke dunia akademis, almarhum terus aktif menyuarakan pemikiran mengenai estetika, filsafat, dan humanisme. Selain di STF Driyarkara, pemikiran almarhum juga sering mewarnai kuliah umum di berbagai universitas serta menjadi rujukan bagi para pegiat budaya di Indonesia.
Sebagai penulis yang sangat produktif, ia meninggalkan warisan literasi yang luar biasa, mulai dari buku Zen dan Fransiskus (1983) hingga karya terbarunya Estetika: Ditemani Catatan-Catatan Budaya (2022). Tidak hanya melalui tulisan, ia juga dikenal lewat "ziarah visual" melalui berbagai pameran sketsa dan lukisan yang merekam kedalaman spiritualitas dan kritik sosial.
Warisan Sang GuruKepergian Romo Mudji Sutrisno bukan hanya kehilangan bagi umat Katolik, tetapi juga bagi bangsa Indonesia yang merindukan sosok dengan integritas antara ucapan dan perbuatan. Konsistensinya untuk tetap menjadi pendidik hingga akhir hayat menjadi teladan nyata bahwa jabatan publik bukanlah segalanya dibandingkan dedikasi pada ilmu pengetahuan dan moralitas.
Selamat jalan, Romo Mudji. Sang pengajar sejati kini telah beristirahat dalam damai.





