Kediri Bertumbuh: Mengapa Kota Ini Harus Menembus Langit

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Kediri bertumbuh, lalu mengapa sebuah kota perlu menembus langit? Pertanyaan itu kerap terdengar berlebihan. Terlebih untuk kota yang sejak lama dikenal tenang, jauh dari hiruk-pikuk metropolitan. Namun bagi Kediri, langkah menuju udara bukanlah lompatan tiba-tiba, melainkan kelanjutan dari watak lama, yaitu bertahan dengan cara terhubung.

Tidak semua kota lahir dari kemenangan perang atau kemegahan istana. Sebagian justru tumbuh karena kemampuan yang lebih senyap namun menentukan, dengan membuka diri pada arus. Kediri adalah kota jenis itu. Sejak awal, ia tidak membangun peradabannya dengan menutup diri, tetapi dengan membuka jalur; air, darat, dan kini udara.

Sungai Brantas menjadi alasan utama mengapa wilayah ini hidup sejak masa kuno. Ia bukan sekadar aliran air, melainkan arteri peradaban yang menghubungkan pedalaman Jawa Timur dengan pesisir, mengalirkan hasil bumi, manusia, dan gagasan. Di tepi sungai inilah Kediri belajar bahwa bertahan berarti bergerak.

Ketika zaman berganti dan teknologi transportasi berubah, watak Kediri tidak ikut berubah. Kediri tetap memilih menjadi simpul, bukan ujung. Dari bandar sungai, ke jembatan besi, jalan raya, rel kereta, hingga bandara internasional. Semuanya adalah variasi dari ingatan panjang tentang pentingnya keterhubungan.

Kediri Bertumbuh sampai pada titik ini membaca satu benang merah yang kerap luput dibicarakan, bahwa konektivitas sebagai strategi peradaban. Dari Brantas menuju langit Bandara Dhoho, Kediri tidak sedang meloncat ke masa depan, melainkan melanjutkan ingatan panjangnya sebagai kota penghubung.

Sungai Brantas: Infrastruktur Pertama Peradaban Kediri

Jauh sebelum konsep jalan raya dan rel kereta dikenal, Sungai Brantas telah berfungsi sebagai infrastruktur utama Jawa Timur. Dalam berbagai prasasti abad ke-10 samapi 11, termasuk Prasasti Pucangan (Calcutta Stone), wilayah sekitar Kediri disebut sebagai bagian penting dari jaringan kekuasaan Airlangga. Sungai menjadi penghubung administratif, ekonomi, dan simbolik.

Para sejarawan seperti J.G. de Casparis dalam Prasasti Indonesia dan Denys Lombard dalam Nusa jawa: Silang budaya menegaskan bahwa sungai di Asia Tenggara berperan layaknya jalan raya modern. Brantas memungkinkan pengiriman upeti, mobilisasi pasukan, hingga penyebaran kebudayaan. Kediri berada di simpul strategis jalur ini.

Tak heran jika kota-kota tua di sepanjang Brantas (Daha, Jenggala, hingga Majapahit) memiliki pola perkembangan yang serupa; dekat sungai, terbuka pada arus luar. Kediri tumbuh sebagai bandar sungai, tempat persinggahan sekaligus distribusi.

Jejak itu masih terasa hari ini. Orientasi ruang kota lama Kediri selalu menoleh ke Brantas, seolah menegaskan bahwa sungai bukan masa lalu, melainkan fondasi identitas.

Bandar, Pasar, dan Kota Sungai

Sebagai bandar, Kediri tidak hanya memfasilitasi perdagangan barang, tetapi juga pertemuan manusia. Pasar-pasar tumbuh di tepian sungai, menjadi ruang ekonomi sekaligus sosial. Di sinilah identitas kota terbentuk; kosmopolitan dalam skala lokal, terbuka terhadap lalu-lalang orang dan gagasan.

Catatan kolonial Belanda menyebut wilayah Kediri sebagai simpul penting perdagangan hasil bumi (beras, gula, dan tembakau) yang bergerak mengikuti arus Brantas menuju Surabaya. Sungai bekerja sebagai jalur logistik sekaligus penentu ritme kota; kapan panen bergerak, kapan pasar hidup, dan kapan kota berdenyut.

Pada tahun 1869, konektivitas sungai dilengkapi teknologi baru. Dibangunnya jembatan besi Brug over den Brantas te Kediri, yang dikenal sebagai jembatan besi tertua di Jawa, menandai peralihan penting. Jika sebelumnya pergerakan manusia dan barang bergantung pada perahu dan rakit, jembatan ini menghadirkan keterhubungan permanen. Mengikat dua sisi kota dalam satu tarikan baja.

Jembatan tersebut bukan sekadar infrastruktur, melainkan simbol perubahan orientasi kota. Ia mempercepat mobilitas, memperluas pasar, dan memungkinkan ekspansi ruang kota ke seberang sungai. Dari bandar air menuju kota darat, Kediri belajar bahwa terhubung berarti berani menyeberang.

Jalan Raya, Rel Kereta, dan Pergeseran Arah Kota

Memasuki abad ke-19, Kediri menghadapi fase penting, peralihan dari kota sungai menuju kota darat. Pemerintah kolonial Belanda membawa teknologi transportasi baru berupa jalan raya dan rel kereta api. Infrastruktur ini tidak hanya mengubah peta fisik kota, tetapi juga arah orientasi hidup warganya.

Jalan raya menghubungkan Kediri dengan kota-kota lain di Jawa Timur, sementara rel kereta mempercepat arus barang dan manusia. Hasil gula, tembakau, dan produk industri lain tak lagi sepenuhnya bergantung pada sungai. Kota mulai berpikir dalam jarak yang lebih jauh dan waktu yang lebih singkat.

Sejarawan ekonomi Howard Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History mencatat bahwa kota-kota yang berhasil bertahan di Jawa Timur adalah kota yang mampu mengintegrasikan jaringan lama dan baru. Kediri termasuk di antaranya. Sungai Brantas tidak ditinggalkan, melainkan dilengkapi oleh jalur darat sebagai lapisan konektivitas baru.

Pergeseran ini melahirkan struktur sosial yang berbeda; buruh pabrik, pedagang antarkota, dan kelas menengah perkotaan. Mobilitas menciptakan dinamika sosial baru, mempercepat pertumbuhan kota, dan memperluas imajinasinya tentang masa depan.

Bandara Dhoho: Mobilitas sebagai Strategi Masa Depan

Pembangunan Bandara Dhoho menandai lompatan paling mutakhir dalam sejarah konektivitas Kediri. Untuk pertama kalinya, kota ini terhubung langsung dengan jalur udara. Membuka akses nasional bahkan internasional tanpa harus bergantung pada kota lain sebagai perantara.

Bandara ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan pernyataan visi. Ia menempatkan Kediri sebagai kota yang siap menjadi bagian aktif dari jejaring ekonomi, pariwisata, dan mobilitas manusia di Jawa Timur bagian barat dan selatan.

Jika sungai dahulu menghubungkan Kediri dengan pesisir, bandara kini menghubungkannya dengan dunia. Logika yang bekerja tetap sama; memperpendek jarak, mempercepat pertemuan, dan memperluas peluang. Yang berubah hanyalah medium, dari air ke udara.

Bandara Dhoho mempertegas satu hal, bahwa Kediri tidak lagi diposisikan sebagai kota pinggiran, melainkan sebagai simpul baru dalam peta konektivitas regional. Sebuah kota yang sejak lama terbiasa menjadi tempat singgah, kini siap menjadi tujuan.

Konektivitas sebagai Cakrawala Kota

Pada akhirnya, konektivitas adalah cara Kediri membaca dan menata masa depannya. Bukan semata soal transportasi, tetapi tentang bagaimana kota membangun jejaring ekonomi, sosial, dan budaya yang saling terhubung.

Sungai Brantas dan Bandara Dhoho adalah dua titik ekstrem dari satu garis sejarah panjang. Yang satu mewakili ingatan masa lalu, yang lain menandai orientasi ke depan. Di antara keduanya, terdapat jalan raya, rel kereta, pasar, dan kawasan industri yang membentuk tubuh kota.

Dalam dunia yang semakin terhubung, Kediri tidak memulai dari nol. Ia memiliki memori kolektif tentang bagaimana hidup sebagai simpul; tentang menerima arus, mengelola perjumpaan, dan bertumbuh dari keterbukaan.

Kediri bertumbuh bukan karena kebetulan geografis semata, tetapi karena pilihan historis untuk terus terhubung. Di situlah cakrawala kota ini terbentang: sejauh mana ia berani membuka diri tanpa kehilangan pijakan.

Kota sebagai Perjalanan, Bukan Tujuan

Sejarah Kediri mengajarkan bahwa kota bukanlah bangunan yang selesai, melainkan perjalanan yang terus berlangsung. Dari arus Brantas yang tak pernah benar-benar diam hingga lintasan pesawat yang mengiris langit Dhoho, Kediri tumbuh dengan cara bergerak, menyambung satu zaman ke zaman lain.

Konektivitas, dalam pengertian terdalamnya, bukan hanya soal mempercepat jarak, tetapi tentang menjaga keberlanjutan makna. Sungai, jembatan, jalan, rel, dan bandara adalah bahasa-bahasa berbeda untuk satu pesan yang sama, bahwa kota hidup ketika ia mau berjumpa.

Di tengah dunia yang cenderung membangun tembok (ekonomi, identitas, dan kepentingan), Kediri memilih membuka jalur. Ia bertahan bukan karena menolak perubahan, tetapi karena mampu menempatkan perubahan dalam ingatan sejarahnya sendiri.

Maka Kediri bertumbuh bukan sebagai kota yang berlari meninggalkan masa lalu, melainkan kota yang melangkah sambil menoleh. Di situlah kekuatannya, menjadikan perjalanan sebagai identitas, dan keterhubungan sebagai kebijaksanaan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Emas vs Perak, Mana Investasi yang Paling Cuan di Tahun 2026? Ini Pandangan Analis
• 8 jam laluviva.co.id
thumb
Arus Lalin di Tol Cikarang Barat Terpantau Lancar Jelang Libur Nataru
• 19 jam lalutvrinews.com
thumb
Rano Karno: DKI Jakarta Terima Banyak Permintaan Bantuan Bencana
• 17 jam laluidntimes.com
thumb
Tampang Pelaku Pembawa Bendera GAM yang Diciduk Punya Senpi dan Sajam
• 17 jam lalurepublika.co.id
thumb
Dirut Bulog Pastikan Harga Beras Stabil Sesuai HET Menjelang Tahun Baru 2026
• 12 jam lalumatamata.com
Berhasil disimpan.