Bisnis.com, JAKARTA — Kajian terbaru Center of Reform on Economics (CORE) menegaskan pandangan bahwa penetapan bencana banjir dan longsor Sumatra bersifat krusial untuk pemulihan di tiga provinsi terdampak. Penetapan bencana ekologis di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional penting di tengah keterbatasan fiskal daerah maupun pusat.
Pada kajian bertajuk 'Konsekuensi Ekonomi di Balik Duka Sumatera' itu, CORE memprakirakan estimasi biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat mencapai Rp77,4 triliun. Nilai itu belum termasuk pemulihan nonfisik, namun sudah jauh melampaui hitung-hitungan terakhir pemerintah yakni Rp51,8 triliun.
CORE menemukan bahwa, dari hasil analisis terhadap 52 kabupaten/kota di tiga provinsi itu, terdapat kesenjangan struktural yang besar antara kebutuhan rehabilitasi dan kapasitas fiskal daerah.
Dalam hal ini, total pendapatan daerah-daerah terdampak bencana itu yakni Rp73 triliun. Apabila dihitung hanya bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), maka nilainya hanya Rp8,31 triliun atau 10% saja.
Sementara itu, sebesar 90% dari total pendapatan berasal merupakan transfer ke daerah (TKD) yang bersumber dari APBN. Di sisi lain, dalam catatan Bisnis, TKD tahun depan dianggarkan Rp693 triliun atau sudah lebih rendah dari outlook APBN 2025 yakni Rp864,1 triliun.
Oleh sebab itu, CORE menilai anggaran pemulihan fisik yang dibutuhkan Rp77 triliun lebih itu tidak mungkin ditutup melalui pembiayaan mandiri bahkan dengan refocusing maksimal sekalipun.
Baca Juga
- Core Prediksi Biaya Pemulihan Bencana Aceh dan Sumatra Capai Rp77,4 Triliun
- Wakapolri: 1.500 Personel Diturunkan Tangani Pascabencana di Sumatra
- Prabowo Terima Laporan Bos Danantara Soal Pembangunan 15.000 Hunian Tetap Bencana Sumatra
"Rata-rata PAD di 52 kabupaten/kota terdampak hanya Rp159,9 miliar, berbanding dengan kebutuhan pemulihan rata-rata Rp700 miliar per daerah," demikian dikutip dari kajian tersebut, Minggu (28/12/2025).
Ketergantungan fiskal 52 daerah itu kepada transfer pusat juga terlihat dari analisis kapasitas fiskal daerah (KFD). CORE menemukan sebanyak 33 dari 52 daerah atau 63% di antaranya berada di kategori KFD rendah dan sangat rendah.
Di sisi lain, kapasitas APBN atau anggaran pemerintah pusat juga terbatas. Pada 2025 saja, outlook defisit diperkirakan melebar dari UU APBN yakni 2,53% terhadap PDB menjadi kisaran 2,7% sampai 2,8% terhadap PDB.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, defisit APBN per akhir November 2025 sudah Rp560,3 triliun atau 2,35% terhadap PDB. Hal ini terjadi di tengah lemahnya penerimaan pajak, tingginya beban bunga utang serta kebutuhan pembiayaan berbagai program prioritas baru.
Untuk APBN 2026, defisit dirancang sebesar Rp689,1 triliun atau 2,68% terhadap PDB.
Refocusing Anggaran Program PrioritasMenurut kajian tersebut, beberapa anggaran program flagship nasional masih bisa disesuaikan tanpa harus dihentikan sepenuhnya. CORE mengeklaim anggaran MBG yang ditetapkan sekitar Rp335 triliun bisa dikurangi dengan automatic adjusment sebesar 5% atau sekitar Rp17 triliun untuk pemulihan bencana.
Sementara itu, anggaran untuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebesar Rp83 triliun juga bisa disesuaikan dengan kisaran yang sama sehingga menyisihkan Rp4 triliun.
CORE mengeklaim total potensi relokasi anggaran program prioritas itu bisa mencapai Rp20 triliun hingga Rp21 triliun. Itu masih bisa ditambah dengan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) maupun penyesuaian anggaran lintas kementerian/lembaga dengan serapan rendah sekitar Rp10 triliun-Rp15.
Meski demikian, kombinasi dari penyesuaian pos-pos anggaran tersebut dinilai masih belum cukup untuk menutup seluruh kebutuhan pembiayaan rehabilitasi serta rekonstruksi berskala besar.
Oleh sebab itu, status bencana nasional menjadi krusial karena dibutuhkan untuk membuka akses terhadap hibah dan pinjaman lunak internasional. Hal itu berdasarkan preseden bencana tsunami Aceh pada 2004 lalu.
"Status ini membuka akses terhadap hibah dan pinjaman lunak internasional, yang berdasarkan preseden Tsunami Aceh 2004 berpotensi mencapai Rp70-100 triliun, sekaligus memungkinkan dukungan teknis dan institusional yang tidak dapat disediakan melalui APBN semata," demikian bunyi kajian tersebut.
Sudah Sisir AnggaranAdapun pemerintah menyebut telah menyisir APBN 2026 dan menyisihkan sekitar Rp60 triliun untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut dana ini didapatkan dari pemanfaatan alokasi reprioritisasi 2026, serta pemanfaatan anggaran infrastruktur kementerian/lembaga.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memprioritaskan dana anggaran Instruksi Presiden (Inpres) Infrastruktur 2026 untuk Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
"Yang buat bencana kan sudah cukup, kami sudah sisihkan Rp60 triliun," terang Purbaya kepada wartawan saat ditemui di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Rabu (24/12/2025).
Sejauh ini, data Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mencatat bahwa nilai anggaran yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di tiga provinsi tersebut mencapai Rp51,8 triliun. Kebutuhan terbesar yakni untuk Aceh senilai Rp25,41 triliun.
Secara umum, Kemenkeu mencatat telah menyiapkan sejumlah pos anggaran untuk penanggulangan dampak bencana Sumatra. Misalnya, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah menyiapkan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp250 miliar pada 2026. Kemudian, ada cadangan bencana Rp5 triliun yang bisa juga digunakan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Di luar anggaran bencana, pemerintah akan merelaksasi penyaluran transfer ke daerah (TKD) ke pemda di tiga provinsi itu. Anggaran TKD senilai Rp43,8 triliun pada 2026 akan disalurkan dari pusat ke daerah tanpa syarat salur.
Pemda juga diberikan kemudahan dalam restrukturisasi pinjaman daerah ke pusat yang berasal dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) Covid-19, serta percepatan klaim asuransi BMN oleh K/L yang mengasuransikan.
Tidak hanya itu, pemerintah turut menyiapkan pooling fund bencana yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau BPDLH senilai Rp250,4 miliar.




