Menyorot Debranding melalui Lensa Perspective-Taking Model

kumparan.com
14 jam lalu
Cover Berita

Secara umum, debranding dapat didefinisikan sebagai strategi pengurangan visibilitas merek untuk menciptakan kesan netral, inklusif, atau berorientasi nilai. Praktik ini terlihat dalam penyederhanaan logo, penggunaan desain minimalis, atau bahkan penghilangan identitas merek dalam ruang publik. Dalam konteks komunikasi, debranding bukanlah penghilangan pesan, melainkan penggeseran pesan. Merek tidak lagi berkomunikasi dengan mengatakan “inilah kami”, tetapi “inilah nilai dan pengalaman yang kami tawarkan”. Akhirnya, fokus berpindah dari identitas visual menuju relasi simbolik dan interpretatif. Pada titik ini komunikasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan mengandaikan adanya pemahaman tentang bagaimana publik akan menafsirkan absennya simbol merek tersebut.

Dari sisi perusahaan, keputusan debranding salah satunya menunjukkan pergeseran orientasi komunikasi dari tujuan transaksional menuju tujuan relasional. Perspective-taking mendorong perusahaan untuk memahami bahwa kepercayaan dan penguatan positioning tidak selalu dibangun melalui visibilitas merek, tetapi melalui keselarasan nilai dan konsistensi tindakan. Dengan demikian, debranding menjadi cara perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka memahami posisi mereka dalam relasi sosial yang lebih luas, bukan sekadar sebagai entitas ekonomi, tetapi sebagai aktor sosial.

Pergeseran orientasi komunikasi tersebut juga berkaitan dengan upaya perusahaan dalam memperluas nilai dan makna merek, terutama ketika perusahaan tidak lagi bergantung pada satu jenis produk atau layanan. Dalam konteks ini, debranding memungkinkan perusahaan melepaskan asosiasi sempit yang selama ini melekat pada produk tertentu hingga membuka ruang bagi publik untuk memahami merek sebagai platform nilai yang lebih luas. Melalui perspektif perspective-taking, perusahaan menyadari bahwa visibilitas merek yang terlalu terikat pada satu produk justru dapat membatasi penerimaan publik terhadap lini bisnis baru. Dengan mengedepankan keselarasan nilai, konsistensi tindakan, dan narasi yang lebih inklusif, perusahaan memposisikan dirinya bukan hanya sebagai penjual produk spesifik, melainkan sebagai aktor sosial dan ekonomi yang adaptif, relevan, dan mampu menjawab beragam kebutuhan publik dalam konteks yang terus berubah.

Dunkin Donuts secara resmi melakukan debranding pada tahun 2018 dengan menghilangkan kata “Donuts” dan menggunakan nama “Dunkin” saja. Apabila dilihat melalui sorotan komunikasi strategis, keputusan ini bukan sekadar penyederhanaan nama atau logo, melainkan hasil dari pergeseran cara perusahaan memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh publik. Dengan menghilangkan kata “Donuts”, Dunkin melakukan debranding terhadap produk tunggal yang terlalu dominan secara simbolik. Keputusan ini mencerminkan perspective-taking dari sisi perusahaan. Mereka membayangkan bahwa konsumen modern lebih peduli pada kepraktisan, gaya hidup, dan pengalaman, bukan pada kategori produk tertentu. Debranding memungkinkan merek tersebut dipahami sebagai brand gaya hidup sehari-hari, bukan sekadar toko donat.

Facebook melakukan debranding ketika pada tahun 2021 perusahaan induknya mengganti identitas korporat dari Facebook Inc. menjadi Meta Platforms, Inc.. Penekanan yang perlu diperhatikan, debranding ini tidak menghapus produk Facebook, melainkan melepaskan keterikatan identitas perusahaan pada satu produk utama. Dengan kata lain, yang didebranding adalah identitas korporat, bukan seluruh merek produk. Dalam perspektif komunikasi, langkah ini menunjukkan bahwa Facebook menyadari keterbatasan makna ketika nama perusahaan terlalu identik dengan satu platform media sosial. Seiring berkembangnya lini bisnis seperti Instagram, WhatsApp, Oculus/VR, dan teknologi metaverse, identitas “Facebook” menjadi terlalu sempit sekaligus sarat beban reputasi. Debranding dilakukan untuk membuka ruang makna baru yang lebih luas dan fleksibel.

Namun, strategi ini juga mengandung risiko. Jika asumsi perspektif publik keliru, debranding dapat ditafsirkan sebagai kehilangan identitas, ketidakkonsistenan, atau bahkan ketidakhadiran tanggung jawab. Ketika sebuah perusahaan melakukan debranding, konsumen tidak hanya melihat perubahan visual atau nama, tetapi mencoba memahami mengapa perubahan tersebut dilakukan dan apa implikasinya terhadap relasi mereka dengan merek. Konsumen tidak sekadar menerima identitas baru yang ditawarkan perusahaan, tetapi menilai sejauh mana identitas tersebut selaras dengan pengalaman, kebutuhan, dan nilai mereka. Debranding menjadi efektif ketika konsumen merasa bahwa perusahaan benar-benar memahami perspektif mereka, bukan hanya secara simbolik, tetapi juga secara praktis dan relasional. Oleh karena itu, debranding menuntut ketepatan dalam membaca perspektif audiens, sebagaimana ditekankan oleh Perspective-Taking Model.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Akui Sudah Berdamai dengan Insanul Fahmi, Inara Rusli Resmi Cabut Tuntutan
• 3 jam lalucumicumi.com
thumb
Kebakaran Panti Jompo di Manado Tewaskan 16 Orang Lansia, Fasilitas Keamanan Dipertanyakan
• 6 jam lalukompas.id
thumb
Kebakaran Hebat di Panti Jompo Manado, 16 Orang Tewas!
• 6 jam laluokezone.com
thumb
Danantara Kebut Pembangunan Huntara di Aceh Tamiang
• 12 jam lalutvrinews.com
thumb
Pemerintah Tekankan Pentingnya Gotong Royong untuk Memulihkan Sumatra Pascabencana
• 8 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.