Pemerintah menargetkan ekonomi Indonesia pada 2026 bisa tumbuh 5,4 persen secara tahunan. Namun, tak akan mudah merealisasikannya. Ada tiga bandul pemberat yang bakal menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketiga bandul itu ialah bencana ekologis yang terjadi di Sumatera, perlakuan pemerintah terhadap investor asing, dan problem ketenagakerjaan. Hal itu diungkap baik oleh lembaga analisis media sosial ataupun think tank.
Pada 22 Desember 2025, PT Social Cerdas Indonesia atau Social Quotient memaparkan hasil analisis dari 1,73 juta percakapan daring yang berlangsung pada 1 September 2025 hingga 30 November 2025. Percakapan daring itu bersumber dari berbagai platform media sosial, seperti X, Facebook, Instagram, dan Tiktok.
Hasil analisis tersebut menunjukkan potret optimisme kolektif warganet yang dibarengi sikap kehati-hatian. Dengan kata lain, kepercayaan terhadap masa depan ekonomi Indonesia berjalan beriringan dengan kekhawatiran atas sejumlah persoalan struktural yang mengakar.
Direktur Social Quotient Manbir Chyle menjelaskan, mayoritas warganet memandang positif posisi Indonesia dalam lanskap global. Keyakinan mereka tentang Indonesia yang berpotensi menjadi kekuatan ekonomi setelah Amerika Serikat dan China kerap mengemuka.
Pandangan itu merujuk pada aneka potensi yang dimiliki Indonesia. Beberapa di antaranya kekayaan sumber daya alam, letak geografis yang strategis, serta bonus demografi berupa angkatan kerja muda yang produktif.
”Sentimen positif ini menguat pascakunjungan kerja Presiden Prabowo Subianto ke Kanada dan Brasil, yang dipersepsikan publik sebagai langkah konkret membuka peluang kemitraan ekonomi baru,” kata Chyle melalui siaran pers di Jakarta.
Di balik optimisme itu, ada tiga isu kekhawatiran utama yang konsisten muncul dan berpotensi menghambat laju transformasi dan akselerasi ekonomi.
Selain itu, Chyle menuturkan, figur Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga muncul sebagai salah satu pemicu optimisme. Gaya komunikasi yang lugas dan kebijakannya pro-rakyat mendapat respons positif.
Salah satu kebijakannya ialah mengucurkan tambahan dana Rp 200 triliun ke perbankan milik negara guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, warganet juga menilai pendekatannya yang menekankan penguatan fundamental ekonomi sebelum agresif menarik investasi asing sebagai langkah yang realistis dan berkelanjutan.
”Namun, di balik optimisme itu, ada tiga isu kekhawatiran utama yang konsisten muncul dan berpotensi menghambat laju transformasi dan akselerasi ekonomi,” ucapnya.
Isu pertama hasil identifikasi atau analisis Social Quotient ialah persoalan kerusakan lingkungan dan bencana. Hal itu terutama bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Bencana tersebut memicu kritik tajam terhadap model pembangunan yang dinilai mengabaikan keberlanjutan ekologis. Hal ini menandakan meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya pertumbuhan yang hijau dan inklusif.
Kedua, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) swasta sejak Agustus 2025. Kelangkaan itu tidak hanya dirasakan sebagai gangguan operasional, tetapi juga memunculkan persepsi risiko sistemik. Warganet menilai ketidakpastian pasokan energi berpotensi menjadi sinyal negatif bagi investor asing yang menuntut stabilitas dan kepastian usaha.
Ketiga, isu ketenagakerjaan menjadi titik paling sensitif dalam percakapan publik. Warganet khawatir terhadap tingginya kebergantungan pada sektor informal serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor.
Hal itu dinilai rentan memicu kecemasan sosial. Desakan untuk meninjau ulang kebijakan upah minimum pun menguat sebagai bagian dari harapan peningkatan kesejahteraan pekerja.
Mendorong mesin pertumbuhan ekonomi tanpa mendengarkan suara publik ibarat membangun menara tinggi tanpa fondasi yang kokoh.
Menurut Chyle, ketiga isu inti yang diperbincangkan warganet tersebut membawa pesan yang jelas bagi seluruh pemangku kepentingan. Pesan itu berupa target pertumbuhan ekonomi bukan semata persoalan angka makro, melainkan kemampuan menjawab kegelisahan mikro di tingkat masyarakat.
Transformasi dan akselerasi hanya akan bermakna jika mampu menyentuh persoalan nyata. Hal itu mulai dari keamanan energi, penciptaan lapangan kerja berkualitas, hingga pembangunan yang berwawasan lingkungan.
”Data ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan harapan dan kegelisahan 277 juta penduduk Indonesia. Mendorong mesin pertumbuhan ekonomi tanpa mendengarkan suara publik ibarat membangun menara tinggi tanpa fondasi yang kokoh,” katanya.
Belakangan ini, bencana ekologis di Sumatera dan problem tahunan ketenagakerjaan kerap menjadi sorotan beberapa lembaga think tank. Keduanya bakal menjadi bandul ekonomi pada 2026 yang mau tidak mau harus ditangani oleh para pemangku kepentingan terkait.
Bencana ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Untuk memulihkannya, dibutuhkan sokongan dana yang besar di tengah kondisi keuangan negara yang sedang pas-pasan.
Center of Economic and Law Studies (Celios), misalnya, memperkirakan nilai kerugian akibat bencana di Sumatera mencapai Rp 68,67 triliun. Angka itu dihitung dari lima jenis kerugian, termasuk kerusakan rumah, kehilangan panen, serta biaya perbaikan jalan dan jembatan. Bencana itu juga diperkirakan dapat menurunkan produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 0,29 persen.
Sementara tim ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memproyeksikan nilai dampak ekonomi akibat banjir dan longsor di Sumatera mencapai Rp 32,6 triliun. Perkiraan itu setara 0,08-0,12 persen dari PDB nasional pada triwulan IV-2025.
Di sisi lain, Lembaga Penelitian Ekonomi Regional (LPER) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universtias Andalas, Sumatera Barat, menilai, pemulihan ekonomi pascabencana jangan hanya berpatokan pada pertumbuhan ekonomi makro sebagai indikatornya. Pertumbuhan ekonomi rakyat, baik itu sarana, fasilitas, maupun mata pencaharian, juga perlu dipulihkan dan dijadikan indikator pemulihan.
Ketua LPER Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universtias Andalas Fajri Muharja mengatakan, Sumbar pernah terdampak gempa pada 2009. Kala itu, status bencananya ialah bencana nasional dan pertumbuhan ekonomi Sumbar berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam pemulihannya, ekonomi Sumbar tetap tumbuh, tetapi pertumbuhannya didominasi aliran bantuan pascabencana dan pembangunan-pembangunan di sektor konstruksi. Namun, sektor-sektor yang menyentuh peningkatan produktivitas, termasuk ekonomi kerakyatan, kurang optimal dipulihkan.
”Pelaku ekonomi, termasuk petani dan pelaku usaha setempat, mengalami trauma dan tidak mendapatkan insentif dari pemerintah. Ini membuat ekonomi Sumbar terlihat tumbuh berkat bantuan dan pembangunan sektor konstruksi, tetapi produktivitas ekonominya tidak meningkat,” katanya.
Fajri berharap jangan sampai hal itu terjadi pada bencana yang kali ini tidak hanya melanda Sumbar, tetapi juga Aceh dan Sumut. Apalagi, di tengah keterbatasan dana dan keengganan pemerintah menetapkan bencana di Sumatera sebagai bencana nasional.
Di sisi lain, pembukaan kawasan hutan yang turut memicu bencana di Sumatera juga bakal menjadi preseden buruk bagi citra Indonesia di kancah internasional. Hal itu juga bakal mempersulit Indonesia memperdagangkan produk-produk andalan ekspornya ke sejumlah negara maju, terutama di kawasan Uni Eropa yang mulai menerapkan Undang-undang Produk Bebas Deforestasi (EUDR).
Sementara itu, terkait sektor ketenagakerjaan, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) bersifat semu. Ini lantaran di tengah penurunan TPT, kualitas dan produktivitas tenaga kerja justru menurun dan jumlah tenaga kerja informal justru meningkat.
Indef mencatat, TPT sebagai indikator tenaga kerja yang belum terserap pasar kerja turun dari 4,91 persen pada Agustus 2024 menjadi 4,85 Agustus 2025. Angka ini seharusnya memberikan sinyal yang baik karena penyerapan tenaga kerja oleh pasar kerja meningkat.
Namun, yang terjadi banyak angkatan kerja yang terserap ke sektor informal. Dari sekitar 146,54 juta orang angkatan kerja, sektor informal mendominasi pada triwulan III-2025, yakni sebanyak 57,8 persen.
Di sisi lain, ada indikasi penurunan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dalam periode perbandingan Agustus 2024 dengan Agustus 2025. Dari 146,54 juta orang angkatan kerja, yang bekerja sebagai pekerja penuh hanya meningkat 0,20 juta orang dari 98,45 juta menjadi 98,45 juta.
Sementara pekerja tidak penuh yang termasuk di dalamnya setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu meningkat dari 46,19 juta menjadi 47,89 juta orang secara tahunan. Untuk pekerja paruh waktu peningkatannya sebesar 24,77 persen atau dari 34,63 juta orang menjadi 36,29 juta orang.
”Hal ini menandakan produktivitas pekerja menurun dengan semakin banyaknya jumlah jam kerja yang menurun. Sedikitnya jumlah jam kerja ini tentu memiliki implikasi pada upah yang juga menurun,” kata peneliti Indef, Nur Komaria, dalam acara ”Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan” yang digelar Indef secara daring pada 23 Desember 2025.
Komaria juga mengungkapkan, sektor ketenagakerjaan Indonesia tengah menghadapi kerentanan yang semakin kompleks, terutama terkait waktu kerja, struktur pendapatan, dan perlindungan sosial. Banyak pekerja informal ataupun pekerja platform bekerja dalam kondisi yang tidak stabil, lantaran jam kerja panjang, upah rendah, serta minimnya dukungan jaringan sosial.
Masalah struktural yang umum terjadi di sektor ketenagakerjaan nasional ialah job mismatch atau ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan, keterampilan, dan minat dengan pekerjaan. Di sisi lain, keterampilan yang dibutuhkan industri berkembang cepat, tetapi lulusan yang mumpuni semakin sedikit.
”Jika dibiarkan terlalu lama, akan berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan pekerja karena pendapatan yang diterima bisa lebih kecil. Dalam jangka panjang, kondisi ini juga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkapnya.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5429806/original/077058700_1764645011-000_32RQ8CG.jpg)