Penulis: Nirmala Hanifah
TVRINews, Jakarta
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan pentingnya pendekatan perlindungan dan rehabilitasi anak dalam penanganan kasus penangkapan seorang pelajar di Kabupaten Garut oleh Densus 88 Antiteror Polri yang diduga terpapar paham neo-Nazi.
Komisioner KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, mengatakan, jika anak yang terindikasi terlibat dalam jaringan terorisme tidak dapat diperlakukan sama dengan pelaku dewasa.
“Anak yang terpapar ideologi ekstrem pada dasarnya adalah korban. Mereka belum memiliki kematangan berpikir kritis dan sangat rentan dipengaruhi oleh lingkungan maupun figur otoritas di sekitarnya,” ujar Margaret dalam keterangannya kutip Senin, 29 Desember 2025.
Lebih lanjut, ia menuturkan jika tertangkapnya anak dalam kasus tersebut tidak serta-merta menunjukkan kegagalan negara, keluarga, maupun sekolah dalam melakukan pencegahan.
Tak hanya itu, Margaret menutukan jika proses radikalisasi merupakan fenomena yang terus berubah dan semakin sulit dideteksi.
“Radikalisasi saat ini tidak selalu berlangsung secara terbuka. Kelompok ekstrem memanfaatkan ruang privat, relasi sebaya, serta platform digital tertutup yang sulit diawasi. Dalam konteks ini, terungkapnya kasus justru menunjukkan bahwa sistem deteksi bekerja,” jelasnya.
KPAI menilai keluarga tetap menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak, namun mengakui bahwa tidak semua orang tua memiliki kemampuan dan informasi yang memadai untuk mengenali tanda-tanda awal paparan ideologi ekstrem.
“Banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak bisa terpapar dari luar rumah, terutama melalui internet. Karena itu, penguatan literasi pengasuhan menjadi sangat penting, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk membekali orang tua,” kata Margaret.
Di lingkungan sekolah, KPAI mendorong penguatan peran edukatif tanpa stigma terhadap anak. Paparan ideologi ekstrem, menurutnya, kerap terjadi di luar jam dan aktivitas sekolah.
“Sekolah pada umumnya sudah menjalankan fungsi pendidikan karakter. Namun, perlu ada adaptasi melalui penguatan pendidikan toleransi, empati, serta pelatihan guru dan konselor agar mampu mendeteksi risiko sejak dini,” ujarnya.
KPAI juga menyoroti ruang digital sebagai tantangan besar dalam perlindungan anak. Paparan ideologi ekstrem di dunia maya bersifat lintas negara dan kerap menyasar anak melalui konten yang dikemas secara halus.
“Ruang digital hari ini sangat memengaruhi cara anak berpikir. Negara perlu memperkuat kerja sama dengan platform digital, meningkatkan literasi digital kritis anak, serta menghadirkan konten alternatif yang positif dan relevan,” tambah Margaret.
Lebih lanjut, KPAI menegaskan tanggung jawab negara tidak berhenti pada penegakan hukum ketika anak telah terpapar ideologi ekstrem.
“Pendekatan yang harus diutamakan adalah kepentingan terbaik bagi anak. Negara wajib memastikan adanya rehabilitasi, pendampingan psikososial, serta dukungan keluarga dan pendidikan agar anak bisa kembali tumbuh secara wajar tanpa stigma,” tegasnya.
KPAI berharap penanganan kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak secara menyeluruh, mulai dari keluarga, sekolah, hingga ruang digital, agar paparan ideologi kebencian dan kekerasan tidak kembali menyasar anak-anak Indonesia.
Editor: Redaksi TVRINews




