BIROKRASI kita sering terseret dalam ironi kepanikan yang pelik: lebih senang mendengar angka capaian daripada menyimak masalah yang membutuhkan penyelesaian.
Dalam ruang rapat, kita berseri-seri ketika mendengar laporan angka fantastis, proyek selesai, peserta pelatihan tercatat, dokumen dilaporkan terproses sesuai target.
Namun, wajah kita berubah masam ketika persoalan nyata dihadirkan. Masalah bukan dilihat sebagai peluang untuk perbaikan, tetapi sebagai noda pada citra birokrasi. Satu keluhan warga atau hambatan di lapangan langsung dianggap beban citra.
Dalam budaya ini, laporan masalah, yang bersifat minor sekalipun, dipandang sebagai “potensi kegaduhan”, bukan sebagai bagian dari proses evaluasi yang sehat.
Akibatnya, aparat birokrasi enggan membawa isu-isu senyatanya ke permukaan, takut menimbulkan persepsi negatif secara politis Informasi yang benar-benar penting untuk pengambilan keputusan strategis justru terselubung di balik polesan angka capaian yang “aman” di atas kertas.
Fokus berlebihan pada angka capaian membuat birokrasi menjadi mesin statistik. Capaian target (output) tercatat, indikator terpenuhi, tetapi luaran (outcome) atau dampak nyata pada masyarakat terabaikan.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=kecerdasan buatan, birokrasi&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOS8xMTI5MTMzMS90YWh1bi0yMDI2LWRhbi1hbmNhbWFuLW1hbmlwdWxhc2ktYmlyb2tyYXNp&q=Tahun 2026 dan Ancaman Manipulasi Birokrasi§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Baca juga: Kisah Nenek dan Toko Roti: Jangan Lupakan Esensi Melayani Manusia
Program-program dibuat untuk memenuhi target, bukan untuk menjawab kebutuhan riil warga. Akibatnya, birokrat yang waras pun cenderung menahan diri untuk tidak menimbulkan “keributan”, sehingga inovasi dan evaluasi kerap dikorbankan demi stabilitas internal.
Itulah gambaran birokrasi panik. Dampak buruk jangka panjangnya adalah bahwa birokrasi akan kehilangan fleksibilitas dan kemampuannya untuk belajar dari kesalahan.
Masalah-masalah yang seharusnya menjadi bahan refleksi strategis dan perbaikan akan sering kali diabaikan.
Kepatuhan terhadap angka dan laporan formalitas dipastikan akan menggantikan kepedulian terhadap substansi dan kualitas pelayanan publik.
Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan kesenjangan antara persepsi internal birokrasi dan realitas lapangan. Laporan hanya memuaskan para birokrat, sementara masyarakat justru merasakan layanan yang stagnan.
Birokrasi panik akan membentuk sikap paranoia terhadap kegagalan yang wajar. Paranoia ini memiliki efek psikologis yang merusak institusi.
Pegawai yang seharusnya jujur dan transparan dalam melaporkan hambatan atau kesulitan program menjadi takut mengemukakan fakta.
Akibatnya, laporan kegagalan yang wajar—padahal seharusnya menjadi bahan evaluasi dan perbaikan—justru disembunyikan atau dimanipulasi.
Para pegawai yang dilanda paranoia akan mengidap ilusi kesempurnaan. Ilusi pencapaian harus serba sempurna akan merusak budaya kerja yang sehat, dan akuntabilitas formal menjadi ritual semu.



